Sore,sekitar akhir Juli 2012, telepon genggam saya berdering
lamat-lamat. Saat itu, saya sedang ngobrol dengan istri dan dua anak saya.
Biasanya saya hati-hati mengangkat, ketika nomor panggilan belum tersimpan
dalam phone book. Maklumlah. Saya agak trauma dengan tele marketing, yang kerap
“meneror” dengan tawaran asuransi atau pinjaman lunak. Tapi berhubung BB saya
sudah hilang sebulan yang lalu, banyak nomor teman yang belum tersimpan, kadang
melakukan panggilan tanpa nama tertera di layar ponsel. Saya pun langsung
mengangkatnya,”Halo?”.
Di ujung
sambungan, seorang laki-laki mengucap salam secara lengkap. Ini memang ganjil.
Saya sendiri tidak punya pikiran, jika ucapan salam itu sengaja diucapkan
secara lengkap, sebagai sinyal bahwa yang ingin bicara dengan saya adalah teman
karib saya. Maka saat ia mengaku bernama Arif Ade Setyawan dari Slawi, saya
langsung ngeh. Spontan saya langsung berseru,”Arif SMA siji?”. Begitulah.
Ini moment
yang tak terduga tentu saja. Berikutnya saya menyapa Handy. Kata Handy, ia
sedang berada di rumah Hoji Paralel bersama Teguh dan Arif. Surprise, saya
tanya anaknya sudah berapa. Tapi dengan tertawa Handy menolak menjawabnya.
Lantas menyahutlah Teguh. Tanpa tedeng aling-aling, Teguh langsung cerita.”Rab,
awake dewek bar saka omahmu. Kita mau ngadain reunian SMA siji angkatan 92.
Mangkat ya mengko?”. Sedikit tak percaya saya langsung menimpali,”Ah, yang
bener? Kapan acaranya?”.”Habis lebaran haji,”kata Teguh, antusias.
Bukan Waktu yang Pendek
Tentu saja waktu 20 tahun
bukanlah masa yang pendek untuk sebuah rencana pertemuan. Terbayang betapa
serunya jika itu terjadi. Di sisi lain, saya bersyukur. Arif, Handy dan Teguh, akhirnya menjadi pintu
pembuka kabar teman-teman yang lain, baik dari kelas 1 E maupun kelas 2 jurusan
biologi SMA 1 Slawi. Sarana Facebook
lantas terbukti manjur menjembatani. Di situ, saya bertemu dengan teman-teman,
yang kini sudah jadi orang hebat. Abdul Syakur, Maulana Arsist Tawa, Yudi
Pratikno dan semua yang tidak bisa saya sebut satu persatu.
Kenangan sekolah di SMA 1 Slawi lantas berlesatan keluar. Di kelas
1 E, saya takjub melihat kepandaian Syakur mengurai rumus-rumus matematika.
Atau Budi Septiono, yang selalu maju untuk mengerjakan soal-soal rumit fisika
dan matematika. Saya pernah bertemu dengan Supardi, saat ada liputan di Bogor.
Dia adalah salah seorang teman di kelas 1 E, yang amat rajin, hingga bisa dapat
PMDK di IPB. Begitu pula Maulana Arsist
Tawa, yang kalem dan sangat menjaga setiap tutur kata yang keluar dari
mulutnya, persis presiden kita SBY. Ada pula Atikah, cewek mungil yang sregep
bikin PR.
Kelas satu menjadi ujian
saya sesungguhnya, ditengah semakin merosotnya ekonomi keluarga. Tiap hari,
saya bolak-balik naik angkot dari Margasari, dengan ongkos Rp 100. Kadang kalau
sudah terlambat, karena jarak sekolah yang lumayan jauh, saya tidak mandi dan
sarapan pagi. Tak terbersit sekalipun untuk ngekost misalnya, seperti yang
dilakukan teman-teman lain. Duit dari
mana? Saban waktunya pulang, beramai-ramai saya menuju terminal untuk
menghadang angkot ke Bumiayu. Tapi saya merasa beruntung, dikelilingi oleh
teman-teman yang baik, hingga naik ke kelas dua Biologi.
