Daftar Isi

Wednesday, June 13, 2012

foto bareng Iwan fals?wani piro?

Boleh saja sosok Iwan Fals dipuja puji komunitas OI seperti orang suci. Tapi untuk soal empati, Iwan ternyata hanya berkoar-koar sebatas syair lagu belaka. Saya tidak heran. Inilah kedahsyatan pencitraan, yang selama bertahun-tahun dibangun Iwan dengan susah payah. Saya katakan ia tak memiliki empati, karena sebagai penyanyi terkenal, Iwan paling tidak suka jika dimintai foto bareng oleh penggemarnya. Rumor itu sudah lama saya dengar, termasuk sikapnya yang selalu menjaga jarak dengan awak media.
Iwan Fals di sebuah konser

Peristiwa menjelang konser ijo royo-royo di Boyolali, Jawa Tengah,  awal Juni 2012, menjadi penegasan asumsi saya. Ceritanya, beberapa jam sebelum naik panggung, semua artis pendukung acara melakukan sesi foto. Tak terkecuali Iwan, yang sore itu memakai t-shirt warna krem dan celana ¾  putih dengan motif garis-garis hitam. Dia sedang merokok sambil ngobrol, ketika dipanggil untuk ikut sesi foto bersama wartawan. Iwan kemudian datang, sambil diiringi Cikal, anaknya yang kerap mendampinginya dalam berbagai acara konser.  

Sebetulnya di area pemotretan tak ada masyarakat yang ingin sekedar melihat Iwan. Di dekat taman hotel hanya berkumpul para wartawan, artis pengisi acara, musisi-musisi pendukung dan panitia pentas ijo royo-royo.  Iwan mendapat sesi foto terakhir, setelah Sawung Jabo, Toto Tewel, Ian Antono dan Oppie Andaresta di potret. Ia didampingi musisi pengiringnya, termasuk Cikal yang  ngintil terus seperti pengawal pribadi. Usai difoto wartawan, tidak disangka panitia penyelenggara yang mayoritas laki-laki segera menyerbu Iwan. Tujuannya cuma satu; ingin foto bersama.

Satu dua orang dilayani Iwan. Namun saat yang lain juga antusias ingin berfoto, dengan cepat Cikal langsung mencegahnya. “Stop,stop,stop…”katanya. Kebetulan saya memang agak jauh duduknya dari lokasi pemotretan. Tapi dari kejauhan pula, saya melihat ekspresi kecewa para penggemar Iwan yang juga panitia acara. Penyanyi balada dan lagu country itu langsung berjalan menjauh, tanpa basa-basi lagi.

Cerita lebih seru justru saya dapatkan, ketika saya menumpang mobil untuk menuju lokasi konser. Di dalam mobil, para anak muda yang sempat meminta foto bareng dengan Iwan menceritakan kekecewaannya. “Masa baru tiga jepretan langsung dihentikan Cikal. Sudah gitu dia bilang ‘tarif,tarif’. Ya akhirnya aku mundur. Males minta foto bareng aja minta bayaran,”ujar laki-laki dalam mobil. Info ini sempat saya cek ke beberapa orang lain. Ternyata benar adanya.

Pentas Iwan sendiri cukup sukses. Tapi sepanjang 45 menit jatah waktu dia, tak sekalipun Iwan menyapa penonton, yang kebanyakan komunitas OI dari berbagai daerah. Ia lebih suka monolog, untuk mengantar dari satu lagu ke lagu berikutnya. Anehnya, sambutan meriah masih tetap diberikan. Bahkan ada yang seperti orang kesetanan. Anak-anak baru gede itu rupanya tak pernah  berinteraksi langsung.  Jujur saja, saya dulu suka lagu-lagunya. Tapi setelah merasakan sendiri tingkah Mbak Yos, istri Iwan sekaligus manajernya, saya langsung stop.

Saat kami menuju hotel usai bubaran pentas, hal ini menjadi bahan diskusi di mobil. Kami menduga, Cikal tidak secara spontan bertingkah tak simpatik seperti itu. Mungkin dia sudah dibrief sama ibunya. Tidak mungkin Cikal bersikap seperti itu tanpa “arahan” dari orang tuanya. Atau, Iwan memang membiarkan karena merasa dirinya sudah punya nama besar. Jika memang begitu adanya, sungguh amat disayangkan. Apa susahnya bilang “maaf”, ketika memang ingin menolak penggemar untuk foto bersama. Pakai saja alasan, mau istirahat atau ada kegiatan lain. Tidak langsung menolak, apalagi sambil berteriak “tarif,tarif, tarif”, seperti kondektur bus kota saja.   

