Senja
di padang Kurusetra,bau anyir darah menguar ke mana-mana. Hari ke-18
pertempuran Baratayuda masih berlangsung. Inilah puncak penyelesaian dari sebuah dendam yang
membuncah bertahun-tahun. Sebuah penentuan sejarah; gengsi siapa yang lebih
tinggi. Pandawa atau Korawa. Begawan Sengkuni, pemimpin para Korawa akan
berhadapan dengan Sadewa, salah seorang Pandawa
nan sakti mandraguna. Lewat pertempuran sengit, dengan berbagai trik dan adu
kesaktian tingkat tinggi, Sengkuni akhirnya mati dipenggal kepalanya oleh
Sadewa.
Kematian
Sengkuni, menjadi akhir kisah petualangan sang angkara murka. Ini seolah jadi
pertanda, kebenaran akan selalu menang melawan kebatilan. Maklumlah. Dalam
dunia pewayangan, Sengkuni digambarkan sebagai sosok yang suka menjelekan pihak
lain, demi keberhasilan tujuan pribadinya. Bertahun-tahun ia mengobarkan
kebencian dan memelihara kesumat dikalangan Korawa, agar melindas habis Bala
Pandawa. Sengkuni adalah penasihat utama Duryudana, pemimpin para Korawa. Ia
setali tiga uang dengan Begawan Durno, yang juga suka mengadu domba dan
memutarbalikan fakta.
Dalam
diri Sengkuni, atau Durno, memang seperti sebuah ironi. Mereka sudah mencapai maqam Begawan. Sebuah “gelar” yang
menumpuk di pundaknya segenap sifat-sifat agung. Mungkin seperti sekarang kita
sebut budayawan, golongan pemikir, polisi moral, penganjur kebajikan, ustaz,
penasihat presiden, dan lain-lain. Tapi, sifat Sengkuni bertolak belakang. Jadi
semacam antitesa dari perilaku luhur –sebuah paradoksal yang bisa jadi memberi
pengajaran, jika gelar dan jabatan bukanlah bungkus ideal untuk menilai hati
manusia.
Sengkuni
adalah layar lebar kehidupan. Mungkin ada yang masih bertanya-tanya,”Ah,masa?”.
Tapi begitulah yang terjadi. Siapa yang percaya ketika desas desus menimpa
budayawan dan penyair terkenal Sitok Srengenge menghamili seorang dara menyebar
diam-diam dikalangan penghayat seni? Ketika sang dara melaporkan Sitok ke
polisi, kemudian istri dan anak Sitok membenarkan kelakukan suami dan ayahnya, rasa
terperanjat itu seperti menemukan jawabnya. Laksana Sengkuni, yang berlindung
dibalik kebegawanannya, gelar budayawan Sitok tak menjamin ia imun dari
perilaku rendah.
Kita
kerap mengidentifikasi pola laku berdasar deretan gelar dan profesi, sekaligus
menjadi petanda status sosial. Tapi toh masih ada, seorang pengacara dengan
pendidikan cukup, mau bertengkar dengan anak remaja, bahkan rela meladeni
tantangan tinjunya. Tidak tanggung-tanggung, sang pengacara juga mengaku
sebagai “polisi moral”, walau rekam jejak moralnya masih perlu dipertanyakan. Semua
serba jungkir balik. Yang ada ditutup-tutupi, yang tidak ada diwacanakan,
hembus-hembuskan,menjadi sebuah ghibah yang
dalam tingkat tertentu sudah mengganggu dan menginjak akal sehat.
Kata
Marcus Cicero (106-43 SM), senator Roma, sejarah sejatinya adalah guru kehidupan.
Hanya banyak yang tak sadar, atau sengaja mengingkari sejarah, sampai ia
sendiri menjadi korban dari sejarah yang getir. Di mana-mana, kebenaran akan
mencari jalannya sendiri, meski ia datang belakangan. Seberapapun kuatnya kita
berlindung pada kemegahan gelar dan profesi, tapi di saat yang sama perilaku
kita tak menggambarkan kemegahan itu, nasib tragis seperti yang dialami
Sengkuni akan menghampiri. Semua tinggal menunggu waktu.
Gelar
“polisi moral” yang disandang Amerika Serikat, membuahkan tragedi World Trade
Centre, karena sikap standar gandanya terhadap nasib Palestina. Dalam lingkup
yang lebih kecil, “tetangga” kita, seorang da’i yang sempat dipuja-puji jutaan
ibu, harus tersungkur dalam lembah cacian, ketika ia menikah lagi diam-diam, berbeda
dengan tausyah-nya yang
menggembar-gemborkan pentingnya kesetiaan. Surat Ash Shaff ayat 2 telah menegur
dengan jelas,”Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak
kamu perbuat?”.
Sengkuni
dan Durno modern, entah di ranah politik maupun dunia hiburan, sudah menjadi
problem yang meluluhlantakan sendi-sendi kebenaran. Semua berlangsung sempurna,
sampai-sampai tayangan televisi ikut menari dari tabuhan gendangnya. Tiap hari.
Bergiliran.Saling sahut-sahutan. Semua jadi ikut “sakit”. Kita disuguhi “orang
bodoh” yang berbicara karena mereka ingin mengatakan sesuatu. Bukan “orang
bijak” yang berbicara karena mereka
mempunyai sesuatu untuk dikatakan. Orang yang rumongso iso alias merasa bisa. Bukan orang yang iso rumongso atau bisa merasa.
Dalam
kondisi seperti ini, ada kerinduan muncul sosok
“Sadewa” yang bisa memenggal kepala “Sengkuni”. Memberi pengajaran
betapa cupeting donga gede paedahe
ketimbang dawaning sumpah –pendeknya do’a lebih bermakna daripada
panjangnya sumpah serapah. Menanamkan bahaya sifat Tahawwur (berani buta). Karena dari sifat Tahawwur, akan muncul ranting-ranting sifat buruk (mazmumah) yang lain seperti; munafik, kotor
mulut, pengumpat, lekas marah, tidak mengakui kebenaran orang lain, takabur,
angkuh, suka merendahkan pihak lain dan hobi memerintah tapi tak senang
mengerjakan.
Polisi
moral adalah sosok yang agung tapi bersikap sederhana. Baik sederhana hidup,
cita-cita, popularitas, kata-kata, maupun tingkah laku.Maka ketika seorang
budayawan, atau pengacara, berbuat tak sesuai etika, ia sesungguhnya sudah
kehilangan otoritas untuk bicara moral. Jika sudah masuk ke titik ini, sejatinya
ia telah jatuh “miskin”. Seperti Durno dan Sengkuni, yang menganut faham “gajah
di pelupuk mata tiada kelihatan, tapi semut di seberang lautan jelas
kelihatan”,label kebegawanannya menjadi muksa
–hilang tak berbekas. Ia hanya
seonggok daging hidup, yang sedang bersiap menjemput karma.*
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda!