Daftar Isi

Thursday, April 24, 2014

Glory Hunter



Usai dikalahkan kesebelasan Granada dengan skor 1-0 di ajang La Liga, para punggawa Barcelona mendapat banyak cemoohan,saat mereka kembali ke markasnya di Camp Nou, Barcelona,Spanyol,pekan lalu. Kekalahan ini melengkapi penderitaan Barca, setelah sebelumnya mereka tersingkir dari arena Liga Champion,setelah kalah agregat dari Atletico Madrid. Perjuangan untuk mempertahankan status juara La Liga pun semakin berat.

Ejekan itu bahkan cenderung rasis, saat mereka menirukan suara monyet untuk bintang Barca asal Brasil,Neymar Junior. Sang mega bintang, Lionel Messi, tak luput dari hardikan. Neymar dan Messi dituduh hanya fokus di Piala Dunia, dan tidak berjuang mati-matian untuk kejayaan klub. Banyak yang menuduh,sikap fans Barca lebih dikarenakan mereka sebagai Glory Hunter,dan bukan The Real Fans.

Situasi berbeda terjadi di klub besar asal Inggris, Manchester United (MU). Kendati di ajang Liga Primer mereka hancur lebur,dus gelar juara liga primer musim lalu bakal melayang,sikap fans MU tak seekstrim penggemar Barca. Sama seperti Barca,  MU juga tersingkir di Liga Champion, setelah kalah dari Bayern Munchen. Tapi, the real fans MU tetap bisa tenang dan mendukung penuh sikap tim.

Sindrom Glory Hunter alias pemburu kejayaan,seiring perjalanan waktu memang memiliki pergeseran makna.Ulah fans kesebelasan yang tidak simpatik,ditengah semangat sportifitas yang dijunjung tinggi di dunia olahraga, membuat spirit perjuangan untuk meraih kejayaan tak lagi dipandang berarti.Mereka lebih melihat hasil dan hasil. Tak peduli itu dilakukan dengan cara tak elegan. Alhasil, sepak bola tidak lagi dipandang sebagai sebuah game, yang kadang menang,bisa pula kalah.

Lantaran kejayaan dan kemegahan menjadi tujuan utama,yang masih di atas ingin terus bertahta. Mereka yang dibawah,berusaha sekuat daya merangkak naik. Ini pula yang terjadi di tanah air, di minggu-minggu yang penuh hiruk pikuk politik, saat Sindrom Glory Hunter merasuki banyak politisi karbitan. Jika revolusi,kata Bung Karno, kerap memakan anak kandungnya sendiri,maka demokrasi,tak bisa dipungkiri, sering merusak  tatanan sosial ekonomi masyarakat. Sindrom Glory Hunter membuat praktik money politic merebak. Kekalahan menjadi aib yang tak pantas disandang. 

Banyak  yang bilang, ini adalah buah dari ketergesa-gesaan sistem. Orde Baru tumbang begitu cepat,dan semua belum siap berdemokrasi secara sehat. Di sisi lain, ada anggapan jika menjadi politisi adalah profesi terhormat menuju jalan pintas kekayaan dan kepopuleran. Kombinasi ini membuat mereka yang terjun di dunia politik masih sebatas pemburu kejayaan. Bukan real politisi.

Belajar dari kesuksesaan Presiden Obama, politik sejatinya adalah titian jalan panjang. Bertahun-tahun Obama menggeluti dan terjun sebagai aktivis sosial. Ia dikenal lantaran kerja sosialnya.Bukan kekuatan finansial atau menjual janji-janji setelah namanya berkibar didunia hiburan.Politik adalah dunia pengabdian. Mereka dipilih karena integritas dan misi visinya. Bukan karena gencarnya serangan fajar,atau wajahnya sering muncul tiap hari di sinetron stripping.

Sindrom Glory Hunter juga membuat jabatan sebatas batu loncatan. Saya pernah berdebat keras soal ini, ketika seorang bintang sinetron terkenal yang juga anggota DPR RI dari PDI P, menyatakan maju sebagai calon gubernur Jawa Barat. Jika si artis tersebut gagal, rekan separtainya sukses meninggalkan posisi wakil bupati Tangerang,untuk meraih jabatan sebagai wakil gubernur Banten. Padahal, saat jadi wakil bupati Tangerang, tak ada prestasi yang ditorehkan dan bisa jadi kebanggaan.

Ketika gubernur DKI Jakarta dengan cepat memilih untuk sibuk mengurus pencapresannya, dibanding urusan-urusan gubernuran,tanda-tanda terkena sindrom Glory Hunter seperti menemukan buktinya. Terlalu naïf jika atas nama partai lantas amanat masyarakat Jakarta diabaikan begitu saja. Glory Hunter masih jadi momok politisi kita, hingga dana milyaran tak jadi soal,untuk memburu jabatan publik. Entah di lingkup eksekutif atau legislatif.

Kondisi ini diperparah oleh pengurus partai yang pragmatis, membuat semua seolah-olah berjalan secara demokratis. Sebetulnya sudah lama kritik pedas ini dilontarkan para pengamat. Tapi atas nama hak asasi, tak bosan-bosan para pengurus partai menyediakan karpet merah untuk para caleg dari kalangan artis misalnya,sekedar untuk mendulang suara. Tak aneh, Senayan kerap menjadi pelabuhan para politisi kembang kertas –mereka enak diliat tapi tak punya “akar” ke bawah.

Menjadi tantangan para penyelenggara negara dan pengurus partai ke depan,bagaimana merubah imej politik sebagai arena pengabdian. Fakta jika yang melenggang ke Senayan kebanyakan pengusaha, menjadi tolok ukur kalau dunia politik banyak diwarnai  semangat transaksional. Faham ini akan menghasilkan orang, yang jika menang ingin tetap untung, namun jika kalah akan cepat mutung.

Penghitungan suara nanti akan menjadi pembuktian, apakah mental-mental Glory Hunter masih bersemayam dalam diri para politisi kita atau tidak. Apakah artis-artis yang tersingkir akan kembali ke dunia hiburan, atau akan terus jadi pengurus partai,dengan konsekwensi hidup sederhana. Apakah akan tetap normal,atau jadi linglung. Sementara cukuplah fakta-fakta berita ada sumbangan ditarik lagi, caleg gagal masuk perawatan rumah sakit karena depresi,dan uang sogokan diminta kembali, menjadi bukti jika sindrom ini telah menjangkiti banyak politisi di daerah#



No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!