Friday, June 8, 2012

Iwan Fals:"Bakso Boyolali Enak"

Iwan habis makan
Menyambut hari ulang tahun Kota Boyolali, sebuah kota kecil di dekat Solo, Jawa Tengah, saya dan fotografer ikut cawe-cawe untuk meliputnya. Saya anggap ini liburan yang lumayan berguna untuk menyegarkan pikiran. Soalnya waktunya cukup lama, yaitu 4 hari. Dari Kamis, hingga Minggu sore tanggal 10 Juni 2012. Sejak di Bandara Soekarno-Hatta, saya berangkat bareng dengan Iwan Fals dan krunya. Dia menjadi salah satu pengisi acara. Perjalanan selama hampir 1 jam Jakarta-Solo, sempat diguncang awan tebal di langit Jakarta. Rasanya khawartir juga, jika mengingat tragedi Sukhoi yang baru saja terjadi.

Sampai di Solo, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan mobil. Kami, rombongan wartawan, ditempatkan disebuah hotel bernama Puri Merbabu Asri, dekat terminal Boyolali. Ini hotel kecil. Bahkan kamarnya mirip kamar kontrakan. Lebih mengenaskan lagi, kami cuma dikasih handuk. Terpaksa saya beli sendiri sabun, odol dan sikat gigi. Tidak lupa sandal jepit, karena di hotel tidak dibagikan sandal. 

Acara pertama adalah jamuan makan siang. Usai bersantap ria di rumah kakaknya bupati Boyolali, rombongan dihibur dengan tarian topeng ireng. Tarian energik ini dipakai untuk menyambut para tamu istimewa. Dandanannya mirip suku Aborigin di Australia. Seperti biasa, Iwan jadi pusat perhatian. Banyak orang yang ingin berfoto bersama atau sekedar berjabat tangan. Cikal, anak perempuannya sibuk menolak permintaan para fans Iwan.

Sudah jamak terjadi, jika tour ke mana-mana, Iwan selalu ditemani Mbak Yos, istri sekaligus manajernya. Tapi kali ini tugas itu diambil alih oleh Cikal. Mbak Yos sangat protektif pada Iwan. Tak sembarang wartawan bisa dikasih waktu untuk wawancara. Di Jakarta, sudah terkenal jika Iwan Fals amat pelit meluangkan waktu untuk ngobrol. Sebetulnya Iwan orangnya baik. Cuma manajernya saja yang terlalu ketat. Rupanya, hal ini juga dilakukan Cikal.

Setelah makan siang,  karena Iwan dan wartawan tidur di hotel yang berbeda, kami melakukan kegiatan sesuai agenda masing-masing.Kami sempat naik ke lereng Gunung Merapi. Tujuannya untuk liputan rubrik wisata, sekalian hunting foto matahari terbit. Berangkat dari hotel pukul 04.00. Bayangkan betapa dinginnya. Begitu sampai dilereng tertinggi yang bisa dicapai mobil, saya hampir saja "mati". Pagi buta tanpa jaket berada di ketinggian 2300 meter di atas permukaan laut, dengan kondisi alam habis diguyur hujan, bukanlah ide yang baik.

Karena tak kuat, saya memilih masuk mobil. Mas Joko, ketua anak cabang PDI Perjuangan di Boyolali yang setia mengantar kami, juga ikut-ikutan masuk. Dia punya penyakit yang sama dengan saya; tidak kuat udara dingin. Setelah menunggu cukup lama kabut tak juga menyingkir, terpaksa kami memutuskan untuk turun. Sehari sebelumnya, Iwan Fals juga naik ke lereng ini dan melihat-lihat keasrian Merapi. Iwan bisa melihat puncak, karena saat itu tidak tertutup kabut tebal.

Acara inti hari ulang tahun kota Boyolali adalah konser musik ijo royo-royo. Sebelum pentas, panitia menggelar konferensi pers bersama artis-artis pendukung di pendopo rumah dinas bupati. Acara didahului dengan penyerahan piala pada anak-anak sekolah dasar yang berprestasi. Acara formal selesai, kami digiring ke belakang. Semua berkumpul dan masing-masing artis diberi kesempatan bicara, sebelum dilanjutkan sesi tanya jawab.

Bupati Boyolali, Drs. Seno Samudro, rupanya terkesan dengan Iwan Fals. Tanpa sungkan, ia mengaku selalu teringat dengan syair lagu Iwan, yang menjadi inspirasi anak muda untuk melakukan reformasi di negeri ini. "Kalau tidak salah, bunyi syairnya begini,' Ternyata kita harus berjalan. Robohkan syetan yang berdiri mengangkang',"ujar pak bupati. "Nah, mas Iwan sebagai penyanyi lagu itu, bagaimana tanggapan Mas Iwan terhadap jalannya reformasi di negeri ini,"tanya pak bupati, yang juga bekas wartawan oahraga ini.

semangkok bakso Boyolali
Rupanya tak banyak yang tahu, beberapa tahun belakangan Iwan Fals sudah mulai melunak. Dulu dia memang garang mengkritik pemerintah lewat syair-syair lagunya. Mungkin pak bupati tidak mengikuti terus perkembangan terbaru dari Iwan. Maka saat mendapat pertanyaan seperti itu, tanpa basa-basi Iwan langsung menjawab,"Tadi malam baksonya enak banget pak. Saya sampai nanya itu bakso dijual tidak di Jakarta?Tapi katanya tidak dijual di Jakarta ya pak?".Mendapat jawaban seperti itu, pak bupati tertawa keras, diiringi semua yang hadir.

