Daftar Isi

Friday, January 10, 2014

Anas dan Penjara

Foto;kompas.com
Saban kali melihat orang dengan rompi orange,keluar tergopoh-gopoh dari gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dirubung para kuli tinta dan dibawa cepat menggunakan mobil berterali, tiap itu pula dendang ‘Hidup dibui’ milik D’lloyd segera terngiang. Imajinasi saya segera melesat cepat.Orang-orang itu,dengan tubuh gempal bergizi baik,beberapa bahkan berperut gendut, bagaimanakah bisa merasakan saat segalanya dibatasi?Tidur, bangun, makan, tidur lagi –kata D’lloyd badan hidup terasa mati.

Bui, atau hotel prodeo alias penjara, saya mafhum bukanlah tempat yang menyenangkan. D’lloyd, yang menggambarkan tahanan harus sarapan pakai nasi jagung,memang agak mendramatisir keadaan. Nasi jagung sekarang sudah susah didapat. Tapi pesan jelas dari D’lloyd, penjara, kalau bisa, janganlah disentuh. Meski untuk kasus-kasus tertentu, misal karena perjuangan ideologi, penjara bisa jadi sebuah kehormatan. Tapi dari sisi kemanusiaan yang paling dalam,   hidup di bui bukanlah sebuah pilihan menarik.

Penjara memang terkadang  memunculkan cerita-cerita inspiratif. Ada teladan mengagumkan. Banyak pelajaran dipetik,dan biasanya itu datang dari tokoh-tokoh besar, yang kerap ditulis dengan tinta emas para sejarawan. Almarhum Nelson Mandela, yang jasadnya baru saja dikebumikan dengan penghormatan penuh beberapa waktu lalu, jadi contoh bagaimana penjara berhasil mematangkan sisi mulia kesabaran dan sikap pemaafnya. Selama 27 tahun meringkuk, Mandela kerap dikencingi kepalanya oleh sipir penjara. Tapi ketika ia terpilih jadi presiden Afrika Selatan, Mandela memaafkan sang sipir.

Buya Hamka, justru melihat ketika raganya dipenjara, hikmah itu datang dan menjadi fase yang sama berharganya dengan saat hidupnya masih bebas. Hamka awalnya merasa amat berat. Tanpa pengadilan, tiada jelas tuduhan, ia diseret dan mendekam selama dua tahun dengan perlakuan tak manusiawi. Tapi dari penjara Hamka menyelesaikan buku Tafsir Al Azhar yang monumental. Saat Bung Karno (BK) meninggal dunia, ia singkirkan rasa sakit hatinya karena pernah ditahan BK tanpa alasan jelas, dan Buya memenuhi wasiat BK untuk menjadi imam menyolati jenasahnya.

Sejatinya, jika bertekad mau memaknai fase hidup penjara,gambaran yang didendangkan D’lloyd tidaklah sepenuhnya benar. Berapa banyak orang yang pernah dipenjara kini menjadi lebih baik setelah mampu melewati ujian itu. Tak terhitung tokoh-tokoh besar yang lahir dan matang lantaran raganya kenyang hidup dari satu penjara ke penjara  yang lain. Mungkin dititik ini, calon narapidana, atau si narapidana perlu berterima kasih pada Tuhan. Bukan pada SBY atau Abraham Samad,misalnya.  Sebab ada blessing in disguise –hikmah terselubung. Banyak “mata kuliah” yang bisa didapat saat di dalam penjara.

Inilah hal pertama yang terbetik, kala melihat Anas Urbaningrum akhirnya harus memakai rompi orange.Bukan lantaran saya sempat mengenalnya secara pribadi. Bukan. Tapi melihat gerak dan riak yang dilakukannya, juga polah beberapa loyalisnya, seolah mengerucutkan simpul jika sesungguhnya Anas tak pantas dipenjara. Terlebih lagi, problem yang mestinya berjalan di koridor hukum, sekuat tenaga ditarik ke wilayah politik, dengan berbagai manuver yang terlihat naif dan konyol.

