Daftar Isi

Showing posts with label opini bebas. Show all posts
Showing posts with label opini bebas. Show all posts

Saturday, May 16, 2015

Menulis Buku Sebagai Puncak “Ibadah” Seorang Jurnalis



Mungkin judulnya agak bombastis. Tapi laiknya ibadah shalat –bilamana anda muslim atau muslimah- yang dilakukan sehari-hari,menulis bagi seorang jurnalis adalah "makanan" sehari-hari juga. Puncak dari aktivitas kepenulisan itu, saya yakin, seribu persen jurnalis ingin menulis sebuah buku. Entah apapun temanya,model bagaimanapun tulisannya. Lebih-lebih,jika tulisan itu disponsori langsung oleh penerbit. Syukur-syukur penerbit besar.

Bagi seorang pemilik modal gede, menulis buku bukanlah persoalan besar. Jika ia seorang jurnalis, tinggal rajin menulis di medianya, kumpulkan,jadilah semacam bunga rampai. Kalau ia owner sebuah media, dan tidak bisa menulis, tinggal menyuruh penulis bayangan,jadilah buku atas nama dirinya. Atau jika punya ide, dan ingin menuangkannya dalam buku, gerakan semua sumber keuangan yang ia miliki,terwujud juga buku yang diidamkan.

Lain cerita bagi jurnalis kroco,macam saya. Laiknya ribuan teman jurnalis lain di Jakarta, saya pun mengidamkan punya buku. Bukan sekedar untuk memperbaiki kesejahteraan hidup. Bukan. Buku menjadi warisan berharga bagi anak cucu, atau sebagai “jejak” bahwa kita pernah berkecimpung di dunia tulis menulis. Saya tak ingin, kematian saya hanya dikenang dan diunggah lewat pesbuk teman-teman, atau sekedar kata RIP di status Blackberry. Sebulan kemudian terlupakan, tanpa ada karya yang masih bisa dibaca.

Beberapa kali tema saya ajukan ditolak penerbit. Saya mencoba menulis novel, tapi belum selesai juga lantaran kesibukan kerja. Satu ketika, saya aktif menulis status di Blackberry, menawarkan diri untuk menulis apa saja,bagi siapa saja. Seorang teman dari penerbit Puspaswara membacanya. Kami lantas terlibat diskusi intens, tema apa yang kira-kira sedang in. Kebetulan sedang booming akik. Usai terjadi kesepakatan, agenda berikutnya mewujudkannya.

Kebetulan paman saya di kampung mengabarkan butuh biaya pembangunan Taman Pendidikan Al Qur’an. Saya tak mau merendahkan diri dengan meminta-minta bantuan pada orang-orang kaya Jakarta. Saya berfikir, dengan menulis buku,dari royalti yang saya dapat bisa sedikit membantu paman. Ini yang membuat "baling-baling" kreativitas saya semakin berputar kencang.

Persoalan pertama adalah keterbatasan waktu. Karena booming akik tidak boleh hilang,ketika buku saya harus terbit. Saya sanggupi. Hampir selama saya riset data di internet dan di lapangan, tiap hari selalu kurang tidur. Data terus menerus minta di up date. Belum lagi foto, yang juga harus saya penuhi sendiri. Seorang teman,fotografer profesional, menolak bergabung lantaran tidak ada uang DP yang masuk duluan.Saya bisa memaklumi,karena kerja sekarang semuanya diukur dengan uang dan uang.

Lebih tragis lagi, order menulis biografi terpaksa batal. Padahal uang panjar sudah di tangan. Si pengorder ingin buru-buru. Tapi saya minta waktu, sampai naskah buku akik yang bisa di share untuk khalayak lengkap. Karena tak mau ditunda, kerjasama menulis biografi kandas. Saya ikhlas.

Tentu ini bukan pengalaman pertama saya menulis buku. Sebelumnya saya pernah terlibat pembuatan biografi seorang tokoh. Beliau adalah mantan panglima pasukan gerak cepat era Bung Karno. Pernah juga ikut menggarap proyek buku SIKIB (solidaritas istri kabinet Indonesia bersatu).Lain waktu, tulisan saya di media ditawar untuk dibukukan. Tapi karena kendala birokrasi, tawaran itu tidak bisa terealisasi. Karya-karya itu, tidak dijual secara komersial, tak aneh, impian menulis buku masih tetap berkecamuk.

Jika akhirnya buku soal akik yang saya tulis ini “menyimpang” dari pekerjaan sehari-hari saya sebagai wartawan hiburan, point penting sesungguhnya adalah karya ini terwujud dengan perjuangan yang sangat keras. Semua mafhum,tidak mudah meyakinkan penerbit,untuk orang dengan level seperti saya. Di sisi lain, buku ini juga menjadi pemicu, untuk berkarya lebih baik lagi, dengan tema-tema yang lain. Sederet ide coba saya wujudkan, siapa tahu ada lagi yang nembus ke penerbit.

Pada akhirnya menjadi jurnalis bukan diukur dari posisi apa dia di kantor,seberapa pandai dia berbicara dan seberapa piawai ia menjilat atasan di kantor agar bisa terus menduduki jabatan empuk.  Menulis berkualitas adalah produk yang tidak bisa dinafikan sebagai wujud intelektualitas, walau sang jurnalis hanya menduduki jenjang sebagai reporter biasa. Dan menulis buku adalah puncak “ibadah”, sebagaimana puncak-puncak yang lain yang masih memungkinkan untuk digapai.Misalnya meraih penghargaan Adinegoro.Syukur-syukur bisa menyabet Pulitzer. Tapi ini cuma becanda, karena satu hal yang mustahal. Bukan begitu?hehehe...


   

Sunday, April 5, 2015

SMS,BBM dan WA Pak Menteri



Jujur saya sering merasa kepontal-pontal mengikuti perkembangan teknologi. Dulu, saat Blackberry belum menjamur, menghubungi teman atau nara sumber,cukup dengan mengirim pesan pendek (SMS). Kala itu, merk Blackberry hanya saya dengar ketika Oprah Winfrey  secara mengejutkan membagi-bagikan hadiah pada penonton acara yang dipandunya; The Oprah Winfrey Show. Sekilas saja. Tanpa pernah terpikir, jika benda ajaib itu akhirnya mendarat ke Indonesia.

Setelah musim Blackberry menjamur, pesan pendek saya menjadi kadaluarsa. Pelan-pelan, mereka yang berduit mengganti gadgetnya dengan Blackberry. Karena harganya relatif mahal, saya tentu saja tak serta merta bisa membeli. Tapi tiap kali meminta nomor pada kenalan baru, selalu di beri PIN,dus berarti saya harus menghubunginya lewat Blackberry Messenger (BBM). Duh, rasanya capai banget, untuk mengikuti perkembangan teknologi yang berlari secepat kereta Shinkansen. 

Untung kantor memberi keringanan memiliki  Blackberry, dengan cicilan terjangkau. Lewat teknologi BBM inilah, saya mengenal Saleh Husin, politisi Hanura, yang kini jadi menteri perindustrian. Nama pria asal NTT ini terpampang di daftar teman Blackberry saya, meski kami jarang bertegur sapa. Bahkan saat kejayaan Blackberry pelan-pelan tergerus Iphone, sosok beliau masih setia bertengger di gadget saya. Belakangan, saya mulai was-was, lantaran pelan-pelan orang -orang berduit sudah tak nyaman berinteraksi lewat BBM.

Pertimbangannya, BBM sering ngadat. Ngirim hari ini,bisa besok baru nyampai. Kemudian lahirlah teknologi baru, WhatsApp. Berbondong-bondong orang beralih memakai aplikasi yang kerap disingkat WA ini. Blackberry saya sebetulnya bisa dipakai untuk WA. Tapi lantaran semakin menua, satu ketika WA-nya tak bisa diunggah. Tak ayal,kadang jika bertemu orang baru, dan meminta PIN BB, jawaban sudah tak memakai BB tapi beralih ke WA, membuat saya jadi melongo. Ujung-ujungnya, saya kembali ke SMS.

Nah,gara-gara soal SMS, BBM dan WA ini, buruk sangka sempat menghinggapi ketika tiba-tiba nama Pak Saleh Husin tak muncul di BB saya. Kebetulan ia men-delcon saya pas saat Presiden Jokowi mengangkatnya jadi menteri perindustrian. Saya sempat berfikir, waduh, apa beliau takut ya saya mintain proyek atau melamar jadi staf khususnya. Saya jadi sensi. Bukan apa-apa. Sepanjang saya kenalan dengan para pejabat negeri ini, pantang bagi saya untuk colak colek atau sok kenal sok dekat, dengan motivasi tertentu. 

Mungkin saya lugu. Tapi memang saya goblok untuk soal ini. Saya selalu bertahan dengan prinsip, hidup apa adanya,kalau perlu jangan jadi beban orang lain. Saya masih ingat,bagaimana seorang calon wakil gubernur begitu baik hati. Bolak balik memanggil agar diliput. Saat sudah duduk dan kini naik jadi gubernur, betapa susah saat dihubungi sekedar untuk say hello,apalagi meminta waktu untuk wawancara. Namun lantaran sikap saya yang easy going, saya woles saja. 

Buruk sangka terhadap pak menteri yang sempat bercokol itu akhirnya sirna seketika,  saat saya mengunjungi rumahnya di bilangan Buncit, Jakarta Selatan, awal April 2015 lalu. Tanpa saya tanya, beliau bilang sekarang memakai WA. “BB sudah nggak musim lagi,”katanya. Sejak pagi hingga hampir dzuhur berinteraksi dengan beliau, semakin menyadarkan diri saya, jika sosok Saleh Husin memang jauh dari pikiran negatif saya.

Tentu saja saya tak perlu secara gamblang mengungkap kelebihan-kelebihan beliau secara personal, karena nanti dianggap subyektif. Tapi pesan penting dari semuanya, teknologi membuat kita semakin terbantu dalam berbagai hal. Namun di sisi lain, ada sisi sentimentil yang kerap timbul jika kita tak hati-hati menempatkannya. Okelah, hak setiap orang untuk menunjukan level sosial atau seberapa jauh ia melek teknologi, ketika setiap saat mengikuti trend. Tapi sebetulnya, bukan di situ substansi sebenarnya dari sebuah penciptaan teknologi.

Pada akhirnya, semua berpulang ke diri kita masing-masing. Ada pekerja dengan penghasilan pas-pasan, yang rela kredit Iphone hanya demi menunjukan diri jika ia berselera tinggi. Tapi banyak juga konglomerat tajir, yang tetap setia dengan gadget Nokia jadul, dengan layar monocrom, lantaran fungsi komunikasi sebenarnya ya sekedar  menerima dan mengirim telepon. 

Tak heran,jika tak disikapi dengan bijak, jatuhnya mungkin seperti yang saya alami. Orang sebaik Saleh Husin, sempat saya curigai,gara-gara saya di delcon. Padahal mah problemnya sederhana aja, beliau hanya beralih dari BBM ke aplikasi WA. So, tolong orang-orang pinter IT, jangan bikin kita jadi kepontal-pontal mengikuti imajinasi liar kalian. Tapi mungkinkah?

Sunday, November 9, 2014

TK A,TK B dan TKW kita


“Ciaaaaaaaat!!!”.Seperti pendekar sakti Sungai Kuning, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri melompati pagar sebuah penampungan Tenaga Kerja Wanita (TKW) di daerah Tebet, Jakarta Selatan. Konon pak menteri memilih melompat,lantaran tidak segera dibukakan pintu oleh sang empunya Penyalur Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). Saat melihat fotonya di media masa, spontan saya ingat aksi pendekar di cerita silat karangan Asmaraman S. Kho Ping Ho, yang sering saya baca waktu SMP. Sang pendekar,eh pak menteri seperti memiliki ilmu  gin kang alias ilmu meringankan tubuh.Wusss....

Mungkin saya lebay ya?Tapi pak menteri memang pantas gusar. Apalagi belum lama dua TKW kita meninggal secara  mengenaskan di Hongkong. Sumarti Ningsih dan Seneng Mujiasih terbunuh dengan luka tusukan yang diduga dilakukan seorang bankir asal Inggris. Saya tak mau membahas apa profesi keduanya. Namanya orang sudah meninggal, yang baik-baik sajalah yang kita ungkit. Ora ilok,kata orang Tegal. Walau saat melihat foto-foto Ningsih di akun jejaring sosialnya, sungguh terlihat ‘ngeri-ngeri sedap’.

Sebelum kedua jenasah TKW kita itu dipulangkan dan dikebumikan,rasa-rasanya bibir kita semua sudah dower, untuk mengingatkan betapa acakadutnya proses rekrutmen dan pengiriman TKW kita. Dari umur yang dituakan,pembinaan yang asal-asalan,sampai penyelundupan TKW, yang kalau apes malah kejebur di laut jadi makanan ikan teri. Dari proses itu, hasilnya TKW kita kalau tidak membunuh ya terbunuh. Derita paling umum adalah dihamili, atau kalau beruntung seperti Darsem. Dapat pembebasan hukuman pancung karena bayar denda, sekaligus menerima duit 1 milyar sumbangan pemirsa Tvone. Hassyiiik....

Memang tak semua TKW bercitra negatif. Saya pernah kenalan dengan seorang perempuan muda, yang  sedang liputan Agnes Monica (sekarang disingkat jadi Agnes MO,gara-gara lagi ngetrend singkat-singkatan). Ngobrol punya ngobrol, ternyata dia mengelola sebuah tabloid khusus TKI di Hongkong dan Taiwan. Belum lama berselang, ketika main di sebuah toko buku, saya juga lihat ada buku yang ditulis seorang  TKW yang kemudian beralih profesi  menjadi motivator sukses. Luar biasa.

Pekerjaan mereka awalnya sama;ngosek WC. Tapi lantaran ingin maju, mereka belajar, dan berhasil. Masih ingat kasus Soleh Mahmud alias Solmed, yang berseteru dengan jamaah pengajian di Hongkong, gara-gara pasang tarif selangit. Nah,itu juga jadi bukti, diluar mereka bekerja sebagai asisten rumah tangga, sesekali juga mereka  menyantap hidangan rohani, walau mungkin tidak sering. Tapi paling tidak,itu menggambarkan, mereka adalah TKW yang baik dan tidak sombong,eh, maksud saya ingin memperbaiki akhlak.

Soal TKW yang nyambi melayani pria, tentu  tak ada bukti yang valid. Paling gosip-gosip, yang jika digosok makin sip. Mungkin dari melihat penampilan mereka di Victoria Park,sebuah taman di pusat Kota Hongkong tempat para TKW pada kongkow saat weekend, lantas muncul cerita itu. Soalnya di situ dandanan mereka aduhai sekali. Prilly Latuconsina atau Bunga Citra Lestari pasti lewat. Lihat saja, dari celana super  pendek hingga bokongnya kelihatan, sampai berani mentato tubuh dengan gambar aneka rupa. Kadang-kadang juga terlihat para TKW itu ditenteng bule (rantang kali ditenteng,hehehe). Tapi semua hanya kabar burung, sebelum akhirnya kejadian tragis itu muncul.

Saya pribadi ingin, sudahlah, hentikan saja pengiriman TKW,apalagi yang muda dan montok (hmmm...).  Namun jika ini sulit, ya minimal ada pembinaan intensif dan terukur, jangan cuma sekedar dilatih membuat ceplok telor dan memotong lontong. Sebab saya fikir, para TKW itu juga tak jauh beda dengan anak-anak TK A dan TK B. Jangan marah dulu. Maksud saya, jika anda memiliki anak yang masih duduk di bangku TK A dan TK B, pasti merasa repot untuk menjelaskan segala sesuatu yang baru di luar rumah.

Anak saya misalnya, paling rewel bertanya ini itu. Sebagai orang tua, saya harus menjelaskan. Ini biar anak saya tidak kecemplung “got”, yang terjadi karena ketidaktahuannya. Dalam kasus para TKW, mereka itu mayoritas berasal dari desa dan berpendidikan paling banter SMA.  Kadang ada yang berasal dari pucuk gunung, dimana capung saja tak kuat naik saking jauh dan terpencil tempatnya. Berani taruhan, dunia mereka ya sekitar kasur,sumur dan dapur. Boro-boro pernah ke Taiwan atau Hongkong. Di lepas ke Senayan City saja mungkin sudah linglung.

Dari habitat wong ndeso, laiknya anak TK A atau TKB kita yang belum tahu situasi luar rumah, tentu berisiko, ketika akhirnya harus dilepas ke kota metropolitan seperti Hongkong. Apalagi dengan gaji gede,melebihi gaji sarjana di Indonesia. Hakul yakin, mereka akan mengalami gegar budaya. Bergaul dengan teman-teman dari berbagai lintas negara, melihat orang-orang baru bertampang seperti Shaheer Sheikh yang jadi Arjuna di Mahabbarata  atau Jet Lee (bukan Jet pump lho ya?). Siapa yang kuat iman?Sudah begitu,jauh pula dari ustaz dan orang tua.

Kondisi ini diperparah dengan sifat orang kita yang snob –suka pamer. Bukan dengan mencantumkan stiker happy family di kaca belakang mobil, agar seluruh dunia tahu itu mobil kita.Bukan. Tapi para TKW ketika berangkat sudah mendapat beban psikologis harus kaya. Harus kirim uang buat bangun rumah, sumbang mushola, sembelih wedus saat Idul Adha atau beli sawah dan pekarangan yang luas. Ya mungkin itu bisa terwujud kalau dapat majikan baik. Kalau tidak?

Mereka yang masih ingat ajaran di madrasah bakal bertahan dengan idealisme,dan berpegang teguh pada nilai-nilai agama. Namun saat tawaran untuk nyambi melayani bule dengan harga menggiurkan datang, sementara tekanan untuk terlihat kaya kerap menghimpit,jangan salahkan jika pertahanan iman mereka ambrol.  Di sinilah,maksud saya, peranan para psikolog,agamawan, atau kaum moralis, untuk memberi “bekal” pada mereka sebelum  bekerja di negeri tetangga, laiknya kita memberi “bekal” anak balita kita sebelum  ke TKA atau TKB.

Kasus Hongkong menjadi “warning” serius, jangan sampai TKW  negeri kita di identikan dengan kemesuman belaka.  Coba kalau anda lihat perempuan Uzbek yang bekerja di  Jakarta. Atau maaf, perempuan-perempuan muda yang berasal dari Indramayu yang bekerja di warem (warung reman-remang) sepanjang Parung,Bogor.  Pasti konotasinya negatif. Padahal saya yakin, banyak perempuan Uzbek dan Indramayu yang baik-baik, yang stay di Jakarta. Tapi karena nila setitik, rusak susu sebelanga.

Hak para TKW untuk mencari nafkah di mana suka. Cuma mbok ya jangan sektor pembantu rumah tangga terus yang diperbesar “ kuotanya”.  Ini tugas pemerintah barulah. Antara lain, ya dengan lompatan gin kang pak menteri  tadi. Para TKW juga mesti sadar, bahwa  bekerja diluar negeri itu untuk memuliakan kehidupan. Yang masih cantik dan bohay, harus mikir satu saat akan menikah dengan baik-baik. Yang sudah janda dan punya anak,ingat, anak itu harus sekolah tinggi dan butuh biaya.

Sementara bagi yang terpaksa meninggalkan suami, buat apa bermain api dengan orang Arab, India, Hongkong atau bule, jika akhirnya harus di mutilasi atau pancung? Bersyukur  kalau jasad kita masih utuh. Jika dimasak,terus ditiriskan dan dikasihkan kucing, sudah kita kehilangan nyawa, keluarga juga malu. Bekerja saja yang benar. Jika dipersulit atau kesulitan, ya, segera kabur ke KBRI. Atau seperti tetangga saya,yang berpegang prinsip, seenak-enaknya hujan emas di negeri orang, lebih enak lagi di negeri sendiri meskipun hujan batu. Pendek kata, rejeki toh Allah yang atur. Jadi ngapain dikhawatirkan, sampai maksain diri jadi TKW. Setuju monggo,nggak setuju barbel melayang,hehehe...

    

Tuesday, August 12, 2014

Revolusi Mental Ala Aa Gym



Saat mendengar Aa Gym akan memberikan tausyah, Selasa (12/8) lalu, saya sebetulnya agak aras-arasen (Bahasa Indonesia; malas) untuk ikut jiping alias ngaji kuping. Bukan apa-apa. Saya masih teringat,bagaimana beliau menjalani kehidupan rumah tangganya yang penuh kontroversial. Kebetulan saya bukan penganut “ideologi” poligami. Seperti banyak ibu-ibu jamaah Aa Gym yang lain, saya sangat kecewa, ketika pengasuh pesantren Daruut Tauhid ini memutuskan untuk berpoligami.

Namun lantaran ini moment langka, pagi itu saya beranikan diri untuk datang. Saya memang melihat Aa Gym agak lebih sepuh. Kulitnya tidak seputih dulu. Tapi ia tetap ramah, dan tampil apa adanya. Satu hal yang membuat saya memberanikan diri menulis ini adalah soal fokus dakwahnya yang kini sudah berubah haluan. Sesuai pesan gurunya, Aa Gym lebih menekankan soal hakekat ketauhidan.

Ini sebetulnya kajian yang berat. Saya teringat seorang kyai di desa saya, yang sering mengusung tema ini. Hasilnya, jamaah kyai tersebut jadi eksklusif. Dalam batas-batas tertentu, bahkan menganggap, yang bukan kelompok mereka adalah orang yang “sesat”. Tapi di tangan Aa Gym, kajian ini menjadi sangat ringan, mengena dan “nendang” hingga ke ulu hati.

Aa Gym mengaku tujuh tahun untuk bertransformasi menjadi seperti sekarang. Ia diajari gurunya untuk mengamalkan ilmu kelapa. Seperti kelapa, kita tidak akan mendapat minyaknya, sebelum dijatuhkan, disayat, dibelah, dan diparut. Aa Gym mengakui, saat berpoligami, hinaan,hujatan, cacian dan cercaan mendatanginya setiap hari. Sakit hatikah?”Tidak.Karena dengan cara seperti itulah, saya melepas Illah yang lain, selain Allah SWT,”katanya.

Ia mencoba flashback. Ketika sedang berada dipuncak kepopuleran, perusahaan puluhan, dihormati dan dikagumi, hidupnya justru tidak tenang. Anak-anaknya tak terurus. Ia merasa selalu lelah. Risau. Aa Gym hanya merasa tenang, saat memberi tausyah. Tapi setelah itu hanya capai yang didapat.”Saya sering mengeluh, kok hidup begini banget ya? Akhirnya oleh guru saya, saya dianjurkan untuk menapak bumi. Seperti kelapa, saya harus dijatuhkan dulu,”kata Aa Gym.

Semua Illah selain Allah perlahan-lahan dilepas. Kepopuleran, nama besar, harta benda, rasa ingin dihormati, takut dicaci, ingin dipuji dan segenap hal yang berujung pada penilaian manusia semua dilepas. Revolusi mental itu membuat Aa Gym mengasingkan diri. Baru setelah dinilai sudah mantap oleh sang guru, beliau diijinkan kembali untuk berdakwah. “Tapi kajiannya hanya soal bagaimana cara mengenal Allah. Ini yang saya sebut ketauhidan dalam versi yang ringan,”katanya.

Ah, selama satu jam lebih kami semua bahkan terus ingin nambah dan nambah pengajian Aa Gym. Tidak ada keangkeran seperti citra yang dipancarkan kyai di desa saya. Justru lewat ngaji tauhid inilah, menurut Aa Gym, kunci menuju bahagia. Jika kita berharap pujian dari orang lain, hidup kita tidak akan tenang. Lagi pula, pujian dan hinaan hanyalah versi manusia. “Kalau kita nggak bisa bayar cicilan mobil lantaran kita memaksa kredit agar dipuji,apa mereka yang memuji mau membayarkannya,”kata Aa Gym.

