Menteri Pertanian Suswono |
Karena fotografer belum
datang, sambil menunggu Pak Suswono, saya makan dulu. Tak lama, Pak Suswono tiba, dengan iring-iringan mobil pengawal terlihat memasuki halaman rumah. Di samping pos sekuriti depan rumah, ternyata
sudah menunggu anak Majalah Tempo. Karena mereka datang lebih dulu, terpaksa saya
mengalah. Sambil menanti panggilan, sebotol teh dihidangkan oleh penjaga
keamanan rumah pak menteri.
Jujur saja, pak menteri
pertanian ini cukup mudah untuk dihubungi. Tidak terlalu birokratis dan banyak
alasan. Bahkan karena masih cukup lama harus wawancara dengan anak Tempo, saya dan
fotografer disuruh menunggu di ruang tamu lain. Rumah dinasnya juga tak
neko-neko. Tidak ada gambar yang menunjukan “kebesaran” Pak Sus sebagai seorang
menteri. Di dinding hanya ada foto keluarga cukup besar. Selebihnya kosong.
Dinding dibiarkan terlihat apa adanya.
Karena pak menteri cukup
lama ngobrol, akhirnya istrinya, Bu Wieke Wahyuni, keluar lebih dulu. Saya menangkap kesan, istri
Pak Sus orang sederhana. Sejatinya memang begitu, setelah saya ngobrol panjang.
Beliau bahkan masih ngurus usaha jahitnya di Bogor, ditengah kesibukan
mendampingi suami. Saya sebut usaha jahit, karena kalau dibilang garmen nanti
kesannya industri besar. Usaha ini, kata Bu Wieke, ia rintis cukup lama,
ketika Pak Sus masih mengajar di IPB.
Tentu saja topik obrolan
kami soal keluarga. Memang sayang, meski ada anaknya yang saat itu tinggal di
Widya Chandra, tapi dia tak mau diekspos. Anak yang lain berdiam di Bogor, Jawa
Barat. Pak Sus sendiri bolak-balik Jakarta-Bogor, karena anak istrinya tinggal
di sana. Hanya saat ada acara-acara penting, istrinya datang ke Jakarta. Jarak
Bogor-Jakarta yang lumayan jauh, membuat Pak Sus memutuskan menempati rumah
dinas, demi efisiensi waktu.
Usai ngobrol cukup lama
dengan Bu Wieke, Pak Sus akhirnya ikut bergabung. Hal pertama yang membuat
saya terkejut, ternyata beliau lulusan SMA Negeri 1 Slawi, Tegal. Ini artinya,
beliau kakak kelas saya, meski jaraknya cukup jauh. Wah, bangga juga ada alumni
SMA 1 Slawi yang jadi menteri. Tapi, meski sama-sama wong Tegal, saya menjaga
diri untuk tidak menyapanya dengan bahasa “ngapak”. Pak Sus sendiri tidak mau
mengawalinya. Sepanjang perbincangan, dia selalu memakai Bahasa Indonesia.
Memang cukup unik. Karena
biasanya kalau saya ketemu orang sesama Tegal di Jakarta, secara otomatis
langsung pindah pakai Bahasa Tegalan. Tapi untuk kasus dengan Pak Sus, gila
kalau saya memulainya. Kecuali beliau mau,pasti “gue” ladenin,hehe. Sepanjang wawancara sekitar satu jam, pak menteri banyak
bercerita soal perjuangan hidupnya. Bagaimana dia dulu sempat belanja kain
sendiri di Tanah Abang, dengan mobil butut. “Saya sendiri yang menggotong bahan
untuk buat pakaian,”ujar Pak Sus.
rumah menteri di widya chandra |
Memang, isu itu tak
terjawab. Hingga tulisan ini saya buat, Juni 2012, Pak Sus masih jadi menteri
pertanian. Hanya saja, satu hal yang terus saya ingat kala bertemu dengan Pak
Sus adalah kudapan yang menemani kami ngobrol. Saya kira orang rumah akan
menghidangkan kue istimewa. Minimal seperti yang saya dapatkan saat berkunjung
ke rumah dinas mantan menteri kelautan dan perikanan Fadel Muhammad. Tapi,
lihatlah apa yang tersaji di piring kecil. “Silahkan dinikmati,”ujar Pak Sus
menawarkan, saat hidangan itu datang.
Dua potong kecil jagung
rebus, satu ubi rebus, kacang rebus dan singkong rebus, masing-masing tersaji
dalam piring untuk satu tamu. Saya sempat tersenyum melihatnya. Pak menteri
bilang, ingin membiasakan tamu-tamunya makan tanpa campuran gandum. Alasannya,
karena gandum kita masih impor! Saya pun mencicipi jagungnya yang manis. Dalam
sekejap, semua makanan itu saya tandaskan. Pak menteri bahkan menawari nambah.
Tapi saya tolak.
Setelah perut agak
kenyang, nah ini yang masih kurang pas. Minumannya ternyata teh manis. Saya berharap wedang ronde, biar sekalian mengingatkan saya saat nongkrong di warung
kampung. Kebetulan dulu saya punya perkumpulan pengajian jum'atan, yang membuka bisnis
warung kudapan. Menunya, ya seperti yang saya makan di rumah pak menteri. Cuma
minumannya selain yang biasa tersaji di warung lain, warung kami menyediakan
wedang ronde dan wedang jahe. Hasilnya jadi maknyus, setelah memakan jagung
rebus. Mungkin lain waktu pak menteri bisa mencobanya,hahahaha…
Wah, saya juga bangga, karena alumni sma 1 slawi juga.. :D
ReplyDeletebenar...mudah2an nggak kesangkut suap daging impor ya,hehehe...
Delete