Daftar Isi

Saturday, August 18, 2012

Raden Saleh, Sang Maestro

Nama Raden Saleh, dikancah sejarah seni lukis Indonesia, hingga kini belum ada tandingannya. Bukan hanya kepiawaiannya  membuat lukisan realistik yang mengundang decak kagum. Raden Saleh juga pionir dalam mengenalkan seni lukis tanah air hingga ke tingkat Internasional. Kiprahnya membuat ia kenal dekat dengan banyak raja dan pemimpin negara Eropa di awal abad ke-19. Untuk menyongsong 200 tahun kelahirannya,  Goethe-Institut bersama Kedutaan Besar Jerman dan Galeri Nasional Indonesia menggelar pameran lukisan Raden Saleh sejak 3-17 Juni 2012.

Sebanyak 40 lukisan cat minyak dan gambar dari koleksi pribadi maupun koleksi publik dapat dilihat. Beberapa bahkan dipinjam dari koleksi Istana Negara. Karya-karya masterpiece-nya, seperti penangkapan Pangeran Diponegoro, perkelahian dengan singa dan serangan harimau, seolah menjadi pengingat akan kualitas tinggi hasil karya Raden Saleh, yang sekarang menjadi koleksi museum-museum besar di Indonesia dan mancanegara.

Belajar di Eropa
Sebagai seniman terkenal, beberapa hal dari kehidupan Raden Saleh memang cukup misterius. Hingga kini, tahun kelahiran Raden Saleh masih simpang siur. Sebagian ahli mengatakan tahun 1813 atau 1814, sebagian lagi 1809 atau 1810. Raden Saleh lahir di Terboyo, Semarang, Jawa Tengah dan meninggal di Bogor, Jawa Barat pada Senin, 23 April 1880. Ia dimakamkan di Kampung Bondongan, lebih kurang 500 meter dari Bogor Trade Mal sekarang.

Ayah Raden Saleh bernama Sayid Husein bin Alwi bin Awal dan ibunya bernama mas Ajeng Zarip Husen. Keduanya merupakan cucu dari Kyai Ngabehi Ketosobo Bustam (1681-1759), seorang asisten residen Terboyo. Raden Saleh menghabiskan masa kecilnya di kediaman Kyai Adipati Soero Menggolo, Bupati Semarang, hingga tahun 1822. Sang Bupati merupakan pamannya sendiri, karena Suro adalah anak ketujuh Kakek Buyut Raden Saleh, Kyai Ngabehi Kertosobo Bustam.

Bakat alam Raden Saleh tercium oleh Antonie Auguste Joseph Paijen (1792-1853), ketika tinggal di Bogor. Paijen berkebangsaan Belgia, yang bekerja sebagai pelukis seni pemerintah bagi Profesor C.G.C Reinwardt yang menjabat sebagai Direktur Pertanian, Seni dan Ilmu. Reindwardt masyhur sebagai pendiri kebun raya Bogor.

Selepas Paijen kembali ke Eropa pada awal 1825, Raden Saleh beralih menjadi bagian keluarga Belgia, Jean Baptise de Linge dan istrinya. Pada 1829, de Linge diperintahkan oleh Komisaris Jenderal du Bus de Gesignies untuk melakukan perjalanan ke Belanda. De Linge ditugaskan untuk melaporkan kondisi finansial koloni pada raja. Inilah awal pengembaraan Raden Saleh untuk belajar dan mengasah insting seninya di Eropa.

Di Eropa, Raden Saleh mendapat kesempatan berkenalan dengan pelukis dan seniman yang menduduki posisi puncak di lingkaran kerajaan-kerajaan Eropa. Raden Saleh juga menjalin hubungan akrab dengan beberapa penguasa kerajaan Eropa, diantaranya Raja Friedrich August II dari Saxony. Pelukis ini juga menetap di Coburg, Gotha dan Paris. Saat di Belanda, Raja Willem I bahkan tertarik secara pribadi dengan pelukis muda ini.

Di Den Haag, Raden Saleh belajar melukis foto, membuat litografi, dan menyalin lukisan-lukisan Rembrandt pada Cornelis Kruseman. Sempat juga dia belajar melukis pemandangan pada Andreas Schelfhout. Setelah merasa mapan, Raden Saleh melukis Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels. Pejabat kolonial lain yang dilukis adalah Jean Chretien Baud dan Johannes van den Bosch.

Bosan dengan lukisan manusia, Raden Saleh menekuni lukisan binatang. Di Belanda, Raden Saleh beberapa kali menyelenggarakan pameran lukisan. Banyak pengunjung terkagum-kagum akan lukisannya. Setelah menjelajah Eropa, pada 1851, Raden pulang ke tanah air. Sebelum kembali ke Jawa, Raden Saleh menikah dengan Nona Winkelman, yang menjadi istri pertamanya.

Di Jawa, Raden Saleh digelari "Pelukis Sang Raja". Lukisannya banyak disimpan di Batavia. Sayang, karena tidak ada yang merawat, banyak lukisannya menjadi rusak. Sebagian menjadi hitam, beberapa lagi pudar dan sobek. Raden Saleh juga yang kemudian menjadi konservator lukisannya. Pekerjaan ini dilakukan di rumahnya di bilangan Cikini, Jakarta Pusat.

Napak Tilas Jejak Raden Saleh
Harsja W. Bachtiar dalam buku Raden Saleh; Anak Belanda, Mooi Indie, dan Nasionalisme menyebut, karena guru Raden Saleh, Paijen adalah pelukis yang bekerja pada Prof. Reindwardt, pendiri Kebun Raya Bogor, maka diyakini sang maestro banyak menghabiskan waktunya di seputaran Istana Bogor dan Kebun Raya Bogor. Di kota hujan ini, Raden Saleh bukan hanya berkembang menjadi pelukis, tapi juga ilmuwan.

Selain Kebun Raya Bogor, jejak Raden Saleh juga bisa ditemui di bekas kediamannya. Rumah ini berada di belakang Hotel Bellevue yang kini menjadi Bogor Trade Mall (BTM). Diperkirakan, rumah Raden Saleh kini merupakan Kantor Pelayanan Pajak Bogor yang persis di sebelah BTM. Jaraknya sekitar 600 meter dari Pintu II Kebun Raya Bogor. Bangunan kantor pajak ini, bangunan tua di lahan seluas 1 hektar, terdiri dari empat bangunan utama. Sebelum ditempati Raden Saleh, bangunan itu bekas kediaman Sultan Tamjidillah dari Banjarmasin yang pernah diasingkan ke Bogor.

Raden Saleh juga pernah bermukim di sebuah vila mewah yang berada di Cikini, Jakarta Pusat. Vila mewah itu kini menjadi aula dan kantor direksi RS PGI Cikini. Detail dan ornamen bangunan bergaya arsitektur Gotik Moor itu tetap dipertahankan. Salah satu ruangan di gedung berlantai dua itu didedikasikan kepada Raden Saleh untuk menyimpan beberapa perabot asli milik Raden Saleh seperti meja, kursi, dan lemari.

Barangkali jejak paling kentara tentang Raden Saleh adalah di tempat peristirahatan terakhirnya. Informasi sejarah Raden Saleh terdapat pada dinding pemakaman yang dilapisi kaca. Di area pemakaman terdapat informasi riwayat masa kecil, sejarah singkat dia menghabiskan usia senja, serta replika beberapa karya monumentalnya, di antaranya potret Herman Willem Daendels dan lukisan penangkapan Pangeran Diponegoro. Makam ini dipugar dua kali. Pertama, September 1953, pada zaman Presiden Soekarno. Kedua, Mei 2006, oleh Galeri Nasional Indonesia.