Untung Pak Seno tidak mengulang pertanyaan serupa. Usai tanya jawab, kami semua dipersilahkan makan pagi. Saya sempat mencicipi gulai kambing yang enak benar. Sayang sebelumnya sudah makan 4 jadah goreng plus minum kopi di Pasar Selo, setelah turun dari puncak Merapi. Jadi ruang yang tersisa di perut tinggal sedikit.  Saya lihat, sembari menguyah daging kambing yang empuk, Iwan Fals sedang suntuk menikmati makanannya di pojok ruangan.

Iwan pulang ke hotel, waktu semua wartawan Jakarta keluar untuk memotret beringin berumur ratusan tahun di belakang rumah dinas bupati. Karena waktu shalat Jum'at sudah mulai mepet, kami ikut terburu-buru meluncur ke hotel.  

Sorenya para wartawan mengunjungi stage, pulang ke hotel lagi, beristirahat, bangun dan mengikuti acara seremonial penanaman sejuta pohon di Kabupaten Boyolali.  Tapi saya memilih untuk tidak mengunjungi stage, karena ingin istirahat. Jadi cuma fotografer yang berangkat.

Hingga curhat ini saya tulis, pekerjaan belum selesai, sampai kami melihat Iwan Fals benar-benar beraksi di atas panggung malam harinya. Kali ini, lagu-lagunya bertemakan lingkungan hidup. Kalaupun kritik, ya terkait dengan perilaku manusia yang tidak ramah lingkungan. Mungkin karena dunia politik kita tidak seenak bakso ya? Jadi mending ngomong soal lingkungan saja....gkgkgkgkg.

Tuesday, June 5, 2012

rempongnya bertemu adiknya Obama

maya sibuk melayani foto bersama
Awal Juni 2012, Maya Soetoro Ng, adik tiri Presiden AS Barack Obama datang ke Indonesia. Ini kunjungan pribadi. Maya sebagai asisten profesor di Universitas Hawai, AS, juga penggiat pendidikan. Ceritanya, dia akan sharing soal pengetahuannya sebagai dosen pendidikan di tanah air kita. Karena menarik untuk diangkat profil keluarganya, saya memutuskan untuk datang menemuinya di sebuah diskusi publik. Undangan datang lewat email, dalam Bahasa Inggris. Acara berlangsung tanggal 5 Juni 2012 di Pacifik Place, JL. Soedirman, Jakarta.

Saya sendiri sempat sangsi apakah dia punya cukup waktu untuk wawancara panjang. Pengalaman kalau belum janji secara khusus, paling dapat bertanya sepatah dua patah kata. Tapi karena ini pengalaman langka, akhirnya saya putuskan berangkat. Kesulitan pertama, soal tempat pasti di mana acara berada. Tiba di Pasific Place, saya harus muter-muter tanya, di mana Maya mengadakan acara. Banyak satpam mall yang tidak tahu. Untung di bagian informasi ada datanya.

Kedua, betapa rempongnya (baca;repot,hehehe) masuk ke ruangan acara. Ini ruangan disewa oleh pemerintah AS. Namanya @america. Biasanya untuk acara-acara yang berkaitan dengan pengenalan budaya AS. Karena yang datang adik orang nomor satu di AS, prosedur ketat tetap dijaga. semua anggota tubuh diobok-obok. Tas ditinggal. Tangan hanya membawa notes, kamera dan alat perekam. Saya sempat berfikir, kok adik presiden Indonesia tidak begini banget kalau mengadakan sebuah acara ya,hehehe.

Masuk ke dalam, undangan sudah penuh. Kata Ryan, fotografer dari Presiden Post acara sudah berlangsung 20 menit. Maya sedang berpidato memakai Bahasa Inggris. Saya yang bodoh hanya bisa menangkap sepotong sepotong. Memakai setelan berwarna hitam dengan selendang di sampirkan di bahu, Maya banyak bercerita soal pengetahuannya seputar ilmu-ilmu edukasi. Sesekali, ia menggunakan Bahasa Indonesia yang cukup lancar, meski kadang susah menemukan kata yang tepat ketika hendak mengutarakan sesuatu.

maya sedang diwawancara
Usai acara, kami segera menyerbu.  Maksudnya, bukan hanya para jurnalis, tapi juga para pengunjung. Sesi tanya jawab yang cukup lama rupanya belum cukup jadi pengobat kangen. Tapi lagi-lagi protokol ketat dijaga. Maya tak boleh foto bersama. Saya yang mengambil gambar saja cukup kesulitan karena dia selalu terhalang para pengunjung yang menyemut. Maya akhirnya ditarik masuk ke dalam ruangan.

Seorang laki-laki yang jadi moderator, sempat menyuruh saya menghubungi Pak Lukman, yang menjadi penghubung antara pers dan pihak Maya. Tapi saya tanya ke sana ke mari pada panitia tak satupun yang kenal Lukman. Semua yang terlihat mengurus acara itu bahkan bersikap sombong. Kerempongan kembali terjadi, ketika pers diperbolehkan masuk untuk wawancara Maya di ruangannya, dengan syarat ID card harus digantung di leher.

Saya pribadi punya ID card lengkap. Ada dari kantor. Ada pula dari dewan pers, setelah ikut menjalani uji kompetensi wartawan. Tapi fotografer saya yang baru beberapa bulan bekerja, dilarang masuk mengambil gambar. Sudah dijelaskan tapi tetap  ditolak. Akhirnya ID card saya kasih ke dia, supaya bisa masuk. Terpaksa saya menunggu lama di luar. Saya kembali mencari-cari Lukman. Tetap nihil.  Hingga saya tanya pada perempuan cantik bernama Winny. Dia staf kedubes AS asal Indonesia.

Winny memberi alamat email. Saya diijinkan mengirim daftar pertanyaan, meski dia tidak janji Maya bakal menjawabnya. Tapi tidak apa-apa. Minimal ada link untuk bisa memberi pertanyaan pada ibu dua anak itu. Lukman sendiri rupanya masih sibuk memberi supervisi. Maya kala itu sedang diwawancara oleh sebuah televisi swasta, yang memiliki program berita dalam Bahasa Inggris. Karena saya yakin tak bisa dapat wawancara sore itu, kami memutuskan pulang. Fotografer masih ngedumel soal tragedi ia ditolak masuk.

Di kamera kecil saya ada foto Maya, meski tidak fokus. Ada cerita berkesan yang sempat saya tangkap, walau banyak yang tidak saya mengerti karena keterbatasan saya dalam Bahasa Inggris logat Amerika (hahaha...sombong amat ya?). Diantaranya, Maya bercerita saat masih tinggal di Indonesia, tiap bulan purnama ibunya selalu membangunkannya. "Ayo bangun sini lihat bulan indah sekali,"ujar Maya menirukan sang ibu, An Dunham.

Maya sering kesal. Soalnya ia ingin tidur. Tapi belakangan sang ibu bercerita, saat sedang melihat bulan purnama, sesungguhnya akan mengingatkan kita jika semua manusia adalah bersaudara. Kata Maya, bulan yang terlihat di Indonesia, adalah juga bulan yang sama yang ada di Hawai, Singapura, bahkan Afrika. Saya jadi ingat syair lagunya grup musik cadas asal Jerman;Scorpion. Judulnya under the same sun. Intinya, Clause Maine, si vokalis mengunggah pesan, kenapa kita harus saling berbunuh-bunuhan. Padahal, kita hidup di bawah matahari yang sama. Cause we all life under the same sun. Maya tidak menyebut matahari. Tapi filosofinya sama.
maya kecil bersama dua orang tuanya
Maya juga bertutur, ketika ibunya hendak meninggal dunia, ia sempat berpesan ingin di kubur di tempat yang tinggi, supaya bisa mudah melihat keindahan alam. Kali lain, An Dunham ingin di "kubur" di laut, agar bisa ke mana-mana dengan lebih cepat. Maya tak mengklarifikasi, benarkah sang ibu seorang atheis, seperti yang selama ini jadi pengetahuan publik. Macam-macam yang bisa dipungut, sampai lupa kalau perut belum diisi sejak pagi. 

Kalau soal yang terakhir, saya jadi tidak respek sama Kedubes AS. Masa untuk acara sepenting ini air minum saja tidak ada?Apalagi makanan, yang biasanya melimpah diacara-acara yang mengundang media. Saya lihat, Maya juga hanya disuguhi air mineral dalam botol kecil. Woiii Obama, dubesmu untuk Indonesia kok pelit amat sih?

Sekitar pukul 18.00, saya terpaksa mampir ke warteg dekat rumah. Ketemu teman lama, yang ngurus warteg. Ngobrol ngalor ngidul. Cukup Rp 13 ribu, semangkok soto babat, empat tempe goreng dan es teh mengenyangkan perut. Saya pamit pulang pada teman. Rencana untuk mengirim daftar pertanyaan ke Maya pun mulai kususun, malam harinya.

Monday, June 4, 2012

suami siaga

Max Sopacua & istri
Tak baik berfikir negatif. Pesan ini, barangkali pas dengan kenyataan yang saya hadapi, saat sedang melobi Max Sopacua, wakil ketua umum Partai Demokrat. Bukan apa-apa. Awalnya, saya merasa begitu berat untuk mendapatkan komitmen dari beliau, agar mau diwawancara. Ada saja alasannya. Kadang Pak Max bilang sedang di luar negeri. Lain waktu pesan pendek saya tak dibalas. Kebetulan saya ingin mewawancarai beliau, untuk mengangkat profil keluarganya. Pikiran negatif saya saat itu, mungkin beliau punya istri dua. Jadi enggan diekspos cerita soal rumah tangganya.

Soalnya, bukan rahasia lagi banyak politisi kita yang berpoligami. Terutama dari PKS. Tapi banyak pula dari partai lain. Maklumlah. Mereka banyak duit. Jadi secara finansial mampu untuk menafkahi dua, atau tiga istri. It's oke. Begitu pun pada Pak Max. Saya akhirnya mundur, karena beliau nampaknya tak merespon dengan baik permintaan saya. Hingga satu ketika, sekitar akhir Mei 2012, saya kembali iseng mengirim pesan pendek. Tak disangka, Pak Max langsung bilang,"boleh, kapan mau?". Antara percaya dan tidak, saya langsung meminta segera. Bapak tinggal SMS saja waktu dan tempatnya. Nanti saya datang. Begitu balasan SMS saya.

Awalnya saya disuruh datang ke gedung DPR. Kantor beliau di lantai 9. Tapi karena Pak Max memberi kepastian satu jam sebelumnya, saya tanya sampai berapa lama di gedung dewan. Soalnya perjalanan dari kantorku ke gedung dewan bisa satu jam. Akhirnya beliau mengambil keputusan, sore saja dikabari lagi. Waktunya dan jamnya nanti di SMS. Hingga pukul 16.00, saya sempat bimbang. Pak Max belum juga mengirim kepastian. Saya sudah jalan pulang, karena istri minta saya segera merapat ke rumah. Tapi, sebelum saya pulang, saya kirim SMS lagi untuk meminta kepastian bertemu.Bunyinya,"Pak, jadi kita ketemuan hari ini?hehehehe".

Sekitar 15 menit pulang, saya iseng membuka blackberry. Busyet. Ternyata ada balasan dari Pak Max. Saya disuruh meluncur ke kolam renang Hotel Aryaduta, dekat Plaza Semanggi. Di dekat kolam renang ada gerai kopi. Tunggu di situ. Terpaksa saya putar balik.Cukup capai juga mencari hotel ini. Soalnya baru pertama kali datang. Saat saya tiba, seorang satpam mengantar ke kolam renang hotel. Di situ banyak anak-anak yang sedang berenang, termasuk seorang ibu muda yang sedang berbadan dua. Tak berselang lama, satpam memanggil. Ia disertai seorang pria bersafari, dengan kulit gelap dan badan tegap. Pria itu mengaku sebagai ajudan Pak Max. Saya disuruh nunggu di tepi kolam renang.

Ketika sedang mengecek BB, sang ajudan mendatangi saya. Pak Max sudah duduk tak jauh dari kursi saya. Beliau memakai kemeja dengan kancing atas dilepas satu. Senja sudah mulai menangkup Jakarta. Usai berkenalan sejenak, Pak Max memesan kopi. Saya minum ice lemmon tea. Sesudahnya, Pak Max banyak bercerita tentang keluarganya. Subahanallah. Ternyata beliau adalah pria yang setia. Istrinya sudah tiga tahun hanya bisa berbaring ditempat tidur, karena mengidap Alzheimer akut. Pak Max sudah membawanya berobat ke mana saja.Menemui dokter top yang bisa mengobati penyakit istrinya. Tapi kata dokter, penyakit itu belum ada obatnya. Jadi kemungkinan sembuh total kecil.

Menarik mendengar kisah Pak Max. Ia mengaku istrinya adalah segala-galanya. Soalnya, sejak dari awal menikah, sang istri tak pernah henti menjalankan shalat malam. Pak Max merasa, keberhasilan dia dan anak-anaknya, tak lepas dari doa sang istri. Tahun 1992, Pak Max memutuskan masuk Islam. Ia merasa, sebagai suami harus berkorban, demi sebuah kepentingan yang lebih besar."Ini juga sebagai perwujudan filosofi hidup yang saya anut. Bahwa seorang pemimpin adalah pribadi yang harus rela berkorban. Inilah pengorbanan saya sebagai pemimpin rumah tangga,"kata Pak Max. Beliau lantas menunjukan gambar-gambarnya bersama sang istri yang sedang sakit. Sungguh mengharukan.

Saya jadi ingat, Pak Max memang pernah mengatakan sedang mengobati istrinya. Waktu itu saya tidak menyangka, jika istrinya sedang sakit. Usai wawancara, Pak Max berjanji akan mengirim foto-foto keluarganya. Sehari kemudian, tiga fotonya mampir ke emailku. Hari berikutnya, kembali foto-foto keluarga Pak Max terkirim. Sepanjang perjalanan pulang,banyak pengalaman hidup yang bisa jadi pembelajaran orang seperti saya. Di sisi lain, saya juga merasa bersyukur bisa bertemu beliau, yang sejak saya SMP sudah mengagumi suaranya yang empuk saat membawakan berita di TVRI. Tabik...!!!

Monday, May 28, 2012

Uangnya Tak Cukup Pak Pol...

Sepeda motor di Jakarta, lama-lama akan bernasib seperti becak. Indikasinya sudah jelas. Kini parkir sepeda motor di gedung-gedung bergengsi semakin steril. Gedung-gedung jangkung, rata-rata tidak mau menerima sepeda motor parkir di ruang parkirnya. Hanya mobil yang boleh. Di jalan-jalan Jakarta pun, kini sepeda motor harus selalu menyalakan lampu besar, saat siang bolong. Sementara aturan ini tidak diterapkan pada mobil. Pokoknya naik sepeda motor di Jakarta kini tambah sengsara.

Tidak menyalakan lampu, jangan harap bakal selamat dari sempritan polisi. Inilah yang terjadi pada saya. Saat lewat di depan kantor Komnas Perlindungan Anak, Pasar Rebo, Jakarta Timur,akhir Mei 2012 tiba-tiba saya diberhentikan. Pak polisi menegur saya, karena tidak menyalakan lampu depan. Saya sebenarnya sudah ngomong terus terang. Accu sudah soak. Tapi pak polisi tak peduli. Celakanya, SIM saya juga mati. Maklum. Mau buat SIM tak juga sempat waktunya.

Pak pol menawarkan dua pilihan. Nitip uang atau ditilang. Saya sebetulnya mau nitip uang. Istilah gampangnya;nyuap. Tinggal ngasih Rp 50 ribu beres. Tidak ditilang. Tapi hari itu benar-benar sial. Uang di dompet tinggal Rp 10 ribu. Saya terus terang bilang uang tinggal Rp 10 ribu. Pak pol keberatan. Lha, mau bagaimana lagi? Dengan berat hati saya ditilang. Saya memang tidak memohon-mohon untuk  diringankan. Buat apa? Toh pak pol sudah keukeuh tidak mau dikasih Rp 10 ribu.

Selama seminggu saya harap-harap cemas menanti sidang. Tempatnya jauh lagi. Di Pulo Gebang, Jakarta Timur. Ada teman kantor yang memberitahu. Tak perlu repot-repot sidang. Tinggal nitip saja pada calo nanti diambilkan. Ada juga yang menghubungi adiknya yang polisi. Tapi karena sidang sudah tinggal sehari, STNK berarti sudah di pengadilan. Dia tak bisa menolong. Okelah. Tidak apa-apa saya lakoni. Hitung-hitung ini pengalaman pertama berstatus sebagai terdakwa.

Saya ijin tidak ke kantor. Pagi-pagi meluncur ke Pulo Gebang. Karena belum tahu benar lokasinya, saya kembali lewat Pasar Rebo. Alamak, ternyata di situ ada razia lagi. Kembali saya dihentikan pak pol. Saya terus terang mau ikut sidang. Surat tilang saya keluarkan. STNK tak ada, karena di pengadilan. SIM mati. Pak pol bingung. "Meskipun sudah ditilang, bukan berarti kamu bebas. Karena SIM mati, motornya kita kandangin,"ujar pak polisi.

Tak lama komandannya datang. Dia mendengar cerita anak buahnya soal kondisiku. Keputusannya tetap. Motor saya dikandangin. Aduh, karena kepepet, saya lantas mencoba menghiba. Saya bilang minta tolong motor jangan disita."Kalau disita saya liputan pakai apa pak? Saya juga sering liputan di polsek Ciracas lho? Juga di Polda,". Pak pol sedikit terkejut. Dia lantas melihat SIM saya. "Kamu wartawan dari mana?"tanyanya. Aku jawab apa adanya.

Pak pol kemudian mengembalikan SIM dan surat tilang saya. Dia bahkan minta saya jangan ikut sidang. Karena pasti ramai dan harus antri berjam-jam. Saya disarankan untuk mengambil di kejaksaan saja, setelah sidang. Biayanya lebih murah. Cuma Rp 40 ribu. Begitu "petunjuk" pak pol. Tapi karena saya sudah sangat jauh berjalan, saya bertekad akan menuntaskan masalah sidang STNK hari itu juga. Saya dilepas pak pol, sambil tak lupa saya mengucapkan terima kasih.

Memang benar di pengadilan situasinya sungguh crowded. Calo bertebaran di mana-mana. Saya dihentikan seorang calo bernama Apin. Dia dari Bogor. Minta tarif Rp 150 ribu untuk dua pelanggaran, yaitu SIM mati dan lampu tak dinyalakan. Karena saya masih ragu-ragu, akhirnya saya tinggalkan Apin. Mengisi perut di warung Padang, sambil konsultasi dengan istri. Hasilnya, istri mendesak diselesaikan hari itu juga. Saya kembali ke PN Pulo Gebang dan bertemu dengan calo bernama Herman. Awalnya dia meminta Rp 250 ribu. Saya tawar Rp 150 mau dia. Deal.

Sekitar pukul 15.00 STNK baru nongol. Ternyata yang ngurus bukan Pak Herman. Tapi seorang wartawan bodrek yang biasa mangkal di PN.  Ya, sudahlah. Ini urusan dia. Terpenting STNK sudah ditangan. Saya pulang menembus panas. Sempat melewati Bekasi Barat karena kesasar-sasar. Sekitar pukul 16.00 saya sampai di dekat Terminal Pulo Gadung, Jakarta Timur. Dalam keruwetan lalu lintas, tiba-tiba saja motor saya dihentikan polisi. Rupanya ada razia lagi. Aduh, apes benar ditangkap polisi lagi. Padahal STNK baru saya ambil.

Saya dibawa ke pos hansip. Kembali disitu ditawari, mau nitip uang atau ditilang. Kali ini, saya diancam bakal kehilangan Rp 1 juta, karena SIM mati. Kalau mau aman, saya bisa nitip Rp 100 ribu. Saya tawar Rp 50 ribu. Pak pol tidak mau. Karena dikantong memang sudah tak ada lagi uang, akhirnya dengan terus terang saya kembali melancarkan jurus maut. Saya mengaku habis liputan di polsek Ciracas. Untuk meyakinkan klaim saya, dari kantong tas saya keluarkan kartu anggota PWI Jaya. Tiba-tiba pak pol bersikap melunak. Dia juga mengaku berasal dari Tegal, setelah melihat tempat kelahiran saya di SIM.

Saya dilepas. Pesannya, jangan lupa SIM diperpanjang. Saya bilang iya pak. Sepanjang jalan saya tak habis pikir. Banyak benar razia polisi di Jakarta Timur? Seumur hidup baru kali ini dalam sehari bisa ketangkap dua kali. Tapi saya bersyukur, pak pol mau mengerti. Paling tidak, meski saya akui salah,saya bisa sedikit menghemat ongkos buat nebus STNK. Sampai rumah hampir maghrib. Karena sangat capai, saya langsung mandi dan rehat.Saya capai lahir dan batin,hehehe....

Friday, May 18, 2012

Secangkir Es Cappucino

Banyak seleb yang besar kepala, karena merasa dirinya sudah tenar dan kaya raya. Ini saya rasakan benar, sebagai kuli tinta yang selalu berinteraksi dengan mereka. Tapi berbeda dengan laki-laki satu ini. Saya bukan memuji. Tapi sejak awal saya melihat Surya Saputra, dia benar-benar menghormati siapa saja. Termasuk wartawan yang kerap menyapanya di acara-acara yang dia ikuti. Contoh kecil saja soal akses menghubungi dia. Saya meminta nomornya saat bertemu di Festival Film Bandung, Mei 2012. Dia langsung memberinya.

Surya di sebuah pojok
Awalnya, saya ragu apakah itu nomor dia langsung atau tidak. Maklumlah. Dari sekian banyak peraih piala FFB, saat saya meminta nomornya selalu dihubungkan dengan sang manajer. Mereka menjadi sosok yang tak tersentuh. Seolah-olah "haram" ditelepon langsung oleh wartawan, tanpa campur tangan sang manajer. Bahkan saya sempat menjumpai dan meminta nomor kontak presenter yang juga seorang perancang busana yang gayanya kemayu. Kita, para wartawan cuma dikasih nomor butiknya. Aje gileee,hehehehe..

Saat saya SMS Surya, dia langsung balas. Ada manajer, tapi hanya sebatas mencari waktu luang Surya agar bisa bertemu. Setelah saya disuruh datang ke RS Meilia di Cibubur, kontak-kontak kembali dengan Surya. Dia well come, akrab, membumi dan tidak menjaga jarak. Saya lihat waktu meninggalkan lokasi syuting sinetron, semua kru dan figuran di pamiti. Surya juga memakai baju koko, layaknya seorang ustaz. Tak ketinggalan, ucapan salam selalu menghias bibirnya.

Kami ngobrol di gerai minuman kecil, ditemani segelas es cappucino.Dari A sampai Z wawancara berlangsung. Termasuk off the reccord terkait masalahnya dengan seorang WNI keturunan, yang bertindak sewenang-wenang karena punya backing orang kuat di republik ini. Surya mengaku sering ditipu, karena dia selalu berprasangka baik pada orang lain. Tapi dari situ, dia mengajarkan pada saya untuk berhati-hati di Jakarta, karena banyak orang jahat. "Di Jakarta itu kalau mau bisnis harus punya hati tegaan. Saya nggak bisa seperti itu,"ujarnya.

Surya bahkan bercerita, ada seorang dari Yogya, yang disuruh datang ke Jakarta karena dijanjikan main di sebuah film. Janji itu ternyata kosong belaka. Orang itu lantas tidur di Taman Suropati, Menteng, Jakarta Pusat, karena kehabisan duit. Untung saja Surya menemukannya. Ia lantas mengajak orang itu tidur di rumahnya. Ia mengaku terketuk hatinya, karena pernah mengalami masa-masa sulit saat merintis karir dari bawah. Bahkan saat tawaran main film  sepi, Surya sempat berdagang sembako dengan modal Rp 4,5 juta.

