Tahun 2014, kata pengamat politik, adalah tahun Vivere
Pericoloso alias tahun berbahaya. Tentu bukan seperti di zaman Orde Lama, saat
Bung Karno mengungkap istilah itu, karena kondisi politik yang carut marut.
Pemilihan anggota legislatif dan presiden Republik Indonesia, di tahun ini,
barangkali berpotensi menjadi bahaya, walau ada yang menandaskan semua akan
aman-aman saja. Mungkin ini alasan yang membuat tahun ini menjadi tahun yang
mesti dicermati.
Resolusi, atau target hidup, lantas menjadi mafhum. Sasaran
yang sering ditanya soal ini adalah kaum selebritas yang kerap wara wiri di
layar kaca. Biar lebih seru, tak jarang pula kelompok paranormal ditanya ini -
itu. Siapa bakal mati, menikah atau bercerai. Siapa sukses, tenggelam atau
sedang-sedang saja karirnya. Ada yang percaya, beberapa mengaku tak ambil
pusing. Terlebih seleb yang memasang target jauh-jauh hari untuk bercerai,
semisal Ayu Ting ting.
Topik perceraian dan perkawinan memang seperti jadi makanan
tahunan para cenayang, saban pergantian tahun. Sejatinya ini bukan hal mengejutkan. Tapi
bulan-bulan belakangan, trend perceraian dan perkawinan menjadi semakin ekstrim
dan mengundang banyak teka-teki. Bukan soal gaya hidup ini hasil impor dari
budaya Hollywood, hingga menjadi janggal ketika ditiru. Bukan itu. Aspek
menarik yang butuh kajian terutama soal begitu cepat lunturnya akar keluhuran
budi Bangsa Indonesia dalam memandang kesakralan lembaga perkawinan.
Baru mengandung beberapa bulan anak pertama, sudah bertekad
cerai. Nikah sebulan belum ada, langsung minta pembatalan kawin. Saat resepsi
pernikahan memuja muji sang suami yang puluhan tahun lebih tua, setelah benci
berbalik bertekad untuk pisah. Menikah dan bercerai seperti mencoba gaun saja. Jika
sudah bosan, langsung dicampakkan. Kalau
perlu dibarengi saling buka aib. Dalam kasus-kasus tertentu, bahkan saling
jegal dalam karir, seolah-olah mereka melupakan jika pernah tidur satu ranjang.
Tentu ada kawin cerai seleb yang bisa dimengerti dari alasan
syar’i. Tapi banyak yang memandang jika pernikahan itu sebuah “kecelakaan”.
Rasa cinta yang semula diagung-agungkan, hilang tak berbekas dalam sekejap.
Padahal saat mereka fitting baju pengantin misalnya, betapa mereka seperti
menjadi penganut setia “ajaran” Gibran Khalil Gibran.” Kalau cinta memanggilmu, ikutilah ia walaupun jalannya terjal
berliku-liku. Jika sayapnya merangkummu, pasrah serta menyerahlah meski pedang
di sela sayap itu melukaimu. Jika ia bicara padamu, percayalah, walau ucapannya
membuyarkan impianmu”.
Coba kita runut pelan-pelan. Berapa banyak pesohor kita yang
nekad menikah demi cinta, walau tak mendapat restu orang tua, akhirnya bercerai
juga. Mari kita urai memori publik, siapa yang menikah dengan perjuangan berat
sampai di pengadilan atas nama cinta, ujung-ujungnya kandas juga. Ada pula yang sampai ganti keyakinan, demi
cinta, walau akhirnya pisah pula.
Mungkin benar kata para ahli kimia, cinta, sejatinya hanyalah reaksi biokimia
belaka. Rasa senang muncul karena otak
dibanjiri hormon dopamin.
Saya tidak hendak menafikan jika cinta itu tak penting dalam
sebuah hubungan rumah tangga. Tapi benar
adanya, sikap menerima perbedaan lebih awal adalah pondasi kuat untuk menjalin
hubungan. Ibaratnya,kata orang pintar, pacaran dan menikah itu seperti
permainan gradasi warna. Awal-awal terlihat putih semua. Setelah sah dan satu
rumah, mulai terlihat warna abu-abu, merah bahkan hitam. Rasanya pun semakin
‘nano-nano’ –ramai dan beragam. Tidak
manis melulu. Tapi semua itu, seperti
keyakinan failasof Bertrand Russel,tidak mengurangi citra rumah tangga sebagai
pusat kesenangan.
Buya Hamka pernah mencoba menguliti penyebab rumah tangga yang
mengalami “kecelakaan”.Selain dari kondisi ekonomi, faktor pergaulan sehari
hari dan attitude diri juga memegang peran penting. Perempuan yang sibuk
berkarir, membuat rumah seperti hotel saja. Sekedar tempat singgah dan tidur.
Begitu pula demokratisasi dan emansipasi, memicu konflik karena istri tak lagi
taat pada suami, atau anak pada ayah. Sebaliknya, ayah tidak tahu kewajiban. Tak
punya azzam untuk memegang teguh janji suci. Ini memang klise. Tapi sungguh
betapa susahnya implementasi ujaran Buya
Hamka ini.
Azzam atau niat yang kuat menjaga nilai akad nikah, terbukti
efektif meski kesulitan ekonomi kerap
menghadang. Saya punya teman yang memilih hidup di kampung setelah menikah,
setelah bertahun-tahun mencicipi manisnya kehidupan Kota Jakarta. Suami istri
sama-sama berjibaku mencari barang rongsokan
sebagai mata pencaharian,membuahkan enam anak,boro-boro terbersit ingin
bercerai.
Tentu tak cukup kata prihatin, saat perceraian menjadi
pilihan utama, begitu merasa tak
cocok. Ini bukan lantaran cerai adalah
perbuatan halal yang diridoi Tuhan. Dari sisi nalar sehat, siapa yang bisa
mencari pasangan yang cocok, ketika Tuhan sudah memastikan tiap orang punya
kelebihan dan kekurangan masing-masing? Ini diluar persoalan “teknis”, hingga
perceraian harus terjadi.Misal karena tercederainya buhul perkawinan lantaran
perselingkuhan.
Pada akhirnya, sikap sederhana dalam mencintai atau membenci
sesuatu, semakin meneguhkan ketidakpantasan rasa cinta sebagai alasan untuk
menikah atau bercerai. Kata Allah,“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia
amat baik bagimu dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat
buruk bagimu” - (Surat Al Baqarah 216). Jika mengingat ini,kita sesungguhnya
sedang dituntun ke dalam lorong yang bertabur akal sehat, hingga tak
terjerembab dalam “cinta buta”, yang berakibat terjadi putusan fatal di tahun
2014, dan tahun-tahun berikutnya*
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda!