Daftar Isi

Thursday, June 21, 2012

kejamnya industri hiburan kita

foto; reza (nyata)
Masih ingat nama Emil G. Hampp, sutradara papan atas yang pernah menghasilkan beberapa film laris?Apa kabarnya sekarang? Sudah cukup lama saya tidak mendengar beritanya. Saat saya minta bantuan "paman" Google untuk mencarinya, di situ cuma tertera Emil dalam sebuah akun facebook. Di kolom pekerjaan, dia menulis MD. Intertainmnet, sebagai tempatnya berkiprah sebagai seorang sutradara. Kabar mengejutkan justru saya dapatkan dari seorang pemain sinetron, yang juga wartawan, saat liputan bareng di Dimsum, Kemang, Jakarta Selatan, pertengahan Juni 2012.

Ini  memang bukan cerita aneh. Tapi tetap saja mengenaskan,  kalau bicara soal bagaimana Emil dulu sempat amat terkenal. Kata sang teman, Emil sekarang ngontrak kamar. Pekerjaan tidak ada (maksudnya tenaganya sudah jarang dipakai).Padahal ketika masih sibuk, dia bisa menyutradarai 2 sinetron stripping sekaligus. Saking melimpah rejekinya, Emil punya tiga rumah. Semua rumah itu lantas raib untuk bertahan hidup, karena ia terjebak pada gaya hidup borjuis seorang sutradara terkenal.

Teman saya memang tidak secara detil mengungkap, bagaimana gaya hidup Emil. Tapi orang yang lama di dunia hiburan,  mafhum dengan semuanya. Ironisnya, sutradara yang memiliki nasib seperti Emil tidak satu dua orang. Ada puluhan, dan dengan berbagai cara terus bertahan hidup di Jakarta. Salah satunya, mereka berhutang pada artis top yang sedang naik daun. "Nanti bayarnya kalau tenaga mereka dipakai. Tapi kadang karena lama nggak kepake, akhirnya utang itu menggunung. Itu yang terjadi pada diri saya, dan saya ikhlasin (mereka tidak bayar hutang),"kata Tante Yora, mamanya Nikita Willy, saat ngobrol dengan saya di lain waktu.
grup musik sedang merintis karir
Kembali  ke teman saya tadi. Dia bahkan mengungkap nama sutradara beken lain, yang sekarang jadi tukang ojek di Parung, Bogor. Namanya tidak saya sebutkan. Tapi saat masa jaya, dia satu level dengan Dedi Setiadi. Karena kesalahan manajemen, akhirnya bangkrut. Kini saban hari dia hanya mengandalkan sepeda motor tua, untuk mengantar pelanggannya. Usia lanjut juga membuat ia kalah bersaing dengan sutradara-sutradara muda lain, yang kini menjamur bak cendawan di musim hujan.

Selain sutradara, pemain sinetron banyak juga yang mengalami nasib serupa. Memang mereka tidak sampai harus ngojek. Tapi otak bisnis para produser, membuat pemain-pemain sinetron yang sempat ngetop, kini sudah masuk kotak. Istilah teman saya, dibusukin. Saat tenar, mereka dieksploitasi habis-habisan. Begitu penonton jenuh, mereka dibuang tanpa ampun. Begitulah hukum ekonomi bekerja di industri hiburan tanah air. Kejam dan tak kenal kompromi.

Beberapa memang bisa menyiasati keadaan. Saat sedang laris, para sutradara itu buka bisnis. Entah rumah produksi atau yang lain. Contohnya Dedy Mizwar. Tak heran, Dedy terus berada dalam masa keemasan. Hidupnya juga tak pernah susah. Rumah produksinya berkembang pesat. Tapi, lagi-lagi yang seperti Dedy sedikit. Kebanyakan terlena.Uang banyak, kenikmatan dunia direguknya habis-habisan. Tidak pernah berfikir, jika hidup seperti gelombang air laut. Ada pasang dan surutnya.

gemerlapnya panggung hiburan
Bagi pemain sinetron, kata teman saya, ada juga kiat yang pantas dicoba. Jika seorang bintang meledak setelah memerankan karakter tertentu,setelah syuting selesai sempatkanlah menolak tawaran main. Ini biar penonton lupa pada stereotif yang sudah dibangun sang bintang. Misal Anjasmara yang terkenal sebagai si Cecep. Jika ia kemaruk usai main Si Cecep, orang akan selalu mengidentikan Anjas dengan Si Cecep, meski ia memerankan tokoh lain. Sayang, keberanian untuk menolak tawaran main kadang tak dipunyai oleh setiap bintang. Akhirnya penonton mudah malas. Nasib si artis pun masuk kotak.

Dunia hiburan kita, penilaian teman saya, memang sedang mengalami proses pembusukan. Sekarang sinetron terkenal dengan sistem "pas foto". Seorang bintang di syut tanpa ada lawan main, karena kejar tayang. Jadi gambar yang diambil dari dada hingga kepala doang. Dia ngoceh sendiri. Sementara lawan mainnya berada di lokasi syuting lain, yang digarap oleh tim lain. "Kalau tidak seperti itu, tidak bisa mengejar jam tayang,"kata sang teman.

Sistem ini diciptakan, karena terjadi persaingan besar-besaran di kalangan para produser. Tidak semua pihak bisa enjoy. Banyak juga bintang yang menjerit. Atau sutradara yang kesal, karena ketergesaan ini berpengaruh pada kualitas sinetron. Tapi, di Jakarta kebutuhan hidup tidak bisa kompromi. Semua akhirnya ikut larut. Terjadi pembodohan pada pemirsa. Untung yang nonton sinetron para PRT. Saya yang pernah menjadi penulis skenario sinetron stripping, sampai sekarang belum hilang traumanya, karena harus terus menulis dialog dengan ungkapan sarkastis."Ah, makian goblok, bodoh, bajingan, kurang ajar, dan lain-lain itu sudah biasa,"lanjut sang teman.

Jika anda melihat para pemain sinetron sekarang bergelimang harta, sesungguhnya begitulah hukum yang berlaku saat mereka masih disukai penggemar. Ketika ada pendatang baru, mereka tersingkir. Begitu terus menerus. Mau sakit hati? Silahkan saja. Di Jakarta tidak ada yang mau mendengar. Berapa banyak penyanyi-penyanyi jebolan Indonesian Idol (RCTI) yang bisa sukses? Sangat sedikit. Kebanyakan mereka tenggelam, dan tak tahu harus bagaimana.

"Ada juga yang ikut numpang di apartemen Delon. Siapa tahu bisa diajak kalau ada pentas,"kata Mbak Vena, manajernya Delon mengomentari nasib tragis jebolan Indonesian Idol, saat saya mengunjungi apartemen Delon. Padahal saat di panggung dan masuk lima besar, mereka dipuja-puji setinggi langit. 

Dibilang penyanyi masa depan Indonesialah. Bakal jadi divalah.Dan sebagainya, dan lain-lain. Hingga semua terlena. Bahwa industri hiburan sengaja meninabobokan mereka, sambil memberi honor rendah, untuk menghasilkan keuntungan besar buat para kapitalis. Setelah milyaran rupiah diraup sang boss, mereka akan mencari "mainan" baru. Dan pemain lama pun dilupakan. Tanpa peduli. Kasihan,sungguh kasihan!














No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!