Catatan paling menyebalkan barangkali terkait dengan kelakukan teman saya, ER,
saat saya mulai duduk di kelas dua Biologi. Dia kerap memalak Beny, ketua kelas
saya, dengan sejumlah uang. Apalagi ia dengan sombong bilang ingin seperti Try
Sutrisno, jenderal bintang 4 yang kala itu menjadi wakil presiden RI.
Belakangan saya tahu, ia jadi "preman" di Margasari, karena tak pernah
melanjutkan studinya. Jika ingat kelakuannya dulu sama Beny, ingin rasanya saya
menampol kepalanya, biar dia kapok.
Kontes Bokong
Saat duduk di kelas dua,
sesekali saya masih bertemu Syakur, Arsis, atau Amir Kalibakung, yang masuk
jurusan fisika. Maklumlah, otak mereka lebih encer dibanding diriku yang bebal.
Tapi sejatinya, saya sendiri masuk Biologi karena ingin jadi dokter. Cita-cita
yang ternyata gagal, ketika saya mencoba ikut UMPTN di perguruan tinggi negeri.
Hingga kini, saya memang masih kerap mampir ke rumah sakit dekat rumah di
Sawangan, Depok, Jawa Barat. Tapi bukan sebagai dokter, melainkan mengantar
bini yang bekerja sebagai perawat.
Di kelas dua, saya menemukan teman-teman yang
lebih heboh dan “gila”, dengan segala tingkah polahnya. Arif Ade, Handy, Teguh,
Aris, Maya, Ayu, Fransisca dan banyak lagi, yang rasanya susah untuk saya
absen, karena keterbatasan memori. Jika kelas satu tak banyak memberi warna
karena teman-teman semua serius mau masuk penjurusan, dikelas dua memori
kenakalan remaja terasa lebih “nendang” dan penuh cerita.
Di depan bangku tempat
saya duduk, ada Diani Adi Mulyanto, yang kerap menangis tanpa sebab yang jelas.
Sekali waktu, dia buka rahasia, jika dirinya kesal sama perilaku orang tuanya
yang diskriminatif. Adiknya lebih disayang dibanding dirinya. Tapi saya
pikir-pikir, setelah saya jadi ayah, mungkin itu hanya perasaan Diani saja. Di
sisi kiriku, kadang ada Ahmad Zaenuri, yang kini jadi dosen di Unsoed. Lain
tempo saya duduk di belakang, dekat Aris atau Handy, atau Teguh. Seingatku,
cowok yang paling rajin duduk di depan adalah Hoji Paralel.
Letak kelas di lantai dua,
saya rasa cukup bermasalah karena kami berdampingan dengan kelas fisika. Pernah
karena guru kosong, kelas ribut tak karuan. Guru fisika di tetangga kelas yang
sedang mengajar marah besar, dan mendatangi kelas kami. Omelan pun tak pelak
berhamburan. Tapi enaknya, karena kami berada di atas, teman-teman perempuan
sering berjejer memandang ke bawah, membelakangi kelas. Saya sering bercanda
menyebutnya sedang ada kontes bokong,hehehe…
Selain belajar, saya juga
ikut ekstrakurikuler drama dan karate. Di arena latihan karate, saya mengenal
dekat Yudi Pratikno, yang kala itu sedang berpacaran dengan Shasa alias Shasadara
Dewi. Kalau tidak salah, Shasa adalah
adiknya Ayu Shamanta Dewi. Saya sendiri sempat naksir dengan seorang teman
latihan, tapi semuanya saya pendam, karena dia tak memberi respon sedikitpun.
Kekecewaan barangkali agak terobati, jika pulang sekolah bisa ngobrol dengan
Lina, anak fisika yang punya bodi aduhai.
