Daftar Isi

Thursday, April 24, 2014

Rhoma dan Pencapresan


Pagi, saat rencana pengunduran diri Rhoma Irama dari kursi calon presiden beredar,saya baru yakin inilah jalan paling baik bagi si raja dangdut. Di awal-awal ia maju sebagai capres, masih ada penghormatan itulah hak Rhoma sebagai warga negara. Meski sebagai penggemar Rhoma, saya tentu berharap ia masih mau berdiri di atas semua golongan dan parpol. Ini artinya, Rhoma jangan berafiliasi dengan parpol tertentu. Jangan mau terkooptasi oleh kekuatan tertentu. Rhoma adalah Rhoma,yang menyuarakan sikap politiknya berdasar kejujuran atas realitas yang ada.

Tanda-tanda jika angin baik tak lagi berhembus ke pihak Rhoma memang sedikit terasa,ketika hasil pileg diumumkan oleh lembaga-lembaga hitung cepat. Nama Rhoma seperti tenggelam dalam euporia para politisi, yang kasak kusuk saling incar kursi. Jangankan disebut sebagai calon presiden,seperti niat awalnya yang terbilang menggebu-gebu. Untuk kursi calon wakil presiden saja,nama Rhoma hilang. Mungkin pengurus parpol yang mengusung Rhoma bersikap realistis. Atau, jika pun ada peluang mengincar kursi cawapres,ketua umum parpol tempat Rhoma bergabung pun sepertinya berminat.

Rhoma tentu bukan harga mati.Seperti kata ahli politik Prusia-Jerman, Otto Von Bismarck (1815-1898), politik adalah seni memainkan segala kemungkinan. Semua masih ingat,bagaimana mantan walikota Solo selalu berujar tidak berambisi mengincar kursi DKI 1.”Wajah jelek begini kok ngincar kursi gubernur Jakarta. Ya,nggak mungkin,”katanya. Belakangan, saat kursi DKI 1 sudah ditangan, ketika ia ditanya soal pencapresan,selalu berujar,”Ndak mikir,ndak mikir...”. Tapi kemudian,publik akhirnya tahu.

Sudah diingatkan artis hanya dipakai parpol sebagai vote getter (pengumpul suara). Politik bukanlah dunia mereka,karena disini harus punya hati tega. Sementara seniman bermain dengan ‘rasa’.Partai tahu dan bisa memanfaatkan. Buktinya,banyak partai yang membiayai pencalegan artis hingga milyaran untuk maju jadi caleg.Jika jadi syukur,tidak juga tak apa-apa yang penting suara melonjak. Hitung-hitungannya, daripada membeli suara dari konstituen langsung dan itu bisa dianggap pelanggaran pemilu,lebih baik membiayai artis terkenal untuk “membeli” suara masyarakat.

Ini tentu saja bukan kabar angin. Meski untuk mengejar pengakuan para artis terasa musykil. Yang jelas, dari transaksi parpol dan artis,muncul pula makelar yang mencari calon-calon artis untuk dimasukan jadi caleg. Imbalannya,begitu dana operasional turun,sang makelar mendapat sekian persen sebagai komisi. Para makelar ini menyebar dalam berbagai profesi, utamanya mereka yang punya akses ke artis yang bersangkutan.Lengkap sudah praktik money politik dalam beragam modus.

Pola ini membuat fighting spirit para artis tenar tak begitu kuat.Mereka merasa nothing to loose. Jadi syukur. Tidak juga tak apa-apa.Toh semua sudah difasilitasi. Boro-boro menyiapkan diri secara intelektual untuk tugas-tugas anggota legislatif. Jika pun dewi fortuna berpihak ke mereka, keberadaannya di parlemen sekedar untuk pelengkap kuorum rapat. Hanya satu-dua yang mau dan bisa berbicara dengan konten berbobot. Lainnya memilih diam,sembari asyik menerima gaji bulanan tanpa kontribusi berarti.

Seniman harus jujur dalam berkarya.Maka saat masuk politik ia dipaksa berbohong,karena bohong adalah “Tuhan”nya para politisi. Sejak awal digaet parpol,Rhoma mestinya sadar ia bakal di manfaatkan.Bagaimanapun, pengalaman berpolitiknya cukup panjang dan mumpuni.Pernah di PPP,gabung ke Golkar,tapi semua membuatnya kecewa. Meski untuk itu Rhoma tidak “teriak” dan lebih memilih mundur dari dunia politik dan kembali berkesenian.

Sebagai calon presiden, modal Rhoma juga minim. Baik modal kapital maupun ideologi.Modal popularitas saja tak cukup mumpuni untuk mendongkrak elektabilitas. Justru popularitas Rhoma dimanfaatkan caleg parpol,untuk menaikan nama mereka dengan cara ikut dipasang gambarnya di spanduk-spanduk. Secara masif,nama Rhoma dijadikan ikon,untuk mengingatkan calon pemilih.Istilahnya,kalau mau mencoblos si Fulan,ya yang spanduknya ada gambar Rhomanya.Luar biasa.

Agak naif kalau parpol tertentu yang suaranya melonjak 100 persen di pileg kemarin karena kerja keras para kadernya.Parpol ini terkenal sebagai parpol lokal yang menasional. Artinya, menonjol hanya di wilayah-wilayah tertentu,yang banyak bermukim orang-orang penganut Nahdlatul Ulama. Kehadiran Rhoma, menimbulkan ‘efek Rhoma’ yang luar biasa. Jika ada hitung-hitungan ekonomi,berapa harga Rhoma untuk mendongkrak suara parpol yang bersangkutan?

Kalaua khirnya Rhoma berniat mundur,ini bukan kekalahan Rhoma. Ini kemenangan kebenaran. Dunia seni masih membutuhkan kiprah Rhoma. Lantaran seperti dunia dakwah, seni bersifat universal. Bahasa seni harus bisa diterima semua kalangan. Seniman yang terpenjara oleh warna baju,akan membuat geraknya menjadi terbatasi. Kursi presiden pun akan membuat kemungkinan serangan-serangan sistematis berdatangan,lantaran ideologi dan pilihan hidup yang dipilih Rhoma selama ini tak begitu populer di mata masyarakat.Misal pandangannya soal poligami.

Jika Rhoma kecewa,saya bisa mafhum. Boleh saja ia bilang,”Terlalu...”,untuk menggambarkan realitas politik yang ada. Tapi apapun,saya ingin mengutip statemen menarik dari film Kungfu Panda 2.”Ceritamu awalnya mungkin tidak menyenangkan.Tapi itu tidak berarti sudah menunjukan siapa kamu. Akhir cerita yang menentukan. Dan sekarang kamu yang menentukan akan jadi apa,”. Seperti kata Livius,sejarawan Romawi kuno,apa yang terjadi nanti malam belumlah pasti. Hari ini Rhoma sempat berencana mundur,meski kemudian ditangguhkan, dan siapa tahu nanti maju lagi. Tapi saya berharap ia tetap jadi seniman.Bukan politisi.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!