Daftar Isi

Sunday, April 5, 2015

SMS,BBM dan WA Pak Menteri



Jujur saya sering merasa kepontal-pontal mengikuti perkembangan teknologi. Dulu, saat Blackberry belum menjamur, menghubungi teman atau nara sumber,cukup dengan mengirim pesan pendek (SMS). Kala itu, merk Blackberry hanya saya dengar ketika Oprah Winfrey  secara mengejutkan membagi-bagikan hadiah pada penonton acara yang dipandunya; The Oprah Winfrey Show. Sekilas saja. Tanpa pernah terpikir, jika benda ajaib itu akhirnya mendarat ke Indonesia.

Setelah musim Blackberry menjamur, pesan pendek saya menjadi kadaluarsa. Pelan-pelan, mereka yang berduit mengganti gadgetnya dengan Blackberry. Karena harganya relatif mahal, saya tentu saja tak serta merta bisa membeli. Tapi tiap kali meminta nomor pada kenalan baru, selalu di beri PIN,dus berarti saya harus menghubunginya lewat Blackberry Messenger (BBM). Duh, rasanya capai banget, untuk mengikuti perkembangan teknologi yang berlari secepat kereta Shinkansen. 

Untung kantor memberi keringanan memiliki  Blackberry, dengan cicilan terjangkau. Lewat teknologi BBM inilah, saya mengenal Saleh Husin, politisi Hanura, yang kini jadi menteri perindustrian. Nama pria asal NTT ini terpampang di daftar teman Blackberry saya, meski kami jarang bertegur sapa. Bahkan saat kejayaan Blackberry pelan-pelan tergerus Iphone, sosok beliau masih setia bertengger di gadget saya. Belakangan, saya mulai was-was, lantaran pelan-pelan orang -orang berduit sudah tak nyaman berinteraksi lewat BBM.

Pertimbangannya, BBM sering ngadat. Ngirim hari ini,bisa besok baru nyampai. Kemudian lahirlah teknologi baru, WhatsApp. Berbondong-bondong orang beralih memakai aplikasi yang kerap disingkat WA ini. Blackberry saya sebetulnya bisa dipakai untuk WA. Tapi lantaran semakin menua, satu ketika WA-nya tak bisa diunggah. Tak ayal,kadang jika bertemu orang baru, dan meminta PIN BB, jawaban sudah tak memakai BB tapi beralih ke WA, membuat saya jadi melongo. Ujung-ujungnya, saya kembali ke SMS.

Nah,gara-gara soal SMS, BBM dan WA ini, buruk sangka sempat menghinggapi ketika tiba-tiba nama Pak Saleh Husin tak muncul di BB saya. Kebetulan ia men-delcon saya pas saat Presiden Jokowi mengangkatnya jadi menteri perindustrian. Saya sempat berfikir, waduh, apa beliau takut ya saya mintain proyek atau melamar jadi staf khususnya. Saya jadi sensi. Bukan apa-apa. Sepanjang saya kenalan dengan para pejabat negeri ini, pantang bagi saya untuk colak colek atau sok kenal sok dekat, dengan motivasi tertentu. 

Mungkin saya lugu. Tapi memang saya goblok untuk soal ini. Saya selalu bertahan dengan prinsip, hidup apa adanya,kalau perlu jangan jadi beban orang lain. Saya masih ingat,bagaimana seorang calon wakil gubernur begitu baik hati. Bolak balik memanggil agar diliput. Saat sudah duduk dan kini naik jadi gubernur, betapa susah saat dihubungi sekedar untuk say hello,apalagi meminta waktu untuk wawancara. Namun lantaran sikap saya yang easy going, saya woles saja. 

Buruk sangka terhadap pak menteri yang sempat bercokol itu akhirnya sirna seketika,  saat saya mengunjungi rumahnya di bilangan Buncit, Jakarta Selatan, awal April 2015 lalu. Tanpa saya tanya, beliau bilang sekarang memakai WA. “BB sudah nggak musim lagi,”katanya. Sejak pagi hingga hampir dzuhur berinteraksi dengan beliau, semakin menyadarkan diri saya, jika sosok Saleh Husin memang jauh dari pikiran negatif saya.

Tentu saja saya tak perlu secara gamblang mengungkap kelebihan-kelebihan beliau secara personal, karena nanti dianggap subyektif. Tapi pesan penting dari semuanya, teknologi membuat kita semakin terbantu dalam berbagai hal. Namun di sisi lain, ada sisi sentimentil yang kerap timbul jika kita tak hati-hati menempatkannya. Okelah, hak setiap orang untuk menunjukan level sosial atau seberapa jauh ia melek teknologi, ketika setiap saat mengikuti trend. Tapi sebetulnya, bukan di situ substansi sebenarnya dari sebuah penciptaan teknologi.

Pada akhirnya, semua berpulang ke diri kita masing-masing. Ada pekerja dengan penghasilan pas-pasan, yang rela kredit Iphone hanya demi menunjukan diri jika ia berselera tinggi. Tapi banyak juga konglomerat tajir, yang tetap setia dengan gadget Nokia jadul, dengan layar monocrom, lantaran fungsi komunikasi sebenarnya ya sekedar  menerima dan mengirim telepon. 

Tak heran,jika tak disikapi dengan bijak, jatuhnya mungkin seperti yang saya alami. Orang sebaik Saleh Husin, sempat saya curigai,gara-gara saya di delcon. Padahal mah problemnya sederhana aja, beliau hanya beralih dari BBM ke aplikasi WA. So, tolong orang-orang pinter IT, jangan bikin kita jadi kepontal-pontal mengikuti imajinasi liar kalian. Tapi mungkinkah?

2 comments:

Terima kasih atas kunjungan anda!