Yang unik, kata Aa Gym, tidak semua orang yang mati dan mengaku syahid, para dai, ahli ibadah dan dermawan akan masuk surga. Karena saat dihisab, ketika ditanya syahid dan ibadahnya diakui untuk Allah, tapi setelah ditelisik ternyata hanya karena berharap pujian manusia,maka orang itu akan dianggap berdusta. Alhasil, ia bakal terjungkal di neraka. “Jadi kunci bahagia itu bersihkan hati. Jauhkan dari sifat ingin dipuji, gagah-gagahan, kikir, dengki, suka pamer dan penyakit hati yang lain,”kata Aa Gym.

Dan lain-lain,mungkin terlalu sempit jika saya tulis semua. Tapi Allah memang maha membolak-balikan hati manusia. Jujur saja, rasa jengkel yang selama ini bersemayam karena keputusan Aa Gym berpoligami, mendadak sirna, seperti kabut diterpa sinar matahari. Sengaja pengalaman batin ini saya bagi,karena sesungguhnya kita tak tahu hati Aa Gym, saat ia rela meski harus dihujat. Maafkan Aa, saya telah berburuk sangka. Kepada Allah pula, saya berdoa, semoga penyakit ingin dilihat wah dan suka pamer dijauhkan dari hati saya. Amin ya robbalalamin.

Sunday, June 22, 2014

Alasan Banyak Ulama Merapat ke Prabowo-Hatta



Subahanallah. Hampir dua tahun tak bertemu,pria berbaju gamis dengan jenggot menjulur panjang itu, tiba-tiba ia berada di depanku, Kamis (19/6) sore, di rumah Polonia, Jakarta Timur. Kebetulan saya sedang bertandang. Saya sapa segera,”Hai, ustaz...wah, mampir ke sini juga ya?”kata saya. Obrolan lantas terjadi, meski sebentar, karena beliau buru-buru mau pulang.

Dulu dia pendukung berat Jokowi-Ahok,kala proses kampanye pilgub Jakarta. Dua kali saya diundangnya untuk deklarasi Jokowi-Ahok. Saya sempat tak percaya, jika akhirnya dia ‘berlabuh’ ke markas pemenangan Prabowo-Hatta. Soalnya dia orang Makassar. Tapi setelah mendengar penjelasannya sekilas, saya mafhum, hingga membuat saya tergelitik untuk menulis ini.

Pilpres memang kerap membuat seseorang seperti memakai kaca mata kuda. Teman akrab saya harus mencaci maki Kyai Mustofa Bisri, lantaran menerima broadcast message dukungan Kyai Mustofa pada capres tertentu. Ustaz dan kyai seperti Aa Gym,Anwar Sanusi, Arifin Ilham dan Noer Iskandar SQ dianggap sepi, beberapa bahkan dihujatnya dengan berapi-api,hanya karena mereka ‘menganjurkan’ untuk memilih nomor hiji.

Kyai-kyai khos NU tak luput dari ejekan dibodoh-bodohi, karena mereka menunjukkan ijtihad politiknya untuk pasangan nomor siji. Prihatin sudah pasti. Coba bayangkan, mereka seperti sudah jadi hakim, kalau pilihan merekalah yang paling oke. Pihak lain, meski itu sekelas Habib Lutfhi, dianggap “bodoh” dan menggadaikan harga diri ketika menerima Hatta Rajasa. Padahal saya yakin, dukungan deras para ulama ke Prabowo-Hatta, tanpa dilandasi transaksi jual beli, seperti yang terjadi pada para politisi.

“Yang paling sedikit kerugiannya,”alasan ustaz yang saya temui di rumah Polonia tadi, saat ditanya kenapa mendukung Prabowo-Hatta. Saya mencoba mengkalkulasi, apa plus minus dari kedua pasangan capres-cawapres itu. Secara agama,mereka sama-sama Islam. Prestasi, ada tapi tak bisa dibandingkan karena mereka berbeda profesi. Ahai, mungkin ini.

