Pembukaan Musyawarah Nasional Persatuan
Artis Musik Melayu-Dangdut Indonesia (PAMMI), Sabtu (3/3) 2012 lalu, mencetuskan ide
untuk mengusulkan music dangdut ke UNESCO sebagai warisan budaya Indonesia.
Usulan ini di dukung Menkokesra, Agung Laksono, yang menghadiri acara itu. Agung optimis, dangdut bisa
diterima UNESCO, karena musik dangdut
dinilai satu-satunya kesenian asal Indonesia yang tidak dimiliki bangsa lain.
Jalan ke arah itu tentu saja masih
panjang. Para insan musik dangdut bahkan disarankan Agung agar segera melakukan
konsultasi pada pihak terkait, yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Kementerian Kepemudaan, serta Kementerian Kesejahteraan Rakyat."Sebagai
penguatan eksistensi maka musik ini harus diakui dunia. Tidak hanya berdampak
bagi pelaku, namun bangsa Indoesia juga merasakan dampak positifnya. Antara
lain dari unsur perekonomian maupun perdagangan," tukas mantan Ketua DPR
RI tersebut.
Revolusi Musik Dangdut
Kehadiran Agung Laksono
dalam hajat insan musik dangdut, tentu bukan sebuah keistimewaan. Sebagai
aliran musik tersendiri, dangdut terbilang unik dan kontroversial. Unik karena
dangdut tumbuh dan berkembang hanya di Indonesia. Di sisi lain, sebagai musik
yang diidentikan dengan masyarakat kelas bawah, dangdut kini sudah menyeruak
hingga ke Istana Negara. Tentu saja setelah
melewati segenap jalan terjal, dengan berbagai pro dan kontranya.
Musik dangdut berasal dari musik melayu
yang mulai berkembang pada tahun 1940-an. Irama melayu sangat kental dengan
unsur aliran musik dari India dan irama musik dari Arab, khususnya unsur
tabuhan gendang dan unsur cengkok penyanyi dan harmonisasi irama. Pada tahun
1960-an musik melayu mulai dipengaruhi oleh banyak unsur mulai
dari gambus, degung, keroncong, dan langgam.
Konon
pada masa inilah sebutan musik melayu sudah berubah menjadi musik dangdut. Ini
mengacu pada bunyi alat musik gendang yang didominasi suara “Dang” dan “Dut”.
Aliran ini lambat laun dikenal sebagai musik dangdut, dengan ciri khas kelugasan
dan kesederhanaan liriknya. Perubahan
arus politik Indonesia di tahun 1960-an, membuka pula masuknya pengaruh musik
barat yang kuat dengan digunakannya gitar listrik dan metode pemasaran yang
baru.Sejak tahun 1970-an dangdut boleh dikatakan telah matang dalam bentuknya
yang kontemporer.
Dangdut kontemporer telah berbeda
dari akarnya, musik melayu, meskipun orang masih dapat merasakan sentuhannya.
Revolusi besar musik dangdut terjadi saat Soneta Group dibentuk Rhoma Irama. Sejak
itu dangdut mengadopsi lebih banyak lagi alat-alat musik modern barat seperti organ
elektrik, perkusi, trompet, dan saksofon untuk meningkatkan variasi dan sebagai
lahan kreativitas pemusik-pemusiknya. Mandolin juga masuk sebagai unsur
penting.
Pada
paruh akhir dekade 1970-an juga berkembang variasi "dangdut humor"
yang dimotori oleh OM Pancaran Sinar Petromaks (PSP). Orkes ini, yang berangkat
dari gaya musik melayu Deli, membantu diterimanya dangdut di kalangan
mahasiswa. Subgenre ini diteruskan, misalnya, oleh OM Pengantar Minum Racun
(PMR) dan, pada awal tahun 2000-an, oleh Orkes Pemuda Harapan Bangsa (PHB).
Seiring perkembangan zaman, dangdut lantas mulai menemukan cabang-cabang baru
hasil “perkawinan” dengan jenis aliran musik lain.
BERINTETRAKSI DENGAN MUSIK LAIN
Dangdut sangat elastis dalam
menghadapi dan memengaruhi bentuk musik yang lain. Lagu-lagu barat populer pada
tahun 1960-an dan 1970-an banyak yang didangdutkan. Genre musik gambus dan
kasidah perlahan-lahan hanyut dalam arus cara bermusik dangdut. Hal yang sama
terjadi pada musik tarling dari Cirebon sehingga yang masih eksis pada saat ini
adalah bentuk campurannya: tarlingdut.
Musik rock, pop, disko, dan house
musik bersenyawa dengan baik dalam musik dangdut. Aliran campuran antara musik
dangdut & rock secara tidak resmi dinamakan Rockdut. Demikian pula yang
terjadi dengan musik-musik daerah seperti jaipongan, degung, tarling,
keroncong, langgam Jawa (dikenal sebagai suatu bentuk musik campur sari yang
dinamakan congdut, dengan tokohnya Didi Kempot), atau zapin.
Mudahnya dangdut menerima unsur
asing menjadikannya rentan terhadap bentuk-bentuk pembajakan. Banyak lagu-lagu
dari film ala Bollywood dan lagu-lagu latin yang dirubah syairnya dan
didangdutkan. lagu Kopi Dangdut, misalnya, adalah "bajakan" lagu yang
populer dari Venezuela. Ironisnya, lagu-lagu bajakan itu diakui sebagai hasil
karya sendiri, dengan tanpa rasa malu dan bersalah.
Dangdut memang disepakati banyak
kalangan sebagai musik yang membawa aspirasi kalangan masyarakat kelas bawah.
Ciri khas ini tercermin dari lirik serta bangunan lagunya. Gaya pentas yang
sensasional tidak terlepas dari nafas ini. Karena sifatnya yang sangat
merakyat, tak heran panggung kampanye partai politik juga memanfaatkan
kepopuleran dangdut untuk menarik massa. Isu dangdut sebagai alat politik juga
menyeruak ketika Basofi Sudirman, pada saat itu sebagai fungsionaris Partai Golkar,
menyanyi lagu dangdut.
Walaupun dangdut diasosiasikan
dengan masyarakat bawah yang miskin, bukan berarti dangdut hanya digemari kelas
bawah. Di setiap acara hiburan, dangdut dapat dipastikan turut serta meramaikan
situasi. Panggung dangdut dapat dengan mudah dijumpai di berbagai tempat.
Tempat hiburan dan diskotek yang khusus memutar lagu-lagu dangdut banyak
dijumpai di kota-kota besar. Stasiun radio siaran yang menyatakan dirinya
sebagai "radio dangdut" juga mudah ditemui. Perlahan namun pasti,
dangdut juga sudah diiterima di kalangan “atas” yang selama ini dikesankan malu
jika ketahuan mendengar musiK dangdut.
DANGDUT
DI TELEVISI
Dangdut sebagai salah satu jenis musik memiliki keunikan
tersendiri. Iramanya sanggup membuat semua orang berjoget tanpa perlu aturan
tertentu untuk menikmatinya. Adalah Televisi Pendidikan Indonesia (kini MNCTV) yang melihat potensi dangdut
sebagai tayangan yang menjanjikan. Merekalah yang pertama kali berani membuat
gebrakan dengan menyiarkan acara musik
dangdut. Acara yang ditayangkan pada siang hari, berdurasi satu jam merupakan
acara khusus musik dangdut. Target penonton adalah para pecinta musik dangdut
yang tersebar di pelosok-pelosok desa.
Tahun 1995-an Indosiar ikut membuat program musik
"Dangdut on The Campus" yang diputar pada hari Minggu pukul 10 pagi.
Tayangan ini mengupas tentang pendapat para mahasiswa tentang musik dangdut dan
mahasiswa diminta untuk ikut bergoyang dangdut. Acara ini nampaknya cukup
sukses dan diikuti terus oleh kalangan mahasiswa sekaligus membuktikan bahwa
tidak semua mahasiswa alergi terhadap musik dangdut.
Tidak mau ketinggalan dengan televisi yang lain, SCTV membuat program
"Sik, Asyik.." acara khusus musik dangdut. RCTI dengan
"JOGED"-nya dan LATIVI (kini TVone) menggelar langsung musik dangdut
yang dikemas dalam "Kawasan Dangdut". Demikian juga dengan tv-tv lain
berlomba-lomba menyajikan musik dangdut.
Musik dangdut di televisi dikemas begitu rupa, dari penampilan penyanyinya dengan
baju sopan dan tertutup, goyangan yang dibatasi, dan membuang syair-syair yang
erotis. Semua ini dilakukan untuk menghilangkan kesan, kalau dangdut itu musik
erotis dan merusak moral. Secara tidak langsung ini adalah usaha agar dangdut
bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat.
Sosialisasi musik dangdut lewat layar kaca nampaknya cukup berhasil.Buktinya
musik dangdut diterima oleh mahasiswa,diputar di kafe-kafe milik kaum elit,
para pecinta musik klasik, jazz, rock dan lagu-lagu pop lainnya mau mendengar
lirik-lirik dangdut. Sebagian dari artis (semula artis pop) bersedia
menyanyikan lagu-lagu dangdut. Contohnya adalah Obbie Mesakh pencipta lagu-lagu
pop yang berputar haluan mencipta lagu dangdut. Dengan demikian usaha
menjadikan dangdut sebagai musik semua lapisan masyarakat lewat televisi
terbukti sangat ampuh..
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda!