Cukup lama
Indonesia tidak punya film animasi. Walau produksi film sudah mulai menggeliat,
tapi nampaknya tak banyak produser yang berani membuat film animasi. Selain
biayanya yang mahal, konon kerumitan dalam hal teknologi membuat film-film
animasi lebih banyak dibikin sineas Hollywood. Kondisi ini, tentu saja
memprihatinkan. Pasalnya, banyak tokoh super hero asli Indonesia, yang
sebetulnya bisa dibuat film animasinya.
Adalah
Prof. Dr. Suyanto MM, seorang owner sekolah tinggi komputer di Yogyakarta, yang
menggagas pembuatan film animasi berjudul The Legend of Ajisaka and Fire.
Suyanto meyakini, sumber daya manusia (SDM) Indonesia di bidang film animasi
tidak kalah dengan SDM dari Barat.
Dengan sokongan modal yang mencukupi, kreativitas mereka akan berkembang.
Buktinya, film animasi ini sekarang
tengah dikerjakan oleh 100 orang tenaga kerja, dengan bujet yang dirahasiakan
oleh Suyanto.
Citarasa Hollywood
Mengutip National Geographic Indonesia
edisi Agustus 2012, dari 100 tenaga kerja separuhnya adalah mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi di Indonesia serta
sebagian besar lainnya dari pelaku film di Indonesia. Rencananya, film
animasi ini sudah bisa ditonton oleh masyarakat Indonesia dan mancanegara di
tahun 2013.
Penokohan
Ajisaka dipilih karena sosok ini dipercaya masyarakat Jawa sebagai pahlawan
yang membela kebenaran. Tak hanya itu saja, pemilihan Ajisaka juga untuk
mengenalkan kepada dunia luar bahwa Indonesia memiliki tokoh super hero dari
kultur Jawa, yang juga memiliki
kedalaman cerita yang rumit dan penuh konflik. Salah seorang yang terlibat
dalam pembuatan, Jhon Hery, menjelaskan film ini telah lolos script oleh analis
script film Hollywood ternama yakni Rob Pavloski.
Script-nya
sendiri berasal dari ide orang Indonesia. Film yang berdurasi 1,5 jam ini juga akan
mengikuti alur dramaturgi, berbahasa Inggris, serta menggunakan teknik-teknik
film yang digunakan oleh sineas animasi Hollywood. Sedangkan untuk sutradaranya
berasal dari New Zealand yaitu Tristan Strange. Jika sudah selesai, dipastikan film animasi ini tak jauh beda
dengan produksi para animator Hollywood.
Hery
mengatakan, film ini 98 persen dikerjakan oleh tangan generasi muda Indonesia.
Hingga saat ini, proses pengerjaannya baru mencapai 30 persen. Hery berharap, film
animasi berkelas Hollywood ini bisa mengangkat nama Indonesia di mata dunia
luar, karena ternyata Indonesia mampu memproduksi film animasi yang bermutu. Atau
minimal, kemunculan film animasi ini akan merangsang para artis film animasi
Indonesia lainnya, untuk memproduksi film serupa.
Menurut
Prof. Suyanto, film animasi Ajisaka itu
nantinya akan dibuat dengan wajah yang dimiripkan dengan sosok bule. Hal ini agar mudah masuk ke pasar
internasional, karena adanya kedekatan dengan para penonton luar negeri yang
diincarnya. Selain itu, dalam pembuatan film tersebut pihaknya sepakat untuk
melibatkan editor dan pengisi suara dari luar negeri. Keterlibatan orang -
orang dari luar itu cukup penting karena berdampak pada pemasaran. Buktinya,
menurut Suyanto, mesti film animasi
masih dalam taraf pembuatan tapi respon
dari pasar cukup kuat.
Suyanto menyebutnya dengan Hollywood
taste. Selain dengan tampilan wajah, cerita yang disuguhkan juga bercitarasa
Hollywood."Pada intinya kami memang
sengaja mengambil kisah epic advanture yang diambil dari tokoh - tokoh dalam
cerita rakyat, sama halnya dengan film - film serupa semisal Avatar yang naik
daun beberapa waktu lalu," ujar Suyanto. Nantinya, cerita Ajisaka akan
dibagi dalam tiga bagian,meliputi petualangan tokoh sentral hingga mencapai
titik kulminasi dan klimaks di akhir cerita.
Menyusul “Meraih Mimpi”
Jika nanti selesai, film animasi Ajisaka
memang bukan film animasi layar lebar pertama yang pernah dibuat oleh SDM
Indonesia. Sebelumnya Indonesia berhasil
membuat film animasi 3D pertama yang ditayangkan di layar lebar. Film
tersebut berjudul Meraih
Mimpi yang diproduksi
Infinite Frameworks (IFW), studio animasi yang berpusat di Batam.
Film
animasi yang beredar pada pertengahan 2009 lalu itu merupakan adapatasi dari buku karya Minfung Ho
berjudul Sing to The Dawn.
Buku tersebut bercerita tentang kakak beradik yang berusaha melindungi tempat
tinggal mereka dari kontraktor penipu. IFW membuat adapatasi buku Minfung Ho
tersebut atas permintaan pemerintah Singapura yang ingin buku wajib baca di beberapa
SD di Singapura dibuat filmnya.
Begitu
mendapat tawaran, IFW langsung memulai pengerjaan film Sing to The Dawn. Dari
sekitar 150 animator hanya 5 orang asing yang ikut ambil bagian. Selebihnya SDM
Indonesia. Pengerjaan dilakukan sepenuhnya di Batam selama tiga tahun dan
memakan biaya sebesar 5 juta dollar AS. Setelah film selesai dibuat pada tahun
2008, film Sing to The Dawn mulai didistribusikan ke berbagai
negara mulai dari Singapura, Korea, dan Rusia.
Memang Sing to The Dawn tidak langsung diluncurkan ke
Indonesia karena IFW ingin memperkenalkan Sing
to The Dawn ke penonton luar
terlebih dahulu. "Sing to The Dawn tidak langsung kami luncurkan ke
Indonesia karena kami ingin meraih international recognizition terlebih dahulu. Setelah itu, kami
baru meluncurkan di Indonesia agar masyarakat tahu bahwa ada studio animasi di
Indonesia," jelas Wisnu Triatmojo, Jubir IFW.
Sing
to The Dawn baru
dilokalisasi ke dalam versi Indonesia pada tahun 2009 dengan judul Meraih Mimpi. Sutradara Nia Dinata
bahkan direkrut untuk membantu proses script
writing dan Erwin Gutawa
diminta langsung untuk mengkomposisi ulang musik yang mengiringi film. Di
samping itu, beberapa artis terkenal seperti Gita Gutawa, Cut Mini, dan Shanty
juga terlibat sebagai pengisi suara. Namun,
entah karena jagoannya yang kurang membumi, film animasi ini memang kurang
“nendang” dalam pemasarannya di tanah air.
Berawal dari Si Huma
Di Indonesia sendiri, sejarah film
animasi tak lepas dari film animasi Si Huma yang diproduksi sekitar tahun 1983 dan
ditayangkan di TVRI.
Film ini diproduksi oleh Pusat Produksi Film Negara
-
dibantu oleh UNICEF -
dan merupakan film animasi Indonesia pertama. Karakter dalam film ini adalah
Huma dan Windi. Si Huma memang di buat tidak untuk ditayangkan dalam format
layar lebar. Berikutnya ada Didi Tikus, yang juga dibuat untuk ditayangkan di
televisi. Beberapa proyek film animasi lain berlatar belakang budaya Indonesia
banyak ditemui, sebagai film edukasi untuk anak-anak.
Secara sederhana, animasi bisa disebut
sebagai sebuah ilustrasi atau gambar yang dicetak dalam frame demi frame.
Tiap-tiap frame memiliki gambar yang berbeda (nyaris sama)
satu sama lain sehingga jika diproyeksikan (bergerak secara cepat) terciptalah
ilusi pergerakan gambar. Perkembangan teknik animasi dari masa ke masa terbilang
begitu pesat. Sejak awal kali pertama para pembuat animasi langsung menggambar
pada frame film hingga kini telah menggunakan teknologi digital.
Dari animasi dua dimensi (2-D), lalu
animasi stop-motion, kini berkembang menjadi animasi tiga dimensi
digital (CGI). Batasan film animasi juga semakin “kabur” karena teknik animasi
kini lazim digunakan sebagai efek visual untuk film-film non-animasi, seperti
sering kita lihat pada film-film fiksi ilmiah serta fantasi. Film animasi telah menjangkau wilayah cerita
serta genre yang luas, seperti drama, fiksi-ilmiah, perang, fantasi, horor,
musikal, hingga epik sejarah.
Walau bisa dinikmati oleh semua kalangan, film
animasi juga identik sebagai film hiburan anak-anak. Karena pada kenyataannya
sebagian besar film yang diproduksi memang ditujukan untuk anak-anak. Dalam
beberapa kasus seperti di Jepang misalnya, film animasi juga diproduksi untuk
segmen penonton dewasa.
Sejak awal ditemukannya sinema, para pembuat film telah menggunakan teknik animasi untuk menghasilkan efek visual, seperti ledakan, roket, serta benda terbang lainnya dalam film-film mereka. Film animasi penuh pendek pertama dengan format film standart tercatat adalah Humorous Phases of Funny Faces (1906) yang diproduksi oleh kartunis surat kabar Amerika, J. Stuart Blackton. Film animasi ini menggambarkan seorang kartunis yang tengah menggambar wajah di sebuah papan tulis.
Era CGI
Setelah melewati berbagai penelitian,
Rekayasa digital (CGI) pada pertengahan dekade 90-an akhirnya mulai
mengambil-alih teknik animasi konvensional dengan pencapaian grafis yang sangat
mengagumkan. CGI pun sudah lazim digunakan untuk efek visual film-film
non-animasi, seperti Terminator 2 (1991) dan Jurrasic
Park (1993).
Dimotori oleh studio animasi Pixar,
teknologi CGI mulai mendominasi pasar film-film animasi yang diproduksi pada
dekade ini hingga mendatang. Bekerja sama dengan Disney, Pixar mengawali
suksesnya melalui Toy Story (1995) yang menjadi tonggak
sejarah perkembangan animasi di era digital. Kolaborasi Disney-Pixar berlanjut
melalui film-film sukses berkualitas tinggi seperti, Toy Story 2 (1999),Monster
Inc. (2001), Finding Nemo (2003), serta The
Incredibles (2004).
Pada tahun 2006, Disney membeli
studio Pixar dan terbukti sukses dengan film-film berikutnya seperti Ratatouille (2007),
serta yang baru lalu Wall-E (2008). Studio Dreamworks menjadi
rival serius Disney melalui Shrek (2001) serta sekuelnya Shrek 2 (2004)
yang sukses begitu fenomenal. Studio 20th Century Fox juga sukses melalui Ice
Age (2002) bersama sekuelnya, Ice Age 2: The Meltdown (2006).
Dalam perkembangan tercatat beberapa film animasi produksi luar Amerika yang cukup menarik perhatian. Sekalipun tidak mampu bersaing secara komersial dengan film-film animasi produksi Amerika, namun mereka menampilkan sesuatu yang berbeda sekaligus mampu bersaing dalam ajang bergengsi sekelas Academy Awards. Setelah sukses internasional melalui Princess Mononoke (1997), film animasi Jepang (anime) akhirnya mampu meraih Oscar melalui film fantasi petualangan unik, Spirited Away (2002).
Film-film animasi unik produksi
Perancis juga mendapat pengakuan tinggi di ajang yang sama, seperti The
Triplets of Belleville (2003) serta Persepolis (2006).
Dalam perkembangan ke depan rasanya film-film animasi produksi Amerika masih
akan terus mendominasi pasar dunia. Film animasi tradisional 2-D lambat tapi
pasti akan menghilang tergantikan oleh film animasi 3-D yang semakin tinggi
kualitasnya.Dengan teknik 3-D ini pula, film animasi Ajisaka bakal dibuat.
Mampukah film animasi Ajisaka nanti “berbicara” di tingkat internasional?