Desain duka
cita itu laiknya iklan lelayu di media massa. Ada foto,ada nama yang meninggal
dunia. Cuma kali ini, foto dan namanya begitu ‘spesial’.Di situ tertulis Ir.
Herbertus Joko Widodo,dengan foto Jokowi yang biasa terpampang di halaman surat
kabar. Jokowi dikabarkan “meninggal dunia” pada 4 Mei 2014 lalu,dan dikremasi
dua hari kemudian. Tak lupa, nama Iriana Widodo,yang juga istri Jokowi
tercantum sebagai pihak yang mengirim “iklan” duka cita itu ke surat kabar.
Bagian-bagian
tertentu memang terkesan ingin main-main. Lihat saja bagaimana Jokowi
dikabarkan disemayamkan dulu di Lenteng Agung,Jakarta Selatan,kantor DPP PDI
Perjuangan, sebelum dikremasi. Begitu juga munculnya nama Megawati, sebagai
pihak yang ikut berduka cita. Jokowi sendiri mengaku,”iklan” ini menjadi
sesuatu yang tidak mengenakan, walau ia enggan meladeni.
Jokowi,tentu
saja masih hidup. Tapi “iklan” duka cita itu sudah terlanjur menyebar lewat
facebook dan twitter. “Iklan” ini sempat menjadi trending topic di dunia maya.
Berbagai analisis kemudian mencuat. Ada yang bilang,itu kerjaan tim sukses
capres Jokowi,untuk menuai simpati massa. Banyak pula yang ngomong, “iklan” itu
kerjaan dari lawan politik Jokowi,yang akan bertanding di pilpres mendatang.
Isu
meninggal dunia, berita kematian, dan kabar berpulangnya tokoh terkenal,memang
kerap kali mengejutkan. Tapi isu ini
menjadi menarik,bukan saja lantaran posisi Jokowi sebagai salah satu capres
terkuat. Pernyataan Rest in Peace (RIP) alias beristirahat dalam damai,jika
ditinjau dari sisi analisis konten, seperti memberi informasi keyakinan yang
dianut Jokowi. Inilah makna bersayap yang ingin dilempar si pembuat “iklan”
itu.
Sayang,Jokowi
memilih melupakan.”Cuma menghabiskan energi mengurusnya,”katanya. Meski secara
teknis,dengan kecanggihan alat yang dimiliki polri, misteri pengunggah dan
pembuat “iklan” ini bisa diungkap dengan mudah. Syaratnya, Jokowi mesti membawa
kasus ini ke ranah hukum.Minimal ada shock therapy,dan kampanye-kampanye miring
serupa tidak terus terulang saban perhelatan demokrasi lima tahunan datang.
Sebab,tak
semua orang bisa menebak arti peristiwa politik yang tersaji. Di zaman orde
baru,kampanye semacam ini sering dilakukan lewat sebuah operasi khusus.
Tujuannya apalagi, kalau bukan untuk menarik simpati massa. Misal ada massa
partai politik tertentu yang diserang oleh massa dengan seragam partai
lain.Padahal otak penyerangan adalah orang dari parpol yang diserang.
Jika boleh
jujur, jelang pilpres mendatang, semakin menunjukan karakter demokrasi kita
yang masih anak bawang. Pilihan kampanye negatif, saling serang untuk hal-hal
yang tak substansial, serta isu-isu lama yang getol diangkat lagi,memenuhi
ruang publik dan berulang-ulang dijejalkan ke otak kita. Ironisnya, media massa
ikut menari dari gendang yang mereka tabuh. Mereka terjebak dalam perang opini
yang kerap menyesatkan.
Meski
terbilang sukses,dua kali perhelatan pemilihan presiden langsung mengajarkan
banyak hal. Politik fitnah,dengan desain dan skenario yang sistematis dan
cermat,mengubur “perang” visi dan misi. Dua kandidat,Jokowi dan
Prabowo,sama-sama disenggol isu SARA. Inilah isu yang sensitif,dan amat mudah
menimbulkan sentimen massa,lantaran sikap melodramatik rakyat Indonesia yang masih
tinggi.
Kemajuan
teknologi sosial media juga menjadi “kuda troya” yang amat efektif untuk
menimbulkan absurdnya kekisruhan seperti ini. Kondisi ini bahkan merambah ke
bidang lain,yang jauh dari hiruk pikuk politik. Usai muncul “iklan” RIP Jokowi,
pesan blackberry serupa menyebar, yang menyebut pelawak Olga Syahputra
menghembuskan nafas terakhir di Singapura.
Berita
kematian tanpa fakta akhirnya menjadi sesuatu yang begitu mudah keluar. Dinding-dinding
kesadaran kita kerap kali tersiksa,tapi sejauh ini tak ada instrumen yang bisa
menghentikan isu-isu yang kerap dilempar di sosial media. Sesuatu yang jarang
terjadi di negara-negara dengan tingkat peradaban tinggi,saat kematian menjadi
momen yang sakral dan mendapat tempat yang mulia.
“Iklan” RIP
Jokowi mengisyaratkan,ada yang salah dengan cara-cara perebutan kekuasaan, yang
kerap menghalalkan segala cara.Kekuasaan tak lagi dipandang sebagai “alat”
untuk menggapai cita-cita tertinggi mensejahterakan rakyat. Hal ini juga
menjadi bukti,betapa kejamnya pasukan-pasukan klandestin yang bertugas
meng-create isu-isu tertentu,dengan motif-motif tertentu.
Tak perlu
ada yang ditakutkan dengan kematian.Tapi mempermainkan kematian,juga menjadi
bentuk kesombongan yang menunjukan kelemahan tak termaafkan. Jika orang bijak
bilang kematian menjadi salah satu rahasia Tuhan selain kelahiran dan
perjodohan,penghargaan terhadap hidup juga menjadi cara kita untuk percaya,
jika Tuhan tidak pernah menghendaki kita untuk “mematikan”orang lain,meski
dalam bentuk berita bohong*
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda!