Daftar Isi

Friday, June 15, 2012

Mencari kehangatan di Jalan Braga

jalan Braga, Bandung
Sepotong jalan di Kota Bandung itu akan semakin riuh, manakala matahari sudah tenggelam di bagian Barat. Beberapa tempat hiburan mulai buka, lampu-lampu dinyalakan dan deretan motor serta mobil akan memenuhi bahu jalan, hingga fajar merekah di langit kota yang juga terkenal dengan julukan Kota Kembang itu. Ya, Jalan Braga, kesitulah sebagian besar para pelancong menghabiskan waktu, membuang penat dan bercerita dari mulut ke mulut, hingga membuat jalan sempit ini terkenal sampai ke manca negara.

Braga memang banyak berubah. Aspal hotmix sudah diganti conblok yang cepat pecah. Pedagang lukisan jumlahnya menjadi puluhan. Galeri seni dan resto dengan beragam jenis menu bertumbuh di kanan kiri jalan. Gedung-gedung tua yang dulu sempat ngetop telah berganti fungsi atau tutup karena tak kuat bersaing. Satu-satunya penanda yang tak lapuk di makan usia adalah tempat-tempat bersantai, yang sudah hadir sejak puluhan tahun silam. New Braga Club, R Caraoce, Escobar Live Music, Grhyfone Live Caraoke, Caesar Pallace Distrik dan Intro Live Music adalah diantaranya.
***
Laiknya kawasan hiburan dan “cuci mata”, Braga tak luput dari otak bisnis para seniman lukis. Boleh jadi para seniman lukis sekitar  Bandung berfikir pragmatis, pelancong yang memadati Braga adalah mereka yang berkantong tebal. Maka selain jadi pusat hiburan, Braga juga menjadi sentra berbagai aliran lukisan dipajang. Dari kelas kaki lima hingga galeri-galeri seni yang didesain dengan sentuhan kontemporer, semua ada. Semua hidup, bergerak dan berdenyut menikmati limpahan rejeki dari para kolektor lukisan. Salah satunya adalah Pak Ujang (67) yang sudah 30 tahun berjualan lukisan di Jalan Braga.

deretan penjual lukisan
Pak Ujang adalah penjual lukisan pertama di Jalan Braga. Ia membuka lapak di depan bekas perbelanjaan Sarinah, yang sempat menjadi pusat belanja paling bergengsi di Kota Bandung. Tak jauh dari tempatnya memajang lukisan, bekas bioskop Majestic juga sudah beralih fungsi menjadi gedung serba guna. Begitu pula Hotel Braga, yang tutup seiring bermunculannya banyak hotel lain. Dulu, saat tempat-tempat itu masih berjaya, dagangan Pak Ujang laris manis dibeli pengunjung.”Orang-orang kaya yang habis belanja di Sarinah, biasanya beli lukisan ke saya,”ujar Pak Ujang dengan dialek Sundanya.

Walau penjual lukisan kini menjadi sekitar 60 orang, Pak Ujang masih tetap bertahan dengan profesinya. Ia juga enggan untuk berpindah tempat, takut pelanggannya susah mencarinya.  Pak Ujang bertutur, para pelanggannya yang kebanyakan para kolektor lukisan, secara berkala sering mendatanginya untuk melihat lukisan-lukisan terbaru. Dari merekalah, ia bisa menghidupi anak istrinya. “Selain itu, saya juga jadi kurator. Kalau ada lukisan yang rusak atau kurang bagus saya reparasi,”ujar pria gaek ini.

Harga lukisan yang ditawarkan bervariasi, dari Rp 200 ribu hingga Rp 5 juta. Berdasarkan pengalaman panjangnya di dunia lukisan, Pak Ujang selalu menyediakan lukisan pemandangan, bunga, kaligrafi dan ikan koi atau kuda yang banyak diburu para kolektor. Sementara untuk lukisan beraliran ekspresionis atau dekoratif hanya beberapa yang berminat. Dari mana Pak Ujang mendapat semua lukisan itu?”Para pelukis datang sendiri ke sini. Biasanya saya langsung beli kontan. Karena kalau nunggu sampai laku kasihan mereka. Kebutuhan hidup khan nggak bisa ditunda,”ujar pria yang tinggal di Ujung Berung ini.

***
Ada untungnya juga gedung-gedung tua di jalan Braga yang tutup karena dimakan usia. Di depan bangunan yang sudah tak terpakai itulah, para penjual lukisan memajang jualannya. Lukisan-lukisan dengan berbagai aliran dan tema, membuat wajah Jalan Braga seperti sebuah galeri besar. Kadang, bila lelah berjalan melihat-lihat lukisan, pusat jajanan menjadi tujuan berikutnya, sekedar untuk membuang penat. Sebuah toko kue kuno, dengan alat timbangan zaman Belanda dan interior bangunan yang lumayan jadul, bisa jadi alternatif bertandang. Namanya; Toko Sumber Hidangan.

Ini toko benar-benar tua secara harfiah. Selain bentuk fisik bangunannya, para pekerja yang melayani pembeli pun kebanyakan berusia lanjut. Maklumlah. Rata-rata mereka sudah bekerja di atas 20 tahun. Salah satunya Mak Engkus, yang sudah bekerja sejak berumur 17 tahun dan hingga kini masih aktif melayani pembeli meski usianya sudah menginjak 64 tahun. Kata Mak Engkus, toko ini sudah berdiri sejak 1926. Pemilik yang mengelolanya sekarang adalah generasi kedua pendiri toko dan sudah berusia 80 tahun. “Kita menyediakan semua jenis jajanan. Bisa langsung dimasak, sambil ditunggu,”kata Mak Engkus.

Pelanggan kue toko ini, uniknya, bisa makan nasi goreng, bistik dan es cream saat menunggu pesanan siap dibawa pulang. Hampir semua kue produksi toko ini laku di pasaran. Pelanggan setianya selalu datang, saat mereka kangen menikmati kue-kue seperti kroket, roti bolu, lemper dan lain-lain. Semua kue yang dimasak toko, rasanya tidak pernah berubah sejak pertama toko berdiri. “Soalnya resepnya tetap sama. Sampai kini resep itu sudah diturunkan ke anaknya yang sekarang mengelola. Kami tidak pernah dikasih tahu. Jadi bumbu-bumbunya tetap dibikin sang pemilik,”kata Mak Engkus.

Toko Sumber Hidangan melengkapi tempat-tempat kuliner sepanjang Jalan Braga, yang pantas untuk dicoba. Diantaranya Mie Reman, bebek goreng, atau pusat jajanan modern di Braga City Walk, yang belum lama berdiri. Tak jauh dari Toko Sumber Hidangan, resto Braga Permai juga menjadi tempat yang diincar para pengunjung Jalan Braga. Di resto ini, tersedia Western Food, Italian Food dan Oriental Food. “Ini restoran paling tua di sini (Jalan Braga). Karena sudah dikenal, kami buka dari pagi hingga tengah malam,”kata Rustandi, petugas sekuriti resto yang berjaga di depan.

galeri kaki lima
***
Banyaknya pelancong Jalan Braga, kerap kali membuat toko kerajinan menjadi tujuan berikutnya, sekedar mencari oleh-oleh untuk dibawa pulang. Ibu Sabrina yang membuka toko kerajinan SiBayak, rupanya mencium peluang itu. Sejak 8 tahun lalu, perempuan yang lahir di Jalan Braga ini banting stir menjual beragam kerajinan tangan, setelah jualan busananya kurang laku. Pilihan Ibu Sabrina ini, nyatanya tidak salah.”Banyak para wisatawan domestik maupun dari luar negeri yang membeli kerajinan tangan untuk kenang-kenangan,”ujar Ibu Sabrina.

Untuk memenuhi kebutuhan pembeli dan menjaga kualitas kerajinan, Ibu Sabrina sampai membina para pengrajin. Mereka dididik agar menghasilkan karya sesuai kualitas yang diinginkannya. Namun begitu, Ibu Sabrina juga kerap menerima titipan dari para pengrajin dari sekitar Bandung. Dari semua barang kerajinan yang dijual, kerajinan wayang menjadi primadona pengunjung tokonya. “Saya juga sempat nggak percaya, karena anak-anak juga suka beli wayang. Entah wayang kulit atau wayang golek,”ujar Ibu Sabrina.

Tak hanya menjual barang di tokonya, Ibu Sabrina juga menerima pesanan kerajinan untuk beragam keperluan. Ada yang dijual lagi, banyak pula yang dipakai untuk souvenir misal pernikahan. Baru-baru ini, ia menerima pesanan membuat 1000 bumerang, untuk dijual lagi oleh seorang pelanggan tokonya. “Untuk koleksi pribadi biasanya pelanggan pesan wayang. Mereka ingin dibuatkan tokoh-tokoh wayang tertentu,”ujar Ibu Sabrina. Tak ketinggalan, ia juga menerima pesanan dari lembaga, seperti patung garuda di depan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibuat dari tembaga.

***
model dadakan jln Braga
Jalan Braga kini, memang mencoba bertahan dari gempuran pesatnya pembangunan kota Bandung. Gedung-gedung tua sengaja dipertahankan, meski kurang terawat dan tidak digunakan lagi. Keeksotisan wajah Braga ini, membuat para fotografer kerap menjadikannya sebagai tempat untuk mengambil foto-foto. Entah preweeding atau sekedar untuk koleksi pribadi. Seperti Awang, anak Bandung yang tiap minggu mengambil latar belakang gedung tua di Jalan Braga untuk foto-fotonya. Kebetulan ia tergabung dalam sebuah komunitas fotografi di Kota Bandung.

Braga di malam hari
Jalan Braga juga kerap menjadi lokasi syuting film atau sinetron.”Jumlahnya sudah nggak terhitung,”kata Asep, anak muda yang lahir di Jalan Braga dan bekerja di sebuah tempat karaoke. Menariknya, dengan segala aktifitas yang berlangsung dari pagi hingga dini hari, menurut Asep, jarang terjadi keributan berarti. Para pengunjung tempat hiburan yang didominasi orang-orang Malaysia, bisa bebas membelanjakan uangnya dan memberi berkah tersendiri bagi ratusan tukang parkir yang menjaga kendaraan mereka.”Yang datang ke tempat-tempat karaoke biasanya orang-orang berduit. Sedangkan yang berkantong cekak, biasa nongkrong di warung bakso yang  buka hingga pagi,”ujar Asep.

Penyanyi Charly Van Houten salah satu yang suka nongkrong di Jalan Braga. Ia biasa datang, ketika senja mulai menangkup Kota Bandung. Karena hampir sebagian besar resto, pub, karaoke dan diskotik mulai buka setelah pukul 18.00 WIB.  Saat itulah, Braga mulai berkurang dari hiruk pikuk kendaraan yang lewat. Toko kue, cinderamata, penjual lukisan dan aktivitas hunting foto dan syuting sinetron undur diri.Seiring semakin dinginnya udara Kota Bandung, kehangatan justru semakin naik, sejalan dengan kedatangan para pelancong yang membuat Jalan Braga seperti tak pernah tidur. 

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!