Daftar Isi

Monday, May 28, 2012

Uangnya Tak Cukup Pak Pol...

Sepeda motor di Jakarta, lama-lama akan bernasib seperti becak. Indikasinya sudah jelas. Kini parkir sepeda motor di gedung-gedung bergengsi semakin steril. Gedung-gedung jangkung, rata-rata tidak mau menerima sepeda motor parkir di ruang parkirnya. Hanya mobil yang boleh. Di jalan-jalan Jakarta pun, kini sepeda motor harus selalu menyalakan lampu besar, saat siang bolong. Sementara aturan ini tidak diterapkan pada mobil. Pokoknya naik sepeda motor di Jakarta kini tambah sengsara.

Tidak menyalakan lampu, jangan harap bakal selamat dari sempritan polisi. Inilah yang terjadi pada saya. Saat lewat di depan kantor Komnas Perlindungan Anak, Pasar Rebo, Jakarta Timur,akhir Mei 2012 tiba-tiba saya diberhentikan. Pak polisi menegur saya, karena tidak menyalakan lampu depan. Saya sebenarnya sudah ngomong terus terang. Accu sudah soak. Tapi pak polisi tak peduli. Celakanya, SIM saya juga mati. Maklum. Mau buat SIM tak juga sempat waktunya.

Pak pol menawarkan dua pilihan. Nitip uang atau ditilang. Saya sebetulnya mau nitip uang. Istilah gampangnya;nyuap. Tinggal ngasih Rp 50 ribu beres. Tidak ditilang. Tapi hari itu benar-benar sial. Uang di dompet tinggal Rp 10 ribu. Saya terus terang bilang uang tinggal Rp 10 ribu. Pak pol keberatan. Lha, mau bagaimana lagi? Dengan berat hati saya ditilang. Saya memang tidak memohon-mohon untuk  diringankan. Buat apa? Toh pak pol sudah keukeuh tidak mau dikasih Rp 10 ribu.

Selama seminggu saya harap-harap cemas menanti sidang. Tempatnya jauh lagi. Di Pulo Gebang, Jakarta Timur. Ada teman kantor yang memberitahu. Tak perlu repot-repot sidang. Tinggal nitip saja pada calo nanti diambilkan. Ada juga yang menghubungi adiknya yang polisi. Tapi karena sidang sudah tinggal sehari, STNK berarti sudah di pengadilan. Dia tak bisa menolong. Okelah. Tidak apa-apa saya lakoni. Hitung-hitung ini pengalaman pertama berstatus sebagai terdakwa.

Saya ijin tidak ke kantor. Pagi-pagi meluncur ke Pulo Gebang. Karena belum tahu benar lokasinya, saya kembali lewat Pasar Rebo. Alamak, ternyata di situ ada razia lagi. Kembali saya dihentikan pak pol. Saya terus terang mau ikut sidang. Surat tilang saya keluarkan. STNK tak ada, karena di pengadilan. SIM mati. Pak pol bingung. "Meskipun sudah ditilang, bukan berarti kamu bebas. Karena SIM mati, motornya kita kandangin,"ujar pak polisi.

Tak lama komandannya datang. Dia mendengar cerita anak buahnya soal kondisiku. Keputusannya tetap. Motor saya dikandangin. Aduh, karena kepepet, saya lantas mencoba menghiba. Saya bilang minta tolong motor jangan disita."Kalau disita saya liputan pakai apa pak? Saya juga sering liputan di polsek Ciracas lho? Juga di Polda,". Pak pol sedikit terkejut. Dia lantas melihat SIM saya. "Kamu wartawan dari mana?"tanyanya. Aku jawab apa adanya.

Pak pol kemudian mengembalikan SIM dan surat tilang saya. Dia bahkan minta saya jangan ikut sidang. Karena pasti ramai dan harus antri berjam-jam. Saya disarankan untuk mengambil di kejaksaan saja, setelah sidang. Biayanya lebih murah. Cuma Rp 40 ribu. Begitu "petunjuk" pak pol. Tapi karena saya sudah sangat jauh berjalan, saya bertekad akan menuntaskan masalah sidang STNK hari itu juga. Saya dilepas pak pol, sambil tak lupa saya mengucapkan terima kasih.

Memang benar di pengadilan situasinya sungguh crowded. Calo bertebaran di mana-mana. Saya dihentikan seorang calo bernama Apin. Dia dari Bogor. Minta tarif Rp 150 ribu untuk dua pelanggaran, yaitu SIM mati dan lampu tak dinyalakan. Karena saya masih ragu-ragu, akhirnya saya tinggalkan Apin. Mengisi perut di warung Padang, sambil konsultasi dengan istri. Hasilnya, istri mendesak diselesaikan hari itu juga. Saya kembali ke PN Pulo Gebang dan bertemu dengan calo bernama Herman. Awalnya dia meminta Rp 250 ribu. Saya tawar Rp 150 mau dia. Deal.

Sekitar pukul 15.00 STNK baru nongol. Ternyata yang ngurus bukan Pak Herman. Tapi seorang wartawan bodrek yang biasa mangkal di PN.  Ya, sudahlah. Ini urusan dia. Terpenting STNK sudah ditangan. Saya pulang menembus panas. Sempat melewati Bekasi Barat karena kesasar-sasar. Sekitar pukul 16.00 saya sampai di dekat Terminal Pulo Gadung, Jakarta Timur. Dalam keruwetan lalu lintas, tiba-tiba saja motor saya dihentikan polisi. Rupanya ada razia lagi. Aduh, apes benar ditangkap polisi lagi. Padahal STNK baru saya ambil.

Saya dibawa ke pos hansip. Kembali disitu ditawari, mau nitip uang atau ditilang. Kali ini, saya diancam bakal kehilangan Rp 1 juta, karena SIM mati. Kalau mau aman, saya bisa nitip Rp 100 ribu. Saya tawar Rp 50 ribu. Pak pol tidak mau. Karena dikantong memang sudah tak ada lagi uang, akhirnya dengan terus terang saya kembali melancarkan jurus maut. Saya mengaku habis liputan di polsek Ciracas. Untuk meyakinkan klaim saya, dari kantong tas saya keluarkan kartu anggota PWI Jaya. Tiba-tiba pak pol bersikap melunak. Dia juga mengaku berasal dari Tegal, setelah melihat tempat kelahiran saya di SIM.

Saya dilepas. Pesannya, jangan lupa SIM diperpanjang. Saya bilang iya pak. Sepanjang jalan saya tak habis pikir. Banyak benar razia polisi di Jakarta Timur? Seumur hidup baru kali ini dalam sehari bisa ketangkap dua kali. Tapi saya bersyukur, pak pol mau mengerti. Paling tidak, meski saya akui salah,saya bisa sedikit menghemat ongkos buat nebus STNK. Sampai rumah hampir maghrib. Karena sangat capai, saya langsung mandi dan rehat.Saya capai lahir dan batin,hehehe....

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!