Monumen Kota Slawi |
“Mau nengok
orang tua bro. Mereka bilang lagi
agak kurang sehat,”kata saya pada orang Djarum, usai berbasah-basahan memotret
penghijauan kawasan Pantura. Saya sempat berfikir, ah, paling dua jam juga sampai. Tapi ternyata keliru. Di
terminal Cirebon, saya harus menunggu lama bus Coyo. Tarifnya Rp 20 ribu.
Karena lapar, saya sempatkan juga mencicipi lontong empal.
Bus Coyo
memang hanya sampai stasiun Tegal. Untuk ke Jembayat, Margasari, terpaksa saya
naik bus ¾. Kala itu malam, hujan lebat baru saja turun. Bau tanah basah terasa
menyeruak, membuat pori-pori hidungku kembali menyeret masa sekian puluh tahun
lalu.
Sekejap,
saat melewati Kota Slawi, mata saya mulai berbinar-binar. Bukan apa-apa. Tapi
sungguh, semua telah berubah. Semua telah bergerak maju, untuk tidak saya katakan
berubah modern. Masjid Jami Slawi telah berdiri megah, dengan bunderan yang
elok dan manglingi. Dulu sejak
SD-SMP, saya tak henti-henti disodori kupon sumbangan. Katanya untuk mbangun Masjid Jami. Mungkin setelah
berdiri megah, iuran itu sudah berhenti.
Jika ada yang kurang, barangkali
jalan-jalannya saja yang masih bergerunjal, seperti kurang perawatan.Tapi hal
paling menyolok mata adalah berdirinya beberapa taman di sepanjang Kota Slawi
hingga Adiwerna. Mataku sempat bersirobok dengan sebuah prasasti bertuliskan
sesuatu, yang langsung menyita perhatian. Di situ tertulis,”Taman Rakyat Slawi
Ayu”.
Karena naik
bus, saya memang tidak bisa menengok bagaimana keindahan sang taman. Begitu
pula kondisi gelap tak membuat semua pemandangan taman bisa terakses dengan
sempurna.
Tapi,
sepanjang jalan pikiran saya sungguh tergelitik. Kenapa disebut “Taman Rakyat”?Kata
“Rakyat” membuat imajiku bergerak liar. Saya jadi ingat pemuda rakyat, balai
rakyat, tentara rakyat dan Republik Rakyat (Cina). Saya berbaik sangka, mungkin
yang memberi nama ingin mengesankan, jika taman itu memang untuk rakyat. Tapi
jika dilanjut,”Taman Rakyat Slawi Ayu”, saya yang orang Jembayat barangkali tak
boleh masuk. Ini artinya, saat akan masuk bakal ditanyai, “Ente orang mana?Ada
KTP?Ini khusus rakyat Slawi,”.Amboi….
Mungkin pula
yang memberi nama ingin mengingatkan, jika Slawi dulu amat anti pada gerakan
pemuda rakyat, organisasi underbouw
PKI. Ada semacam penegasan heroik, atau spirit semacam itulah, yang membuat
taman itu memang pantas di kasih embel-embel ‘rakyat’. Ini tentu beda dengan
taman bunga di depan SMA 1 Slawi, almamater tercintaku. Tapi, pemberian nama
itu, jika direnung lebih dalam, sesungguhnya menunjukan ketidakfahaman konteks
sebuah kata, dengan makna kata yang diinginkan. Ini pendapat pribadi. Saya bisa
saja salah.
Selain taman
rakyat Slawi Ayu, di kiri kanan jalan bertebaran pula spanduk-spanduk pilkada.
Jago dari masing-masing parpol memasang jargon-jargon menarik. Ora korupsi lan ngapusi, misalnya. Ada
juga yang menulis,ngajeni lan ngayemi.
