Daftar Isi

Wednesday, June 20, 2012

jagung rebus menteri pertanian

Menteri Pertanian Suswono
Seminggu sebelum reshuffle kabinet Indonesia bersatu jilid dua, Oktober 2011, rumah menteri pertanian Suswono terlihat sepi. Rumah itu terletak di ujung jalan Widya Chandra, Jakarta Selatan. Tak jauh dari rumah Pak Suswono, deretan warung makan sudah mulai berkurang keramaiannya, saat saya datang. Kegelapan sudah memeluk Jakarta, karena adzan Isya hampir tiba. Saya memang disuruh datang sekitar pukul 19.30 oleh orang dekat pak menteri, sekedar untuk ngobrol-ngobrol.

Karena fotografer belum datang, sambil menunggu Pak Suswono, saya makan dulu. Tak lama, Pak Suswono tiba,  dengan iring-iringan mobil pengawal terlihat memasuki halaman rumah. Di samping pos sekuriti depan rumah, ternyata sudah menunggu anak Majalah Tempo. Karena mereka datang lebih dulu, terpaksa saya mengalah. Sambil menanti panggilan, sebotol teh dihidangkan oleh penjaga keamanan rumah pak menteri.

Jujur saja, pak menteri pertanian ini cukup mudah untuk dihubungi. Tidak terlalu birokratis dan banyak alasan. Bahkan karena masih cukup lama harus wawancara dengan anak Tempo, saya dan fotografer disuruh menunggu di ruang tamu lain. Rumah dinasnya juga tak neko-neko. Tidak ada gambar yang menunjukan “kebesaran” Pak Sus sebagai seorang menteri. Di dinding hanya ada foto keluarga cukup besar. Selebihnya kosong. Dinding dibiarkan terlihat apa adanya.

Karena pak menteri cukup lama ngobrol, akhirnya istrinya, Bu Wieke Wahyuni, keluar lebih dulu. Saya menangkap kesan, istri Pak Sus orang sederhana. Sejatinya memang begitu, setelah saya ngobrol panjang. Beliau bahkan masih ngurus usaha jahitnya di Bogor, ditengah kesibukan mendampingi suami. Saya sebut usaha jahit, karena kalau dibilang garmen nanti kesannya industri besar. Usaha ini, kata Bu Wieke, ia rintis cukup lama, ketika Pak Sus masih mengajar di IPB.

Tentu saja topik obrolan kami soal keluarga. Memang sayang, meski ada anaknya yang saat itu tinggal di Widya Chandra, tapi dia tak mau diekspos. Anak yang lain berdiam di Bogor, Jawa Barat. Pak Sus sendiri bolak-balik Jakarta-Bogor, karena anak istrinya tinggal di sana. Hanya saat ada acara-acara penting, istrinya datang ke Jakarta. Jarak Bogor-Jakarta yang lumayan jauh, membuat Pak Sus memutuskan menempati rumah dinas, demi efisiensi waktu.

Usai ngobrol cukup lama dengan Bu Wieke, Pak Sus akhirnya ikut bergabung. Hal pertama yang membuat saya terkejut, ternyata beliau lulusan SMA Negeri 1 Slawi, Tegal. Ini artinya, beliau kakak kelas saya, meski jaraknya cukup jauh. Wah, bangga juga ada alumni SMA 1 Slawi yang jadi menteri. Tapi, meski sama-sama wong Tegal, saya menjaga diri untuk tidak menyapanya dengan bahasa “ngapak”. Pak Sus sendiri tidak mau mengawalinya. Sepanjang perbincangan, dia selalu memakai Bahasa Indonesia.

Memang cukup unik. Karena biasanya kalau saya ketemu orang sesama Tegal di Jakarta, secara otomatis langsung pindah pakai Bahasa Tegalan. Tapi untuk kasus dengan Pak Sus, gila kalau saya memulainya. Kecuali beliau mau,pasti “gue” ladenin,hehe. Sepanjang wawancara sekitar satu jam, pak menteri banyak bercerita soal perjuangan hidupnya. Bagaimana dia dulu sempat belanja kain sendiri di Tanah Abang, dengan mobil butut. “Saya sendiri yang menggotong bahan untuk buat pakaian,”ujar Pak Sus.
rumah menteri di widya chandra
Istrinya memang ulet. Setelah bisnis jahit menjahit, mereka juga buka taman kanak-kanak. Awalnya, istrinya yang mulai. Dengan mengumpulkan anak-anak untuk diajar ngaji, aktivitas itu akhirnya berkembang. Sekarang sekolah itu sudah cukup berkembang. Menariknya, semua kegiatan bisnis itu menjadi alasan Pak Sus, untuk tidak takut diganti oleh Pak SBY, jika isu reshuffle benar-benar terjadi. Pak Sus mengaku akan kembali  mengajar, sambil berbisnis. 

Memang, isu itu tak terjawab. Hingga tulisan ini saya buat, Juni 2012, Pak Sus masih jadi menteri pertanian. Hanya saja, satu hal yang terus saya ingat kala bertemu dengan Pak Sus adalah kudapan yang menemani kami ngobrol. Saya kira orang rumah akan menghidangkan kue istimewa. Minimal seperti yang saya dapatkan saat berkunjung ke rumah dinas mantan menteri kelautan dan perikanan Fadel Muhammad. Tapi, lihatlah apa yang tersaji di piring kecil. “Silahkan dinikmati,”ujar Pak Sus menawarkan, saat hidangan itu datang.

Dua potong kecil jagung rebus, satu ubi rebus, kacang rebus dan singkong rebus, masing-masing tersaji dalam piring untuk satu tamu. Saya sempat tersenyum melihatnya. Pak menteri bilang, ingin membiasakan tamu-tamunya makan tanpa campuran gandum. Alasannya, karena gandum kita masih impor! Saya pun mencicipi jagungnya yang manis. Dalam sekejap, semua makanan itu saya tandaskan. Pak menteri bahkan menawari nambah. Tapi saya tolak.

Setelah perut agak kenyang, nah ini yang masih kurang pas. Minumannya ternyata teh manis. Saya berharap wedang ronde, biar sekalian mengingatkan saya saat nongkrong di warung kampung. Kebetulan dulu saya punya perkumpulan pengajian jum'atan, yang membuka bisnis warung kudapan. Menunya, ya seperti yang saya makan di rumah pak menteri. Cuma minumannya selain yang biasa tersaji di warung lain, warung kami menyediakan wedang ronde dan wedang jahe. Hasilnya jadi maknyus, setelah memakan jagung rebus. Mungkin lain waktu pak menteri bisa mencobanya,hahahaha…


2 comments:

  1. Wah, saya juga bangga, karena alumni sma 1 slawi juga.. :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. benar...mudah2an nggak kesangkut suap daging impor ya,hehehe...

      Delete

Terima kasih atas kunjungan anda!