Daftar Isi

Tuesday, May 6, 2014

Cerai



Dia bukan siapa-siapa. Profesinya hanya seorang ibu rumah tangga biasa.Suaminya,seorang sopir taksi,mengenal perempuan asal Sukabumi, Jawa Barat,itu kala ia bermain ke rumah temannya.Setelah menikah,mereka dikaruniai seorang balita dan seperti terlihat bahagia. Saya sering melihatnya jalan-jalan,karena mereka ngontrak tak jauh dari rumah saya di Sawangan,Depok,Jawa Barat.

Namun lama tak jumpa, satu ketika saya sangat terperanjat. Ia bercerita,istrinya kembali ke kampung dan minta cerai. Tak ada alasan mendasar yang membuat keputusan besar itu dijatuhkan. Teman saya itu hanya menduga,istrinya kembali bertemu dengan pacar lamanya. Dengan berat hati,perpisahan itu akhirnya terjadi. Si balita yang sedang butuh kasih sayang sang bunda,tanpa ampun ditinggal, demi mengejar kenangan lama.

Saya memang selalu tak habis pikir,tiap kali melihat pasangan yang tergambar sempurna,ternyata harus kandas bahtera rumah tangganya. Ada getar yang tak bisa diterjemahkan maknanya. Meski mungkin tak sedahsyat  gambaran syair grup Kasidah Nasida Ria, yang menyebut arsy akan berguncang lantaran perceraian. Namun apapun,selalu ada letupan,dan itu tak pernah bisa saya fahami.

Perceraian,secara teologis,adalah perbuatan halal yang  tidak disukai Allah.Frasa “tidak disukai” kadang kerap diganti dengan “dibenci”. Ada residu kultural dan sosial yang mengiringi pilihan perceraian. Utamanya pada anak balita,jika itu terjadi pada keluarga muda. Meski mungkin,lantaran halal,hal itu tak pernah jadi faktor pemberat.

Pemerintah sendiri bukan tak iba dengan kenyataan ini. Saat undang-undang perkawinan 1974 disahkan,pemerintah meyakinkan publik jika upaya menekan angka perceraian sudah berjalan. Sebab dari buku saku statistik Indonesia sebelum 1974, angka perceraian khususnya di Pulau Jawa sangat tinggi. Kala itu cerai bukan sesuatu yang dianggap buruk.

Banyak hal jadi penyebab.Usia perkawinan perempuan Indonesia yang sangat rendah. Selain itu,banyak perkawinan yang diatur orang tua,karena mereka takut anaknya jadi perawan lapuk. Ibaratnya,usai menikah terus bercerai pun tak apa. Sebutan janda kembang dirasa lebih terhormat,daripada kehilangan muka.
Beberapa daerah bahkan ada campur tangan pihak luar,berdasar kepercayaan yang dipegang. Misal, nasihat “orang pintar” untuk menceraikan pasangan,karena berdasar penerawangan,hidupnya tak bakal bahagia. Terakhir,tentu saja faktor prosedur cerai yang termasuk mudah.

Undang-undang perkawinan,klaim pemerintah,berhasil menurunkan angka perceraian. Seiring semakin terbukanya informasi,klaim itu memang pantas dipertanyakan. Kita menyaksikan,saban hari ada saja berita selebritis yang mengajukan gugatan cerai. Ironisnya, kadang bermula dari persoalan yang sepele. Ini belum kejadian-kejadian yang tak terekam,lantaran jauh dari akses media.

Memang belum ada penelitian mendalam,apa dampak dari perilaku kawin cerai kaum seleb terhadap pemirsanya. Saya tidak bermaksud mengambil kesimpulan,jika istri teman saya mendapat inspirasi untuk pulang kembali ke Sukabumi,dan dengan entengnya melayangkan gugatan cerai karena sering menonton infotainment. Tapi gejala semacam ini menjadi semakin mengkhawatirkan,ditengah upaya penegakan nilai-nilai keluarga yang mengedepankan harmonisasi.

Orang-orang tua kita,saat serapan nilai moral tak banyak dipengaruhi oleh tayangan televisi,nyatanya lebih bisa menjaga buhul perkawinan. Ada yang hilang di generasi sesudahnya, dan itu terkait dengan pola pikir yang serba pragmatis. “Kalau sudah nggak nyaman,buat apa dipertahankan,”kata mereka. Sumpah dalam pernikahan, kini menjadi sumpah tak bermakna. Tak aneh,bangunan keluarga yang nampak indah seperti Marshanda pun,akhirnya runtuh di awal lima tahun pertama.

Perceraian kini tak dimonopoli karena alasan ekonomi atau rendahnya pendidikan. Hal ini seperti yang terjadi di Australia, setelah keluarnya Family Law Act 1976. Kala itu,poses perceraian dibikin mudah. Sebelumnya, bercerai harus didasari kesalahan-kesalahan fatal seperti berzina, kebiasaan mabok,KDRT atau tidak mampu memberi nafkah.  Usai keluarnya peraturan itu, cukup bilang “saya sudah tak tahan”, permohonan cerai bisa dikabulkan.

Dulu ada nasihat,”Ojo pilih-pilih tebu yen ora kepingin entuk sepahe,”.Urusan jodoh,jangan terlalu memilih. Etnis tertentu menekankan pentingnya bibit,bebet dan bobot. Namun tak ada yang menggarisbawahi,betapa pentingnya mental menerima perbedaan,hingga alasan tak lagi menemukan kecocokan terasa naif,lantaran pernikahan sesungguhnya menyatukan dua perbedaan.

Pada akhirnya jika pernikahan dianggap sebagai suratan hidup yang harus diterima,Buya Hamka menyarankan sikap ridho untuk mencapai bahagia. Hamka merujuk pada pernyataan Anas bin Malik,yang pernah jadi pembantu Rosul Muhammad selama 10 tahun. Tulis Hamka dalam bukunya Tasauf Modern.

“Selama menjadi khadam (asisten),Anas tak pernah mendengar rosululoh bilang,mengapa engkau kerjakan itu?Mengapa tidak engkau kerjakan?Tidak pernah berkata pada barang yang tidak ada. Alangkah baiknya kalau barang itu ada. Inilah sikap ridho,yang menjadi kunci kebahagian hidup rosul,”ujar Buya.

Kita,kalau sudah emosi, kadang berkata sebaliknya.”Menyesal saya menikahi kamu,”.Padahal usai resepsi meriah,saat seluruh moncong kamera mengarah,para seleb itu dengan bangga mengatakan,hadirnya sang pasangan adalah berkah, setelah berkali-kali gagal mewujudkan niat menikah.Pernikahan,atau pasangan hidup,bagaimanapun bukanlah “baju”,yang kalau sudah tak suka tinggal buang dan berusaha ganti yang baru.Bukan!

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!