Daftar Isi

Tuesday, April 23, 2013

TASRIPIN

Tasripin dan tiga adiknya
Umurnya sudah 47 tahun. Saat saya temui, sopir taksi itu sedang membawa kami –saya dan fotografer- menuju ke Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Pekan kemarin, kebetulan kami bertolak ke Jogjakarta. Ia bertutur runtut, soal profesi yang selama 7 tahun telah digeluti. Pria asal Cirebon, Jawa Barat ini mengaku bersyukur, bisa hidup dan menghidupi tiga anaknya dari pekerjaan sopir taksi. “Dulu hidup saya sangat sengsara. Sudah yatim piatu saat masih kecil. Kemudian ikut nenek yang tidak punya apa-apa,”katanya.

Pria berkulit hitam ini mengaku, dalam seminggu kadang bertemu nasi hanya tiga kali. Saking sulitnya kehidupan, ia sempat hampir mati, karena berhari-hari tak ada bantuan dari tetangga. Kini setelah roda nasib berputar lebih baik, trauma masa lalu itu terwujud dalam bentuk keengganan untuk makan sehari tiga kali. Padahal sebagai sopir ia bisa. Tapi saban kali hendak makan, bayangan masa lalu terus menghantui, hingga makanan sulit ditelan.

“Sampai sekarang saya makan sehari cuma sekali. Kalau mau makan enak, saya ingat anak-anak di rumah,”tambahnya.

Pak sopir bercerita bukan untuk menarik iba. Ia menanggapi ucapan saya, soal nasib Tasripin, yang baru-baru ini menyita perhatian publik. Si bapak seolah ingin menegaskan, kemiskinan sudah ada sejak zaman orde lama, orde baru, bahkan hingga kini, ketika globalisasi telah mengubah wajah Indonesia menjadi satu ukuran layar televisi. Tasripin mungkin beruntung terbantu dengan pemberitaan. Dari acara TV, nasibnya terendus wartawan, bahkan seorang Armand Maulana menyempatkan diri mengirim aduan soal Tasripin lewat twitter ke Presiden SBY.

Belakangan SBY memang aktif memantau nasib Tasripin lewat jejaring sosial twitter, termasuk saat ia mengirim utusan menemui Tasripin.  Mungkin trio pendiri dan penemu twitter; Biz Stone, Evan Willliams, dan Jack Dorsey  tak pernah menyangka, inovasinya bakal mempermudah pucuk pimpinan negara seperti SBY menentukan nasib Tasripin yang berada nun jauh di Dusun Pesawahan, Desa Gunung Lurah, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

Tentu saja banyak Tasripin Tasripin lain yang belum terendus kecanggihan IT, karena jauhnya jarak dan sulitnya untuk menemui atau karena kurang beruntung. Saya katakan kurang beruntung, karena sesungguhnya didepan hidung gubernur Jakarta pun, sejak dulu banyak anak-anak bernasib seperti Tasripin. Iwan Fals pernah menyentilnya lewat tembang “Sore di Tugu Pancoran”.”Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu. Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu,”dendang Iwan.

Tasripin menjadi bukti, betapa perkembangan teknologi informasi telah  membuat dunia menjadi begitu telanjang. Semua terlihat, dan ini kerap memunculkan efek ganda. Ada kerugian, tapi juga banyak keuntungannya. Termasuk mungkin kita bertanya-tanya, kenapa gubernur Jawa Tengah tidak langsung turun ke lapangan, begitu isu Tasripin mampir ke twitter SBY.
Tasripin dan Letkol Helmi

Di sinilah salah satu “jahatnya” keterbukaan media –baik media sosial maupun media mainstream. Mungkin agar namanya tidak tercemar dan mengganggu pencalonan gubernur yang bakal berlangsung dalam waktu dekat, Pak Bibit  memilih cari aman. Tasripin dibiarkan diurus oleh Dandim 0701/ Banyumas, Letkol Helmi dan staf khusus Presiden  Bidang Pangan dan Energi, Haryoto. Namun niat baik itu pun, dalam banyak kesempatan juga menuai hujatan. Lewat mana lagi kalau bukan lewat media sosial.

Jika jujur, Tasripin sejatinya mewakili wajah masyarakat marginal kita dari masa ke masa. Jika media sosial sudah booming  saat sopir taksi yang saya naiki masih bergulat dengan kemiskinan, barangkali Orde Baru tak bakal membanggakan sistem ekonominya yang mengandalkan trickle down effect. Dengan kata lain, ini kesalahan semua, ini kekeliruan desain ekonomi yang dirancang oleh para pengambil kebijakan di “atas sana”, sejak ekonomi Orde Baru mulai digagas.

Dengan nada canda, orang-orang kerap mengklasifikasi kelas-kelas sosial masyarakat kita, akibat kesalahan desain ekonomi. Pertama, mereka yang bertanya hari ini bisa makan apa tidak. Kedua, orang-orang yang berbisik, hari ini kita makan apa?Ketiga, yaitu mereka yang tertawa sambil bertanya hari ini kita makan di mana?Kelompok tertinggi, adalah mereka yang berteriak-teriak, hari ini kita makan siapa?

Tasripin menyadarkan semua, untuk mencari cara terbaik, bagaimana kemiskinan bisa ditumpas habis. Ini penyakit non medis, yang dalam perspektif religi amat mengkhawatirkan, karena bisa membuat orang menjadi kufur. Kadal Faqru Ayakuna Kufran,kata Nabi Muhammad. Sahabat Ali Bin Abi Thalib sendiri sampai mengibaratkan, jika kemiskinan itu berujud orang, ia akan membunuhnya dengan pedangnya. Kegeraman Ali, bisalah disamakan dengan kegelisahan Armand Maulana, kala mendengar kisah Tasripin.

Islam sendiri sebetulnya sudah mengantisipasi munculnya Tasripin Tasripin lain, sejak 14 abad lalu. Dari 250 juta penduduk Indonesia, potensi zakat nasional yang bisa diraih mencapai 213,7 triliun pertahun. Dari jumlah itu, baru sekitar sepuluh persen yang bisa dikumpulkan. Celakanya, tak hanya kesadaran zakat yang rendah, yang sesungguhnya bisa digunakan untuk mengentaskan kemiskinan, dana-dana bantuan untuk orang miskin pun kadang hilang tak tentu rimbanya.

Presiden SBY dan staf ahlinya, Letkol Helmi dan Armand Maulana, menjadi pencerah bahwa begitulah sesungguhnya kepekaan nurani dibangun, di tengah semakin runtuhnya nilai-nilai kemanusiaan kita karena kabut tebal hedonisme. Tasripin dimunculkan Tuhan untuk “menggebuk” kita semua, yang selama ini banyak mengeluh ditengah nikmat yang kerap dipandang sepele. Lepas dari semua, drama ini akan menjadi berharga, ketika kita bisa menarik pelajaran, dan tidak sekedar mencela, mengumpat, menyalahkan, atau sikap-sikap negatif lain, apalagi hanya lewat sosial media. Tasripin tak butuh retorika. Ia butuh tindakan nyata.


No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!