Kompleks makam seluas 424 meter persegi itu berada di belakang gang yang hanya bisa dilalui sepeda motor. Papan penunjuk arah menuju makam juga sangat kecil dan tersembunyi di antara papan-papan reklame raksasa di sekitarnya. Makam Raden Saleh tidak nampak seperti makam tokoh besar. Padahal saat pemakamannya, sekitar 2000 orang yang terdiri dari para pembesar/bangsawan Belanda, bangsawan Sunda, tuan tanah Arab dan Cina, serta masyarakat umum ikut melepasnya.

Hal yang mengejutkan para peziarah adalah data jika ditarik garis lurus, makam Raden Saleh satu garis sumbu dengan pusat Istana Bogor dan Kebun Raya Bogor, tempat yang pernah dikunjungi dan menghabiskan waktu Raden Saleh waktu kecil. Raden Saleh minta dimakamkan di situ, di samping makam isterinya yang lain, Raden Ayu Danasasmita. Sebelumnya, Raden Saleh memerintahkan istrinya itu, seorang wanita keturunan Pangeran Diponegoro, dimakamkan di tempat tersebut lebih dulu.

Raden Saleh diduga tahu betul jati diri dan kedudukannya, hingga dengan sadar ia memilih untuk dimakamkan di situ. Ia pernah tinggal di Paris, Perancis dan tahu bahwa titik-titik penting atau bangunan-bangunan mengandung makna penting (bersejarah) atau melibatkan orang penting di kota itu berada dalam satu sumbu lurus.  Meski beberapa replika kini mulai berlumut, tapi kondisi makam Raden Saleh secara umum masih terawat.

Kegiatan Ilmiah
Tak hanya sibuk melukis, para ahli sejarah menemukan Raden Saleh juga terlibat dalam banyak kegiatan ilmiah. Misalnya, Desember 1865, Raden Saleh mencari fosil di Banyunganti, Kabupaten Sentolo, Jawa Tengah. Di bidang pertanian, Raden Saleh aktif dalam kegiatan ilmiah bersama pakar terkemuka dari Belanda. Dia juga bergabung dengan Leopoldinisch-Carolinische Deutsche Akademie der Naturforscher, yakni lembaga yang memiliki minat sama dengan kebun botani Reinwardt di Bogor.

Raden Saleh berjasa bagi warga Sunda. Salah satunya, menemukan Prasasti Sultan Agung di kandang sapi di Karawang Selatan. Prasasti itu kini tersimpan di Museum Nasional, Jakarta. Prasasti tersebut merupakan sumber penting untuk mempelajari Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat. Keputusan dirinya harus dimakamkan di Bondongan, Kota Bogor, juga karena Raden Saleh tahu betul bahwa Bondongan adalah bagian dari wilayah Keraton (Pakuan) Pajajaran.

Sayang, peran besar Raden Saleh itu kini terlupakan. Katalog karya Raden Saleh pun sampai saat ini belum ada. Kondisi fisik bekas kediamannya di Cikini kian memprihatinkan, meski keasliannya masih terjaga. Padahal studi mendalam tentang sosok Raden Saleh menemukan bukti, ia tak hanya berjasa mengharumkan nama Indonesia lewat lukisan. Raden Saleh juga  seorang nasionalis, menentang kolonialisme dengan caranya sendiri, dan menganggap derajat dirinya lebih tinggi dari bangsawan kolonial Belanda.

Dengan segala hambatan berupa ketegangan kolonialisme dan beban mental inlander yang menjangkiti warga pribumi yang terjajah, Raden Saleh dapat melampui penjara mental yang mengekang kehidupan. Dia berhasil memukau petinggi-bangsawan Eropa dengan lukisan artistik dan menyentuh.

Sikap kosmopolitan yang dipraktikkan Raden Saleh, mengekalkan namanya sebagai pelukis masyhur yang mendapat tempat pada perbincangan kesenian Eropa. Raden Saleh berjasa besar dalam membentuk citra, menyimpulkan tanda dan menjelaskan fragmen perjuangan warga pribumi pada karya lukis bernilai estetis. Ia adalah legenda.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!