Mungkin Anas tak sadar, banyak pendukungnya yang memanfaatkan momen ini untuk mencari panggung. Atau Anas sengaja membuat setting itu, sebagai kampanye pembalikan opini jika ia sesungguhnya hanyalah korban. Jika pun kita ingin nyinyir, bisa pula kita menuding, begitulah cara ormas Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) mendongkrak “merk dagang”. Setali tiga uang dengan adagium lama,jika anda ingin terkenal di sebuah pasar, maka tonjoklah preman penguasa pasar itu.

Gangguan batin juga muncul, terkait  bagaimana sesungguhnya pertanggungjawaban  moral  Anas, sebagai calon pemimpin yang sempat digadang-gadang sebagai the rising star. Publik mafhum, ia berteman baik dengan Nazaruddin. Bahkan atas rekomendasinya, Nazar naik jadi bendahara Partai Demokrat (PD), kala Anas terpilih sebagai ketua umum. Ketika Nazar akhirnya terbukti sebagai epicentrum gempa yang memporakporandakan PD, Anas bergeming menjabat, hingga ia turun karena status tersangka. Tak secuilpun ada permintaan maaf, apalagi mundur sejak dini tepat ketika Nazar digeladang KPK, sebagai pembuktian kebesaran jiwanya.

Anas, mungkin politisi tulen, yang dalam kondisi terpojok bagaimanapun, tetap  ingin terlihat bersih dan layak jadi pemberitaan media.  Dalam batas-batas tertentu, sikapnya ini kadang memunculkan sentimen negatif. Kita masih ingat, bagaimana Gede Pasek Suardika menjanjikan Anas akan membuka isu yang menghebohkan, jelang keberangkatannya ke gedung KPK, Jum’at (10/1) lalu. Tapi ditunggu hingga bokong panas, tak ada secuilpun informasi baru yang layak jadi bahan perdebatan. Sikap ini, seolah mengulang kejadian sebelumnya,dengan iming-iming akan ada “bab” berikutnya dari “buku” Anas. Bab yang ternyata kosong tak bermakna.

Saya tak ingin menafikan bagaimana “seksinya” Anas sebagai sebuah pemberitaan. Tapi kekonyolan demi kekonyolan yang dilakukan dia dan para loyalisnya, membuat sosok Anas terdegradasi dalam aras yang paling gombal. Semua yang dibikin, seolah merujuk hanya demi sensasi. Termasuk pernyataan keluarganya, jika Anas bakal terus dipasok makanan, agar tak diracun karena mengonsumsi makanan jatah dari KPK. Sebuah sikap lebay yang bahkan tak pernah dilakukan oleh keluarga Buya Hamka dan Nelson Mandela.

Tentu saya sedih, pertemuan terakhir di lobi  hotel mewah di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, lima tahun lalu, kini harus melihatnya terhuyung-huyung di lobi gedung KPK dan dilempar telur busuk. Tapi satu pelajaran penting rasanya bisa diambil, seperti kata pepatah Arab,jika engkau bergaul dengan penjual minyak wangi, maka engkau akan ikut wangi.Begitu sebaliknya. Anas dan Nazar adalah satu paket. Jika pun ingin bangkit, berhentilah menyalahkan pihak lain,dan belajarlah pada kerendahatian Hamka dan Mandela selama di penjara.Tabik

4 comments:

  1. Salut sama kebesaran hati Buya Hamka. Kita memang tidak tahu apa yang akan terjadi di depan, dan seorang Buya Hamka yang pernah ditahan oleh Bung Karno tanpa alasan jelas tapi ternyata Buya Hamka pula yang menjadi imam sholat jenazahnya Bung Karno. Itu baru namanya sosok yang pantas diteladani.

    ReplyDelete
  2. imam Ahmad bin Hambal Rahimahulloh jg dipenjara krn mempertahankan aqidah ahlussunnah bhw ALQUR'AN adl kalamulloh bkn makhluk..........

    ReplyDelete

Terima kasih atas kunjungan anda!