Daftar Isi

Wednesday, August 22, 2012

Animasi Indonesia "rasa" Hollywood


Cukup lama Indonesia tidak punya film animasi. Walau produksi film sudah mulai menggeliat, tapi nampaknya tak banyak produser yang berani membuat film animasi. Selain biayanya yang mahal, konon kerumitan dalam hal teknologi membuat film-film animasi lebih banyak dibikin sineas Hollywood. Kondisi ini, tentu saja memprihatinkan. Pasalnya, banyak tokoh super hero asli Indonesia, yang sebetulnya bisa dibuat film animasinya.

Adalah Prof. Dr. Suyanto MM, seorang owner sekolah tinggi komputer di Yogyakarta, yang menggagas pembuatan film animasi berjudul The Legend of Ajisaka and Fire. Suyanto meyakini, sumber daya manusia (SDM) Indonesia di bidang film animasi tidak kalah dengan SDM dari Barat.  Dengan sokongan modal yang mencukupi, kreativitas mereka akan berkembang. Buktinya, film animasi  ini sekarang tengah dikerjakan oleh 100 orang tenaga kerja, dengan bujet yang dirahasiakan oleh Suyanto.

Citarasa Hollywood
Mengutip National Geographic Indonesia edisi Agustus 2012, dari 100 tenaga kerja separuhnya adalah mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi di Indonesia serta sebagian besar lainnya dari  pelaku film di Indonesia. Rencananya, film animasi ini sudah bisa ditonton oleh masyarakat Indonesia dan mancanegara di tahun 2013.

Penokohan Ajisaka dipilih karena sosok ini dipercaya masyarakat Jawa sebagai pahlawan yang membela kebenaran. Tak hanya itu saja, pemilihan Ajisaka juga untuk mengenalkan kepada dunia luar bahwa Indonesia memiliki tokoh super hero dari kultur  Jawa, yang juga memiliki kedalaman cerita yang rumit dan penuh konflik. Salah seorang yang terlibat dalam pembuatan, Jhon Hery, menjelaskan film ini telah lolos script oleh analis script film Hollywood ternama yakni Rob Pavloski.

Script-nya sendiri berasal dari ide orang Indonesia. Film yang berdurasi 1,5 jam ini juga akan mengikuti alur dramaturgi, berbahasa Inggris, serta menggunakan teknik-teknik film yang digunakan oleh sineas animasi Hollywood. Sedangkan untuk sutradaranya berasal dari New Zealand yaitu Tristan Strange. Jika sudah selesai,  dipastikan film animasi ini tak jauh beda dengan produksi para animator Hollywood.

Hery mengatakan, film ini 98 persen dikerjakan oleh tangan generasi muda Indonesia. Hingga saat ini, proses pengerjaannya baru mencapai 30 persen. Hery berharap, film animasi berkelas Hollywood ini bisa mengangkat nama Indonesia di mata dunia luar, karena ternyata Indonesia mampu memproduksi film animasi yang bermutu. Atau minimal, kemunculan film animasi ini akan merangsang para artis film animasi Indonesia lainnya, untuk memproduksi film serupa.

Menurut Prof. Suyanto,  film animasi Ajisaka itu nantinya akan dibuat dengan wajah yang dimiripkan dengan sosok bule.  Hal ini agar mudah masuk ke pasar internasional, karena adanya kedekatan dengan para penonton luar negeri yang diincarnya. Selain itu, dalam pembuatan film tersebut pihaknya sepakat untuk melibatkan editor dan pengisi suara dari luar negeri. Keterlibatan orang - orang dari luar itu cukup penting karena berdampak pada pemasaran. Buktinya, menurut Suyanto,  mesti film animasi masih dalam taraf pembuatan  tapi respon dari pasar cukup kuat.

Suyanto menyebutnya dengan Hollywood taste. Selain dengan tampilan wajah, cerita yang disuguhkan juga bercitarasa Hollywood."Pada intinya kami memang sengaja mengambil kisah epic advanture yang diambil dari tokoh - tokoh dalam cerita rakyat, sama halnya dengan film - film serupa semisal Avatar yang naik daun beberapa waktu lalu," ujar Suyanto. Nantinya, cerita Ajisaka akan dibagi dalam tiga bagian,meliputi petualangan tokoh sentral hingga mencapai titik kulminasi dan klimaks di akhir cerita.

Menyusul “Meraih Mimpi”
Jika nanti selesai, film animasi Ajisaka memang bukan film animasi layar lebar pertama yang pernah dibuat oleh SDM Indonesia. Sebelumnya Indonesia berhasil  membuat film animasi 3D pertama yang ditayangkan di layar lebar. Film tersebut berjudul Meraih Mimpi yang diproduksi Infinite Frameworks (IFW), studio animasi yang berpusat di Batam.
Film animasi yang beredar pada pertengahan 2009 lalu itu merupakan adapatasi dari buku karya Minfung Ho berjudul Sing to The Dawn. Buku tersebut bercerita tentang kakak beradik yang berusaha melindungi tempat tinggal mereka dari kontraktor penipu. IFW membuat adapatasi buku Minfung Ho tersebut atas permintaan pemerintah Singapura yang ingin buku wajib baca di beberapa SD di Singapura dibuat filmnya.
Begitu mendapat tawaran, IFW langsung memulai pengerjaan film Sing to The Dawn. Dari sekitar 150 animator hanya 5 orang asing yang ikut ambil bagian. Selebihnya SDM Indonesia. Pengerjaan dilakukan sepenuhnya di Batam selama tiga tahun dan memakan biaya sebesar 5 juta dollar AS. Setelah film selesai dibuat pada tahun 2008, film Sing to The Dawn mulai didistribusikan ke berbagai negara mulai dari Singapura, Korea, dan Rusia.
Memang Sing to The Dawn tidak langsung diluncurkan ke Indonesia karena IFW ingin memperkenalkan Sing to The Dawn ke penonton luar terlebih dahulu. "Sing to The Dawn tidak langsung kami luncurkan ke Indonesia karena kami ingin meraih international recognizition terlebih dahulu. Setelah itu, kami baru meluncurkan di Indonesia agar masyarakat tahu bahwa ada studio animasi di Indonesia," jelas Wisnu Triatmojo, Jubir IFW.
Sing to The Dawn baru dilokalisasi ke dalam versi Indonesia pada tahun 2009 dengan judul Meraih Mimpi. Sutradara Nia Dinata bahkan direkrut untuk membantu proses script writing dan Erwin Gutawa diminta langsung untuk mengkomposisi ulang musik yang mengiringi film. Di samping itu, beberapa artis terkenal seperti Gita Gutawa, Cut Mini, dan Shanty juga terlibat sebagai pengisi suara. Namun, entah karena jagoannya yang kurang membumi, film animasi ini memang kurang “nendang” dalam pemasarannya di tanah air.
Berawal dari Si Huma
Di Indonesia sendiri, sejarah film animasi tak lepas dari film animasi Si Huma  yang diproduksi sekitar tahun 1983 dan ditayangkan di TVRI. Film ini diproduksi oleh Pusat Produksi Film Negara  - dibantu oleh UNICEF - dan merupakan film animasi Indonesia pertama. Karakter dalam film ini adalah Huma dan Windi. Si Huma memang di buat tidak untuk ditayangkan dalam format layar lebar. Berikutnya ada Didi Tikus, yang juga dibuat untuk ditayangkan di televisi. Beberapa proyek film animasi lain berlatar belakang budaya Indonesia banyak ditemui, sebagai film edukasi untuk anak-anak.

Secara sederhana, animasi bisa disebut sebagai sebuah ilustrasi atau gambar yang dicetak dalam frame demi frame. Tiap-tiap frame memiliki gambar yang berbeda (nyaris sama) satu sama lain sehingga jika diproyeksikan (bergerak secara cepat) terciptalah ilusi pergerakan gambar. Perkembangan teknik animasi dari masa ke masa terbilang begitu pesat. Sejak awal kali pertama para pembuat animasi langsung menggambar pada frame film hingga kini telah menggunakan teknologi digital.

Dari animasi dua dimensi (2-D), lalu animasi stop-motion, kini berkembang menjadi animasi tiga dimensi digital (CGI). Batasan film animasi juga semakin “kabur” karena teknik animasi kini lazim digunakan sebagai efek visual untuk film-film non-animasi, seperti sering kita lihat pada film-film fiksi ilmiah serta fantasi.  Film animasi telah menjangkau wilayah cerita serta genre yang luas, seperti drama, fiksi-ilmiah, perang, fantasi, horor, musikal, hingga epik sejarah.

Walau bisa dinikmati oleh semua kalangan, film animasi juga identik sebagai film hiburan anak-anak. Karena pada kenyataannya sebagian besar film yang diproduksi memang ditujukan untuk anak-anak. Dalam beberapa kasus seperti di Jepang misalnya, film animasi juga diproduksi untuk segmen penonton dewasa.

Sejak awal ditemukannya sinema, para pembuat film telah menggunakan teknik animasi untuk menghasilkan efek visual, seperti ledakan, roket, serta benda terbang lainnya dalam film-film mereka. Film animasi penuh pendek pertama dengan format film standart tercatat adalah Humorous Phases of Funny Faces (1906) yang diproduksi oleh kartunis surat kabar Amerika, J. Stuart Blackton. Film animasi ini menggambarkan seorang kartunis yang tengah menggambar wajah di sebuah papan tulis.

Era CGI
Setelah melewati berbagai penelitian, Rekayasa digital (CGI) pada pertengahan dekade 90-an akhirnya mulai mengambil-alih teknik animasi konvensional dengan pencapaian grafis yang sangat mengagumkan. CGI pun sudah lazim digunakan untuk efek visual film-film non-animasi, seperti Terminator 2 (1991) dan Jurrasic Park (1993).

Dimotori oleh studio animasi Pixar, teknologi CGI mulai mendominasi pasar film-film animasi yang diproduksi pada dekade ini hingga mendatang. Bekerja sama dengan Disney, Pixar mengawali suksesnya melalui Toy Story (1995) yang menjadi tonggak sejarah perkembangan animasi di era digital. Kolaborasi Disney-Pixar berlanjut melalui film-film sukses berkualitas tinggi seperti, Toy Story 2 (1999),Monster Inc. (2001), Finding Nemo (2003), serta The Incredibles (2004).

Pada tahun 2006, Disney membeli studio Pixar dan terbukti sukses dengan film-film berikutnya seperti Ratatouille (2007), serta yang baru lalu Wall-E (2008). Studio Dreamworks menjadi rival serius Disney melalui Shrek (2001) serta sekuelnya Shrek 2 (2004) yang sukses begitu fenomenal. Studio 20th Century Fox juga sukses melalui Ice Age (2002) bersama sekuelnya, Ice Age 2: The Meltdown (2006).

Dalam perkembangan tercatat beberapa film animasi produksi luar Amerika yang cukup menarik perhatian. Sekalipun tidak mampu bersaing secara komersial dengan film-film animasi produksi Amerika, namun mereka menampilkan sesuatu yang berbeda sekaligus mampu bersaing dalam ajang bergengsi sekelas Academy Awards. Setelah sukses internasional melalui Princess Mononoke (1997), film animasi Jepang (anime) akhirnya mampu meraih Oscar melalui film fantasi petualangan unik, Spirited Away (2002).

Film-film animasi unik produksi Perancis juga mendapat pengakuan tinggi di ajang yang sama, seperti The Triplets of Belleville (2003) serta Persepolis (2006). Dalam perkembangan ke depan rasanya film-film animasi produksi Amerika masih akan terus mendominasi pasar dunia. Film animasi tradisional 2-D lambat tapi pasti akan menghilang tergantikan oleh film animasi 3-D yang semakin tinggi kualitasnya.Dengan teknik 3-D ini pula, film animasi Ajisaka bakal dibuat. Mampukah film animasi Ajisaka nanti “berbicara” di tingkat internasional?

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!