Kebetulan rumahnya searah dengan
Ahmad Zaenuri, yang juga melewati jalan yang sama menuju ke terminal Slawi.
Saya tidak tahu, dari mana
saya mulai senang tulis menulis. Hal yang saya ingat, Aris pernah minta
dibuatkan surat cinta untuk pacarnya, Adyat Dyah Wijayanti. Permintaan itu
apakah saya penuhi atau tidak, saya sudah lupa. Yang jelas, saya kadang iri
melihat anak SMA sudah pacaran seperti Aris dengan Yanti, atau si Dani anak
sosial yang pacaran dengan kakak kelasnya saban bubaran jam sekolah di depan
kelas. Mungkin cowoknya si Dani tak punya modal untuk mengajaknya nonton bioskop,
atau sekedar makan bakso. Atau Si Dani
sendiri yang memang suka pacaran di depan orang banyak (hehehe…sotoy ya?)
Minder Mania
Kelas dua dan tiga Biologi di SMA 1 Slawi,
benar-benar menjadi tahun kelam perjalanan studi saya. Orang tua semakin
terpuruk saja ekonominya. Pernah saya tidak bisa berangkat, gara-gara tak ada
uang Rp 700 untuk ongkos naik angkot. Di
sekolah, saya minder luar biasa. Undangan ulang tahun teman tak pernah saya
gubris, karena tak memiliki pakaian yang layak guna, seperti remaja
umumnya. Bahkan saat seorang teman
perempuan dari IPS memberi sinyal jika ia naksir, saya cuek saja. Boro-boro mau
pacaran bro. Buat jajan saja saya kadang nyolong tempe satu atau dua di kantin
belakang?
Peraturan bersepatu kulit
hitam benar-benar menjadi teror tak termaafkan. Berapa kali saja tiap Senen
saya kena razia, karena saya memakai sepatu putih merk Dragon Fly yang saya
winter warna hitam biar kelihatan kelam. Jika sudah begini, sepatu Dragon saya ditahan
di ruangan guru BP. Saya tak berdaya, karena almarhum papa (sengaja saya
panggil papa biar lebih gaya) tak mampu membelikan sepatu baru. Saya pernah
ingat, sekedar iuran Rp 6 ribu untuk jalan-jalan saja, hanya saya yang tak bisa
memenuhi. Duh ngenesnya….
Mungkin yang lebih seru,
jika awal bulan pak wali kelas mengumumkan siapa yang belum bayar SPP. Karena
nunggak beberapa bulan, saya pernah dipanggil guru yang ngurusin pembayaran
SPP. Dia heran lihat saya dan langsung bersabda,”Kamu pasti pakai ya itu uang
SPP untuk jajan?”. Saya tentu saja kaget.”Lho, kok ibu nuduh seperti
itu?”.Awalnya si ibu serius. Tapi dengan bercanda dia bilang,”Ya, saya nggak
percaya orang tuamu nggak punya. Wong kulitmu bersih seperti itu?”. Alamak…apa
hubunganya tampang keren sama kantong kempes ya?kwkwkwkw
Di kelas dua, saya dekat
dengan Arif Ade. Dia sering membonceng saya dengan Astrea Star-nya (kalau tidak
salah ya?). Saya diajak ke rumahnya. Jika ingin tak terlalu jauh, ya nongkrong
di rumah Teguh, yang jaraknya hanya seperlemparan batu dari sekolah. Saya
memang “ngeri” bergaul dengan teman-teman dari orang tua yang kaya raya seperti
mereka. Tapi itu ternyata pikiran yang salah. Sekarang, walau sebagai jurnalis
saya hidup pas-pasan, teman-teman saya lintas batas dan profesi. Dari menteri,
anggota DPR, jenderal, artis tenar hingga tukang becak. Saya enjoy aja….
Lulus dalam Kedukaan
Jika sekarang ada Ahok
–Cina Kristen yang mencalonkan diri jadi calon wakil gubernur DKI Jakarta,
sebetulnya ajaran pluralism sudah saya cecap sejak kelas dua SMA. Ketua kelas
kami adalah Beny, sama seperti Ahok yang juga beretnis Cina dan Kristen.
Sebagai ketua kelas, dia sangat bertanggung jawab. Kalau kelas kami giliran
mendapat tugas mengurus shalat Jumat, dia ngecek semuanya.”Pul, kamu yang ngisi
kultum ya?”katanya menyuruh saya. Maksudnya kuliah tujuh menit sebelum shalat Jum’at
dimulai.
Kultum paling garang
pernah saya lakoni, ketika saya mengecam aturan yang melarang pemakaian jilbab
oleh sekolah. Tak kurang si Purwo, pria bertubuh subur yang gayanya lemah
gemulai, ikut bersimpati. “Salut mas pidatonya,”ujarnya,membuat saya sudah
merasa seperti Hitler, jagoan orasi dari Jerman. Saya bahkan pernah mengikuti
pertemuan bersama teman-teman, membahas gonjang-ganjing masalah ini. Kebetulan
di kelas, saya kebagian mengurus Rohis Islam. Jabatan yang kerap membuat Pak
Zaenudin senewen.
Bagaimana tidak?Bacaan Al
Qur’an saya lancar. Tapi dipunggung kaos olahraga saya ada “tato” dengan
tulisan besar-besar. Bunyinya “malapetaka” bersama gambar cicak yang saat itu
sedang ngetrend. Dengar bagaimana Pak Zainudin, guru agama SMA 1
nyap-nyap,”Arifuuuul,”katanya dengan gayanya yang melambai.”Itu buat apa kaos
dikotori? Ayo hapus. Kamu khan bagian rohis?Harus kasih contoh yang
baik!”. Tulisan itu memang tak pernah saya
hapus. Lha, priben mau dihapus?Wong itu pakai spidol permanen je.
Setelah tiga tahun menimba
ilmu, ada moment kelulusan yang juga tak pernah saya lupakan seumur hidup.
Waktu itu bapak menerima amplop. Di dalamnya ada tulian “Anda Lulus”. Tapi
bukan secarik kertas itu benar yang membuat perasaan saya gundah. Usai memberi
uang Rp 3000 (catat; tiga ribu rupiah) sebagai hadiah kelulusan, bapak langsung
pulang, meninggalkan saya yang bingung menghadapi masa depan. Bingung
melanjutkan ke mana, karena tak ada biaya.
Kala itu, saya hanya bisa
menatapi teman-teman, yang tertawa-tawa sambil berfoto-foto dengan semprotan
pilox memenuhi baju dan celananya. Saya
merasa seperti menjadi orang asing. Sangat asing. Tak pernah masuk dalam bagian mereka. Tak tega melukai
batin orang tua yang sedang kesulitan, dengan ikut-ikutan main semprot cat. Sungguh
tak tega.
Dalam kegelisahan yang melanda,
akhirnya saya putuskan untuk pulang. Merayakan kelulusan sendirian, dengan
batin terus merutuki nasib, karena kenyataan saya harus menganggur satu tahun. Untuk mengisi waktu, saya putuskan bekerja
sebagai penarik retribusi truk di sebuah galian pasir di desa. Karena kasihan,
tahun berikutnya, bapak menyuruh saya kuliah.
Meski tak ada biaya, bapak tetap
memaksa kuliah, walau saat itu saya ingin merantau saja ke Jakarta menjadi
sopir bajaj, sekedar meringankan beban hidup orang tua. Kebetulan banyak teman-teman
kampung jadi sopir bajaj dan taksi. Saya pikir, inilah peluang satu-satunya,
karena di desa tak ada geliat usaha yang bisa mendatangkan fulus.
