Ada perasaan
kesal secara berulang,jika saya membeli jam tangan seharga Rp 50 ribu.
Murah,tapi tak pernah awet. Baru 5 bulan sudah rusak. Ujung-ujungnya, jam
tangan hanya jadi sampah. Saya malas memperbaikinya,karena biaya perbaikan
hampir mendekati harga beli. Sesekali saya berkhayal juga ingin membeli jam
tangan bagus. Tentu saja yang harganya agak mahalan. Tapi saldo di rekening
sering “menjerit”,jika saya paksakan untuk diambil.
Belakangan otak
dagang saya mulai bekerja.Katakanlah jam tangan Rp 50 ribu itu bisa bertahan
selama 5 bulan. Jika direrata,setiap bulan saya mnghabiskan uang Rp 10 ribu.
Lumayan menghemat. Kadang kalau hati-hati jangan sampai kena air hujan,umur jam
tangan saya lumayan panjang. Tapi gangguan tak semata air hujan. Jam jatuh,atau
kena benturan,tahu-tahu mati. Ya,namanya jam imitasi,begitulah adatnya, meski
merknya Swiss Army.
Saya mungkin
tipe orang yang melihat jam tangan secara konservatif. Jam saya hargai
lebih ke fungsionalnya. Dalam teori kebutuhan Maslow,saya tak tahu ini masuk
kategori mana. Tapi yang jelas bukan asesoris dan tak pernah berfikir jadi
barang hiasan. Saya terpaksa pakai jam tangan, karena tidak seperti orang-orang
dikampung, saya tak punya ketrampilan visual melihat matahari untuk menentukan
sudah jam berapa. Ketrampilan visual ini yang membuat jam semahal apapun
dikampung saya di Tegal, Jawa Tengah, tak ada harganya.
Bertahun-tahun
hidup di daerah terpencil dan saya amati,mayoritas warga tak pernah memakai jam
tangan. Padahal mereka harus mencangkul pagi-pagi. Shalat dzuhur di dangau tepi
sawah. Kemudian pulang ketika bayangan tubuh mulai agak memanjang. Semua
dilakukan dengan felling.Tapi anehnya, saban kali diundang untuk walimahan atau
yasinan,mereka tak pernah telat. Jika kita butuh acara mulai pukul 20.00
WIB,mereka akan datang 15 menit sebelumnya. Luar biasa.
Jam tangan
pertama yang saya miliki adalah ketika saya habis sunatan. Ada uang lebih dan
saya diajak ke kota kabupaten membeli jam. Berikutnya saat ada saudara yang
naik haji. Selain teko warna keemasan, saya juga diberi oleh-oleh jam
tangan,yang belakangan saya tahu itu bisa dibeli di toko di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Masa itu jam
tangan bukan lagi benda berharga. Banyak jam tiruan yang bisa dibeli bebas di
berbagai kali lima. Pemakaian jam tak lagi identik dengan kaum priyayi,yang
memakai jam rantai ketika mengenakan baju beskap. Pokoknya mau pilih jam KW apa
saja ada.
Mungkin karena
banyak produk jam tangan bajakan,kita jadi terbuai untuk selalu memakai jam
imitasi. Ini seolah sudah jadi “penyakit” nasional. Tak hanya jam, dari tas
sampai sekrup, semua dibajak. Coba sesekali tengok daerah Adiwerna di Kabupaten
Tegal. Di wilayah yang dijuluki “Jepangnya Indonesia” itu,kita bisa menemukan
dari jarum sampai onderdil traktor. Dari baling-baling mesin perahu sampai
pesawat jet. Semua dijamin tiruan,dan aman-aman saja.
Di dunia
kreatif lebih gawat lagi. Skenario sinetron sampai Compac Disc (CD) lagu dibuat
duplikasinya. Musisi sekaliber Bob Geldof sampai teriak-teriak,tapi hingga sekarang pembajakan tak kunjung berhenti. Di satu
sisi,aktifitas ini memang sedikit memancing kreatifitas. Tapi kalau itu
dibumbui inovasi tambahan. Celakanya, peniruan itu bersifat copy paste. Mungkin
karena sudah akut, berlangsung lama dan massif, peniruan dan pemakaian barang
bajakan seperti bukan dosa.
Jangan pula
dikait-kaitkan dengan pelanggaran hak cipta. Semua aparat hukum di Indonesia
melempem. Buktinya, tak pernah kita dengar produsen jam mahal seperti Rolex dan
lainnya,yang komplain saat produknya ditiru dan dijual ratusan ribu hingga Rp 5
juta. Semua berjalan biasa. Ibarat kebohongan yang terus menerus diulang,
akhirnya dianggap kebenaran. Jam asli atau palsu, semua sama saja.
Ironisnya,
karakter kita beda dengan Bangsa Jepang. Karakter negeri matahari terbit
itu,kata para sosiolog, pelit secara kultural. Permukaannya modern. Tapi
dalamnya masih tradisional,tertutup, dan curiga dengan benda-benda asing.
Sampai-sampai, mantan perdana menteri Jepang saat masih menjabat, Yasuhiro
Nakasone, berkampanye agar rakyat Jepang lebih banyak membeli barang buatan
luar negeri. Hal ini menanggapi kemarahan Amerika Serikat (AS),yang negerinya banyak diserbu barang Jepang. Sementara
barang AS tak laku di Jepang.
Dari zaman
Menteri Penerangan Harmoko kampanye mencintai produk dalam negeri didengungkan.
Di film, konon biar jadi tuan rumah di negeri sendiri. Tapi tetap tak berhasil.
Mungkin salah kita, untuk urusan jam tangan, belum ada produk asli dalam
negeri. Tapi inipun tak harus jadi pembenaran,jika pejabat yang mestinya jadi
teladan,malah terus terang mengaku memakai jam tangan tiruan. Tentu semua
berharap,pangkat pejabat tadi bukan pangkat KW,seperti pangkat Jenderal Naga
Bonar,misalnya.
Mahal atau
murah,KW atau orisinal,fungsi jam tangan pada akhirnya
sama. Pembedanya adalah mental pemakainya. Di kalangan selebritis, jam-jam
mahal dengan tatakan berlian kerap dipakai. Ada kebanggaan untuk menunjuk
dimana kelas sosialnya berada. Tapi semua menjadi sia-sia,ketika dasarnya dia
suka ngaret. Yang teringat kemudian cuma satu,ketika kita janjian dengan artis
tersebut.
“Oh, sama yang
suka telat ya kalau janjian,”ucap teman. Alhasil,ketika muncul dengan jam yang
melingkar di tangan seharga Rp 1 milyar pun, “harga” orang itu tak lebih mahal
dari jam KW yang banyak dijual orang di Pasar Rumput. Asesoris tetaplah
asesoris.Ia tak bisa mengalahkan karakter baik, kemuliaan jiwa dan akhlak
mulia, yang tak bisa dinilai dengan nominal seberapapun banyaknya. Sekarang
tinggal pilih,kita mau yang bagaimana...
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda!