Daftar Isi

Wednesday, January 1, 2014

Polisi Moral

Senja di padang Kurusetra,bau anyir darah menguar ke mana-mana. Hari ke-18 pertempuran Baratayuda masih berlangsung. Inilah puncak  penyelesaian dari sebuah dendam yang membuncah bertahun-tahun. Sebuah penentuan sejarah; gengsi siapa yang lebih tinggi. Pandawa atau Korawa. Begawan Sengkuni, pemimpin para Korawa akan berhadapan dengan Sadewa,  salah seorang Pandawa nan sakti mandraguna. Lewat pertempuran sengit, dengan berbagai trik dan adu kesaktian tingkat tinggi, Sengkuni akhirnya mati dipenggal kepalanya oleh Sadewa.

Kematian Sengkuni, menjadi akhir kisah petualangan sang angkara murka. Ini seolah jadi pertanda, kebenaran akan selalu menang melawan kebatilan. Maklumlah. Dalam dunia pewayangan, Sengkuni digambarkan sebagai sosok yang suka menjelekan pihak lain, demi keberhasilan tujuan pribadinya. Bertahun-tahun ia mengobarkan kebencian dan memelihara kesumat dikalangan Korawa, agar melindas habis Bala Pandawa. Sengkuni adalah penasihat utama Duryudana, pemimpin para Korawa. Ia setali tiga uang dengan Begawan Durno, yang juga suka mengadu domba dan memutarbalikan fakta.

Dalam diri Sengkuni, atau Durno, memang seperti sebuah ironi. Mereka sudah mencapai maqam Begawan. Sebuah “gelar” yang menumpuk di pundaknya segenap sifat-sifat agung. Mungkin seperti sekarang kita sebut budayawan, golongan pemikir, polisi moral, penganjur kebajikan, ustaz, penasihat presiden, dan lain-lain. Tapi, sifat Sengkuni bertolak belakang. Jadi semacam antitesa dari perilaku luhur –sebuah paradoksal yang bisa jadi memberi pengajaran, jika gelar dan jabatan bukanlah bungkus ideal untuk menilai hati manusia.

Sengkuni adalah layar lebar kehidupan. Mungkin ada yang masih bertanya-tanya,”Ah,masa?”. Tapi begitulah yang terjadi. Siapa yang percaya ketika desas desus menimpa budayawan dan penyair terkenal Sitok Srengenge menghamili seorang dara menyebar diam-diam dikalangan penghayat seni? Ketika sang dara melaporkan Sitok ke polisi, kemudian istri dan anak Sitok membenarkan kelakukan suami dan ayahnya, rasa terperanjat itu seperti menemukan jawabnya. Laksana Sengkuni, yang berlindung dibalik kebegawanannya, gelar budayawan Sitok tak menjamin ia imun dari perilaku rendah.

Kita kerap mengidentifikasi pola laku berdasar deretan gelar dan profesi, sekaligus menjadi petanda status sosial. Tapi toh masih ada, seorang pengacara dengan pendidikan cukup, mau bertengkar dengan anak remaja, bahkan rela meladeni tantangan tinjunya. Tidak tanggung-tanggung, sang pengacara juga mengaku sebagai “polisi moral”, walau rekam jejak moralnya masih perlu dipertanyakan. Semua serba jungkir balik. Yang ada ditutup-tutupi, yang tidak ada diwacanakan, hembus-hembuskan,menjadi sebuah ghibah yang dalam tingkat tertentu sudah mengganggu dan menginjak akal sehat.

Kata Marcus Cicero (106-43 SM), senator Roma, sejarah sejatinya adalah guru kehidupan. Hanya banyak yang tak sadar, atau sengaja mengingkari sejarah, sampai ia sendiri menjadi korban dari sejarah yang getir. Di mana-mana, kebenaran akan mencari jalannya sendiri, meski ia datang belakangan. Seberapapun kuatnya kita berlindung pada kemegahan gelar dan profesi, tapi di saat yang sama perilaku kita tak menggambarkan kemegahan itu, nasib tragis seperti yang dialami Sengkuni akan menghampiri. Semua tinggal menunggu waktu.

Gelar “polisi moral” yang disandang Amerika Serikat, membuahkan tragedi World Trade Centre, karena sikap standar gandanya terhadap nasib Palestina. Dalam lingkup yang lebih kecil, “tetangga” kita, seorang da’i yang sempat dipuja-puji jutaan ibu, harus tersungkur dalam lembah cacian, ketika ia menikah lagi diam-diam, berbeda dengan tausyah-nya yang menggembar-gemborkan pentingnya kesetiaan. Surat Ash Shaff ayat 2 telah menegur dengan jelas,”Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?”.

Sengkuni dan Durno modern, entah di ranah politik maupun dunia hiburan, sudah menjadi problem yang meluluhlantakan sendi-sendi kebenaran. Semua berlangsung sempurna, sampai-sampai tayangan televisi ikut menari dari tabuhan gendangnya. Tiap hari. Bergiliran.Saling sahut-sahutan. Semua jadi ikut “sakit”. Kita disuguhi “orang bodoh” yang berbicara karena mereka ingin mengatakan sesuatu. Bukan “orang bijak”  yang berbicara karena mereka mempunyai sesuatu untuk dikatakan. Orang yang rumongso iso alias merasa bisa. Bukan orang yang iso rumongso atau bisa merasa.

Dalam kondisi seperti ini, ada kerinduan muncul sosok  “Sadewa” yang bisa memenggal kepala “Sengkuni”. Memberi pengajaran betapa cupeting donga gede paedahe ketimbang dawaning sumpah –pendeknya do’a lebih bermakna daripada panjangnya sumpah serapah. Menanamkan bahaya sifat Tahawwur (berani buta). Karena dari sifat Tahawwur, akan muncul ranting-ranting sifat buruk (mazmumah) yang lain seperti; munafik, kotor mulut, pengumpat, lekas marah, tidak mengakui kebenaran orang lain, takabur, angkuh, suka merendahkan pihak lain dan hobi memerintah tapi tak senang mengerjakan.

Polisi moral adalah sosok yang agung tapi bersikap sederhana. Baik sederhana hidup, cita-cita, popularitas, kata-kata, maupun tingkah laku.Maka ketika seorang budayawan, atau pengacara, berbuat tak sesuai etika, ia sesungguhnya sudah kehilangan otoritas untuk bicara moral. Jika sudah masuk ke titik ini, sejatinya ia telah jatuh “miskin”. Seperti Durno dan Sengkuni, yang menganut faham “gajah di pelupuk mata tiada kelihatan, tapi semut di seberang lautan jelas kelihatan”,label kebegawanannya menjadi muksa  –hilang tak berbekas. Ia hanya seonggok daging hidup, yang sedang bersiap menjemput karma.*






No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!