Usai wawancara, kami tidak segera pulang. Hujan lebat menahan langkah kami. Obrolan non formal lantas kembali disambung, di depan pintu masuk rumah sakit. Sudah pasti, sambil diselingi beberapa orang yang ingin berfoto bersama. Surya melayaninya dengan ramah. Tidak nampak sedikitpun perasaan dia sebagai bintang film top. Saat hujan sudah mulai reda, kami berpisah. Dia menuju mobil Honda CRV model lama, saya ke parkiran Suzuki Thunder yang baru saja kena tilang STNK-nya di Pasar Rebo.

Dalam suasana hujan menyeluruh di wilayah kota Jakarta, saya pikir benar-benar semua omongan Surya. Dia memang lain kualitasnya. Popularitas dan kekayaan tidak membuatnya silau. Mungkin ini bisa menjadi pembelajaran menarik bagi pihak lain. Benar, tidak semua artis jadi sombong setelah terkenal. Surya Saputra sudah membuktikannya. Sayang, dari sekian banyak orang yang berkecimpung di jagat hiburan, orang yang benar-benar seperti Surya hanya segelintir saja. Yang lainnya.....merdeka!merdeka!merdeka! (mirip zaman tahun 45 saja,hehehehe)

Sunday, May 13, 2012

Keliling Kebon Raya Bogor

Adik Syahrini, Aisyahrani, memutuskan menggelar resepsi pernikahan awal Mei 2012. Pernikahan itu, uniknya, dilaksanakan di ruangan terbuka alias lapangan, dengan konsep garden party. Saya sempat disuruh cepat-cepat ke kantor karena akan ditugasi meliput ini. Karena TKP-nya di Bogor, usai absen jari, saya kembali pulang. Saya putuskan untuk berangkat dari rumah. Daripada ikut mobil liputan terus habis meliput balik lagi ke kantor??Tambah makan waktu untuk sampai di rumah.

Hambatan pertama adalah mencari kafe De Daunan, lokasi acara resepsi. Bogor yang penuh dengan angkot, membuat saya bolak-balik kesasar. Oleh seorang tukang parkir, di dapat informasi, jika kafe terletak di dalam kebun raya. Saya segera menuju ke gerbang utama. Oleh petugas keamanan, motor di suruh ditinggal di dekat gerbang. Untuk menuju lokasi acara dipersilahkan jalan kaki. Tidak terlalu jauh. Cuma 500 meter. Aku turuti peraturan itu.

Tak lama jalan, seorang pedagang kaki lima di dalam kebon raya menolongku untuk ikut naik motornya. Alhamdulilah. Ada juga yang mau bantu. Tentu ada yang bikin heran, saat saya bonceng motor. Jarak pintu utama menuju kafe De Daunan ternyata cukup jauh. Kalau jalan kaki mungkin bisa gempor. Di lapangan hijau, ditengah rerimbunan pohon-pohon tinggi kebon raya, aku minta turun. Terlambat  sedikit, sekitar 15 menit. Tapi acara belum dimulai sesuai rencana yaitu pukul 15.00.
syahrini & adiknya, Aisyahrani
Petugas pembawa acara meminta hadirin mendekat. Karena akad nikah akan dimulai dan pukul 17.30 bisa selesai untuk shalat maghrib. Saya dan teman-teman tentu saja harus menunggu, sampai mempelai mengadakan konferensi pers. Celakanya, acara molor hingga malam. Bahkan hingga pukul 20.00 resepsi masih berlangsung.  Kesal tentu saja. Untung pawang hujannya hebat. Hingga hujan tak kunjung jatuh, tidak seperti hari-hari biasanya.

Di rumah, istri ngomel-ngomel. Soalnya dia masuk shift malam. Tidak ada yang menjaga anak-anak. Dalam kondisi dilematis, akhirnya diambil tindakan. Dua anak saya dibawa ke rumah sakit. Nanti saya jemput setelah liputan kelar.Pukul 21.00 saya sudahi pekerjaan. Menumpang mobil tayangan, saya menuju gerbang utama. Tapi betapa kagetnya saya, ketika gerbang sudah tutup. Lampu-lampu sudah dimatikan. Waduh, celaka. Bagaimana saya harus mengambil motor untuk pulang?

Saya dan teman-teman putar otak. Akhirnya kami cari pintu gerbang yang masih buka. Alhamdulilah ada satu. Saya bilang akan mengambil motor. Untung ada pak sekurity yang mau kontrol. Saya diminta ikut. Membelah kebon raya bogor yang gelap dan penuh rimbun tanaman, akhirnya kami sampai di parkiran. Motor saya masih sendiri. Tak ada motor lain. Dengan petunjuk dari pak sekurty, saya kembali diantar ke gerbang semula. 

Malam itu, ditengah cuaca dingin akibat hujan deras mengguyur Bogor-Jakarta, saya tancap gas menuju rumah sakit. Tiba di rumah sakit pukul 22.30. Anak-anak masih terjaga. Saya bawa pulang, dan esoknya saya ke kantor dalam kondisi hujan-hujanan. Esoknya, saya jatuh sakit selama seminggu. Entah masuk angin atau karena kecapekan. Tapi yang jelas, pengalaman ini membuat saya kapok untuk parkir motor hingga malam di Kebun Raya Bogor.