Dalam perjalanan waktu, keberanian
dan keyakinan membuat saya nekad ke
Yogya, kemudian merantau ke Jakarta. Bekerja apa saja. Menghadapi badai sebesar
apa pun jua. Di titik inilah, saya berpendapat rasa syukur adalah modal
berharga dari semua harta benda yang jadi kejaran manusia. Kesulitan dan
tantangan hidup adalah warna. Banyak pelajaran penting kupetik, dan itu semakin
menempa karakter dan visi saya, jika penghargaan manusia sesungguhnya datang
dari sikap dan hubungan baik. Bukan atribut dunia yang menempel di badan kita (Wah,
sudah kayak ustaz aja nih).
Akhirnya, saya masih membayangkan teman-teman terus bermunculan merangkai
jalinan silaturahmi. Pasti ada banyak cerita. Pasti ada banyak hikmah. Dan
pasti ada ribuan tawa, dibalik sedikit duka yang menemani kita mengarungi
lautan hidup. Benar SMA 1 Slawi adalah kawah candradimuka, yang menempa kita
semua menjadi pribadi yang kuat dan tahan banting. Buktinya, kita patut
berbangga, ada alumni SMA 1 yang sekarang jadi menteri pertanian. Siapa tahu, ke depannya, ada yang bisa
menjadi wakil presiden RI, atau sekalian jadi RI 1. Siapa tahu.
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
Deletearab...arab.... miss u
ReplyDeletehundee
hahahaha miss u too handeee...
DeleteAbdul Syakur :
ReplyDeleteBasamu jan mengalir tenang tapi menghanyutkan. Pak Gondo selaku guru bahasa Indonesia waktu kelas II pasti bangga punya Ariful yg pandai menulis seperti ini, demikian juga pak Agus guru bhs Indoensia dari Margasari pastinya salut dan senang.
Jangan cuma yg cantik yg diingat wajahnya, tapi juga namanya, guru olah raga yg cantik wajahnya namanya Pak Yaedar...ha..ha..ha.., bukan ding kapok kowe...namanya bu Eko Trahwati apa bu Ekowati yahh...
Baca tulisan ini, anganku langsung kembali pada kenangan tentang dirimu Ful...memang sudah terlihat bakat nulisnya waktu SMA, tapi sung yakin aku ora ngerti yen kowen benar-benar menderita seperti yang tertulis di sini.
Tapi aku yakin, Ariful yg sekarang sudah menjadi orang yang hebat, peace men...
Ingat kelas I.E guru sejarah kita yang sangat mahir bercerita tentang sungai TIGRIS dan Kebudayaan suku MAYA. Inilah daftar I.E yang masih bisa ku kenang :
1. Abdul Haris
2. Abdul Hopir
3. Abdul Rojak
4. Abdul Syakur - enyong dewek.
5. Akhmad Khuzaeni
6. Alip Setiadi
7 Ariful Hakim - kerennn
8. Atika Dewi
9. Amirudin
10. Endang Susilowati
11. Fakhitah
12. Gunawan
13. Maulana Arsistawa
14. Moh. Slamet
15. M. Aziz Muslim
16. ...............dan masih banyak lagi..
17. Samsudin
18. Supardi
19. Teguh Yulianto
20. Voni Dian Arsianti
21. Yuliati
kereeeen,hehehe
Deletewah rip....aku maca ceritane dadi nggregel, plus dadi kangen karo kanca-kanca biologi. Salam sukses ya .... bener rip, kunci urip seneng kuwe "SYUKUR" .... Semangat !!!
ReplyDeletesiip bro....
DeleteAriful yang orang JEMbayat Utara he he he Masih ingat waktu kita jaga koperasi jualan kertas gambar dan nastar ha ha ha
ReplyDeletesiapa ya?kawan syam yang dokter dari jatibarang kah,hahahaha...udah pikun lupa nih inyong...
ReplyDeletesuper Mas Arif..!!!
ReplyDeletesuper juga..salam kenal...siapa nih,hehehe
ReplyDelete