Daftar Isi

Friday, April 20, 2012

Mohon Maaf Pak Parni....

Sebetulnya biasa saja hasil wawancara tak bisa naik cetak. Ada banyak faktor. Selain salah ekspektasi, barangkali pula bahan wawancara yang didapat tidak sesuai harapan. Tapi pengalaman saya mewawancarai bekas direktur utama Antara, Parni Hadi, membuat saya selalu merasa "bersalah". Saya kasih tanda petik, karena memang ini kesalahan yang tidak disengaja. Ini benar-benar pengalaman paling tidak mengenakan, hingga membuat saya tergelitik untuk menuliskannya.

Saya SMS PH -begitu Parni Hadi biasa disapa- untuk meminta wawancara. Temanya soal profil keluarga. Tak lama, PH menyetujui dan memberi saya waktu hari Sabtu. Pasalnya di luar hari itu, beliau sibuk dengan tugas-tugasnya. Memang meski sudah pensiun dari LKBN Antara, PH masih aktif di mana-mana. Saya sanggupi permintaan PH dan saya bilang akan datang bareng fotografer. Sabtu yang dingin oleh hujan rintik-rintik, saya meluncur ke kediamannya di bilangan Ragunan, Jakarta Selatan.

Sempat tersasar, berkat bantuan seorang petugas keamanan, akhirnya saya bisa menemukan komplek perumahannya. Saya sedikit terkejut. PH diluar gambaran benak saya. Tadinya saya beranggapan, beliau hidup sederhana seperti penampilannya di depan umum dan laiknya kehidupan wartawan umumnya. Tapi sampai di depan rumahnya, saya langsung berkesimpulan, PH salah seorang wartawan yang sukses. Rumahnya besar, dengan tiga mobil cukup mewah terparkir di garasinya.Interior rumah bagus dan dipenuhi berbagai jenis buku.

Saat saya datang, fotografer saya belum datang. Ketika PH meminta penjelasan soal spesifikasi rubrik, saya jelaskan bahwa saya ingin mengangkat profil keluarganya. Informasi mengejutkan justru datang, ketika PH mengaku istrinya sudah meninggal dunia cukup lama. Waduh, gawat. Padahal rubrik ini tidak ada tawar menawar harus masih ada istrinya. Namanya profil keluarga. Saya butuh foto PH dengan istri dan anak-anaknya. Saya sempat bimbang. Kenapa tidak bilang ketika saya pertama kali mengirim pesan pendek. Mestinya PH bisa menangkap keinginan saya.

Karena tak mau mengecewakan, saya akhirnya mewawancarai dia. Saya BBM fotografer supaya datang saja dan ambil foto-fotonya. "Nggak apa-apa meski nggak bakal dimuat. Yang penting jangan bikin dia  kecewa,"kata saya lewat BBM. Wawancara mengalir lancar. PH sangat antusias. Beliau bahkan menyuruh saya mewawancarai dua anaknya, supaya tidak dicap sebagai pembual soal bagaimana cara dia mendidik anak-anaknya. Saya ikuti permintaan itu. Tidak apa-apalah. Tidak enak untuk menolaknya,hehehe (serba tidak enak karena saya orang Jawa).

Benar saja, usai wawancara profil PH tak bisa naik. Saya akhirnya mencari penggantinya. Tentu saja saya tidak berani memberitahukan pada PH, meski kesalahan bukan berada di pihak saya. Hingga suatu hari, PH mengirim BBM menanyakan kapan naskahnya terbit. Waduh, bingung juga saya menjawabnya. Tapi akhirnya saya bilang, naskahnya ditunda dulu karena alasan-alasan tertentu. Saya tidak menyebut alasan secara gamblang misal karena status beliau yang sudah duda. PH cuma meminta, saya memberitahu kalau naskahnya jadi dimuat.

O,ya, lucunya sebelum dia menanyakan kapan naskahnya dimuat, PH sempat meminta ada bagian wawancara anaknya yang tidak mau dipublikasi. Saya benar-benar merasa berdosa. Tapi saya juga tidak berani bicara jujur, kenapa hasil wawancara itu masuk tong sampah. Bukan kualitas PH-nya lho...Tapi karena istrinya sudah almarhum. Baru kali ini saya merasa serba salah, karena melihat antusiasme PH yang harus dikalahkan oleh kesalahpahaman yang mestinya tidak perlu terjadi. Pada PH, saya minta maaf sebesar-besarnya. Motivasi dan pengalaman anda menjadi pegangan saya, sebagai junior yang masih perlu banyak belajar....

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!