Dari pasangan Jokowi-JK,ada isu akan melarang perda Syariah berlaku di daerah-daerah selain di Aceh. Juga wacana penghapusan kolom agama di KTP, yang buru-buru ditolak Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Ada juga dukungan ulama Syiah lewat Jalaludin Rahmat. Terakhir, Wimar Witoelar mengunggah gambar Prabowo bersama para pendukungnya, termasuk Aa Gym dan simbol Muhammadiyah, dengan disertai kalimat Gallery of Rogues, Kebangkitan Bad Guys (galeri para bajingan, kebangkitan orang jahat).

Saya pikir,okelah, itu jadi salah satu alasan, kenapa mayoritas ulama dan pondok pesantren terkenal berbondong-bondong mendukung Prabowo. Namun sesungguhnya tak banyak yang ngeh, jika di Jakarta elektabilitas Jokowi menurun, lantaran warga Jakarta ogah dipimpin Ahok. Ini memang SARA, tapi fakta ini sejujurnya yang jadi pertimbangan utama, kenapa para kyai itu memilih yang lebih sedikit kerugiannya.

Jadi murni pertimbangannya bukan karena Prabowo lebih religius dibanding Jokowi. Bukan. Sekarang timbul kekhawatiran, Jakarta akan dipimpin gubernur non muslim,jika Jokowi jadi RI 1. Ini menyusul Solo, yang setelah ditinggal Jokowi dipimpin bukan orang Islam. Kadang jika saya ngomong begini, saya justru dihujat ngapain bawa-bawa agama ke pilpres. Lha, kencing saja ada tuntunanya kok. Apalagi memilih pemimpin.

Sedih juga, jika teman yang Islam tak tahu,kalau kita tidak boleh ikut andil menaikan orang non muslim menjadi pemimpin mayoritas muslim. Alasannya, negara kita berdasar Pancasila. Ada Bhinekka Tunggal Ika. Lha, mereka tak sadar, pluralisme juga harus menimbang asas keberimbangan (proporsionalisme). Kalau saya orang Hindu, saya tak rela Bali dipimpin gubernur muslim. Begitu juga Papua, NTT, dan Sulawesi Utara. Pasti masyarakatnya ingin gubernur satu keyakinan dengan agama mayoritas, yaitu Kristen.

Sekarang umat Islam Jakarta sedang terancam tersakiti,menyusul Solo. Ada ladang jihad di depan kita, dan itu yang membuat mereka yang mau sedikit berempati terhadap sesama saudara muslimnya, berbondong-bondong sekuat daya tetap mendudukan Jokowi yang muslim sebagai gubernur Jakarta. Tidak ada yang salah bukan? Ingat, mayoritas penduduk Jakarta adalah muslim.

Kasus korupsi yang membekap para politisi Islam, kerap membuat teman-teman menggampangkan masalah ini.”Pilih wong Islam akhirnya korupsi,”kata mereka. Saya selalu kutip hadis nabi, Al-Islamu ya’lu wala yu’la’alaih---Islam itu tinggi nilainya, dan tidak ada sesuatupun yang dapat menyaingi ketinggian nilai Islam. Seluruh umat Islam korupsi, tidak akan mengurangi sedikitpun keagungan Islam. Jadi jangan salahkan agamanya,kalau ada yang korupsi.

Saat Bill Clinton (mantan Presiden Amerika Serikat) selingkuh dengan Monica Lewinsky, apa iya kita salahkan kepercayaannya? Ketika Silvio Berlusconi (mantan perdana menteri Italia) menyewa PSK, nggak nyambung khan kalau keyakinannya di seret-seret juga? Oknum adalah oknum. Ajaran agama bukan cerminan dari perbuatan sang oknum.
Sekarang sudah jelas, kenapa ijtihad politik para ulama itu condong ke Prabowo-Hatta. Ada pilihan di balik bilik suara.Jadi bukan soal kalah dan menang.

Selamatkan umat Islam Jakarta, kalau kita mengaku care dengan agama kita. Buka hati dengan kejernihan jiwa. Saya katakan, dua-duanya sama-sama orang baik. Tapi jika kita bukan para politisi yang akan dapat kursi jika jadi timses, minimal kita bisa membantu kekecewaan saudara-saudara seiman kita, jika Jakarta benar-benar dilepas Jokowi, dengan memilih Prabowo sebagai RI 1. Save umat Islam Jakarta, Save Indonesia!