Pikiran bodoh saya lantas bertanya, sejak kapan orang Tegal mengadopsi kata “lan”
menjadi penyambung antar kalimat?Mungkin ada intervensi dari orang Semarang,
yang notabene sedang punya hajat. Tapi mengingat itu, saya tersenyum sendiri,
sambil menikmati jalanan mulus Lebaksiu. Di sinilah, di sebuah tikungan, saya
masih menjumpai beberapa deret warung sate, yang mengusung nama unik dan nyleneh.
plang sate Tegal |
Saya
berfikir, mungkin ini hanya trik pemasaran saja. Semacam keyakinan, jika nama
suami disebut bakal membuat awareness pengunjung
bisa lebih cepat nyangkut. Alhasil, warung sate “Ibu Ayu” barangkali terdengar
janggal.
Memang ada
hal yang cukup mengecewakan. Tegal yang terkenal dengan warung Tegal-nya,
ternyata lebih suka membangun monumen poci di berbagai sudut kota. Sepanjang
saya berkeliling Indonesia, tak ada yang tidak mengenal warteg. Tapi teh poci?Mungkin
dikenal, tapi sebatas dikota Tegal dan Slawi saja. Anehnya, tak ada monumen warteg,
sebagai penanda itulah yang selama ini telah menghidupi ribuan warga Tegal,
telah mengangkat derajat dan menyekolahkan anak-anak Tegal, hingga menjadi
dosen, tentara, bahkan menteri.
Sampai di
rumah, ada lagi satu yang tertinggal, soal laporan pandangan mata. Spanduk
panjang seorang dalang membentang, meminta bantuan dan doa restu karena ia
hendak mencalonkan diri sebagai calon bupati (cabup). Belum lama berselang,
saya juga membaca berita, seorang pesulap yang tak pernah bicara tertarik untuk
maju sebagai cabup Tegal.
Ah,
demokrasi kadang mengorbankan kualitasnya sendiri. Secara pribadi, saya
bermimpi Tegal bakal di pimpin oleh orang-orang dengan kemampuan mumpuni. Punya
wawasan global, dengan citarasa lokal. Tapi, saya tak mau
terlibat terlalu dalam soal ini. Pro dan kontra bakal muncul. Mending lihat saja, dan siapapun yang terpilih, itu pilihan wong Tegal.
Saat balik ke Jakarta, dan melewati Cirebon, semua lenyap begitu pengamen cantik mendendangkan tembang “Bandul Satenong” dan “Nambang Dawa”.” “Wis aja di tangisi.Wis aja digetuni. Bathi lara ning ati. Ora penak ning awak,”.Begitu mereka berteriak liris, dengan nada mendayu-dayu, cengkok menggoda, meski tanpa goyang pinggul dan geser dada.
Saat balik ke Jakarta, dan melewati Cirebon, semua lenyap begitu pengamen cantik mendendangkan tembang “Bandul Satenong” dan “Nambang Dawa”.” “Wis aja di tangisi.Wis aja digetuni. Bathi lara ning ati. Ora penak ning awak,”.Begitu mereka berteriak liris, dengan nada mendayu-dayu, cengkok menggoda, meski tanpa goyang pinggul dan geser dada.
Bertahun-tahun
ngasab di ibukota, Tegal memang
terasa jauh dari pelupuk mata. Tapi bukan berarti saya tak boleh urun rembuk
dan suara, demi menghindar kasus sang
bupati harus masuk penjara, karena kita salah pilih seorang punggawa bukan? Jika
akhirnya yang "kotor" yang dipilih, jangan salahkan para seniman tarling kalau mereka lebih suka berdendang liris juga,”Wis
aja di tangisi.Wis aja digetuni. Bathi lara ning ati. Ora penak ning awak,”.Mau
bagaimana lagi?Tapi mudah-mudahan prediksi saya meleset,hehehehe.
mikire ora kadohan kuwe boss, mengenai taman rakwat slawi ayu, mung sekedar aran ta ora papa ndeyan o......anyway, mdh2an Tegal makin berkembang ke arah yg lbh baik
ReplyDeletehehehe,biasa boss...arane seniman ya suka mengkhayal oh,qiqiqiqi
Delete