Tasripin dan tiga adiknya |
Pria
berkulit hitam ini mengaku, dalam seminggu kadang bertemu nasi hanya tiga kali.
Saking sulitnya kehidupan, ia sempat hampir mati, karena berhari-hari tak ada
bantuan dari tetangga. Kini setelah roda nasib berputar lebih baik, trauma masa
lalu itu terwujud dalam bentuk keengganan untuk makan sehari tiga kali. Padahal
sebagai sopir ia bisa. Tapi saban kali hendak makan, bayangan masa lalu terus
menghantui, hingga makanan sulit ditelan.
“Sampai
sekarang saya makan sehari cuma sekali. Kalau mau makan enak, saya ingat
anak-anak di rumah,”tambahnya.
Pak sopir
bercerita bukan untuk menarik iba. Ia menanggapi ucapan saya, soal nasib
Tasripin, yang baru-baru ini menyita perhatian publik. Si bapak seolah ingin
menegaskan, kemiskinan sudah ada sejak zaman orde lama, orde baru, bahkan
hingga kini, ketika globalisasi telah mengubah wajah Indonesia menjadi satu
ukuran layar televisi. Tasripin mungkin beruntung terbantu dengan pemberitaan.
Dari acara TV, nasibnya terendus wartawan, bahkan seorang Armand Maulana
menyempatkan diri mengirim aduan soal Tasripin lewat twitter ke Presiden SBY.
Belakangan
SBY memang aktif memantau nasib Tasripin lewat jejaring sosial twitter, termasuk saat ia
mengirim utusan menemui Tasripin. Mungkin
trio pendiri dan penemu twitter; Biz Stone, Evan Willliams, dan Jack
Dorsey tak pernah
menyangka, inovasinya bakal mempermudah pucuk pimpinan negara seperti SBY
menentukan nasib Tasripin yang berada nun jauh di Dusun Pesawahan, Desa Gunung
Lurah, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
Tentu
saja banyak Tasripin Tasripin lain yang belum terendus kecanggihan IT, karena
jauhnya jarak dan sulitnya untuk menemui atau karena kurang beruntung. Saya
katakan kurang beruntung, karena sesungguhnya didepan hidung gubernur Jakarta
pun, sejak dulu banyak anak-anak bernasib seperti Tasripin. Iwan Fals pernah
menyentilnya lewat tembang “Sore di Tugu Pancoran”.”Anak sekecil itu berkelahi
dengan waktu. Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu,”dendang Iwan.
Tasripin
menjadi bukti, betapa perkembangan teknologi informasi telah membuat dunia menjadi begitu
telanjang. Semua terlihat, dan ini kerap memunculkan efek ganda. Ada kerugian,
tapi juga banyak keuntungannya. Termasuk mungkin kita bertanya-tanya, kenapa
gubernur Jawa Tengah tidak langsung turun ke lapangan, begitu isu Tasripin
mampir ke twitter SBY.
Tasripin dan Letkol Helmi |
Di
sinilah salah satu “jahatnya” keterbukaan media –baik media sosial maupun media
mainstream. Mungkin agar namanya tidak tercemar dan mengganggu
pencalonan gubernur yang bakal berlangsung dalam waktu dekat, Pak Bibit memilih cari aman. Tasripin
dibiarkan diurus oleh Dandim 0701/ Banyumas, Letkol Helmi dan staf khusus
Presiden Bidang
Pangan dan Energi, Haryoto. Namun niat baik itu pun, dalam banyak kesempatan
juga menuai hujatan. Lewat mana lagi kalau bukan lewat media sosial.
Jika
jujur, Tasripin sejatinya mewakili wajah masyarakat marginal kita dari
masa ke masa. Jika media sosial sudah booming saat sopir taksi yang saya
naiki masih bergulat dengan kemiskinan, barangkali Orde Baru tak bakal
membanggakan sistem ekonominya yang mengandalkan trickle down effect. Dengan
kata lain, ini kesalahan semua, ini kekeliruan desain ekonomi yang dirancang
oleh para pengambil kebijakan di “atas sana”, sejak ekonomi Orde Baru mulai
digagas.
Dengan
nada canda, orang-orang kerap mengklasifikasi kelas-kelas sosial masyarakat
kita, akibat kesalahan desain ekonomi. Pertama,
mereka yang bertanya hari ini bisa makan apa tidak. Kedua, orang-orang yang berbisik, hari ini kita makan apa?Ketiga, yaitu mereka yang tertawa sambil
bertanya hari ini kita makan di mana?Kelompok tertinggi, adalah mereka yang
berteriak-teriak, hari ini kita makan siapa?
Tasripin
menyadarkan semua, untuk mencari cara terbaik, bagaimana kemiskinan bisa
ditumpas habis. Ini penyakit non medis, yang dalam perspektif religi amat
mengkhawatirkan, karena bisa membuat orang menjadi kufur. Kadal Faqru Ayakuna Kufran,kata
Nabi Muhammad. Sahabat Ali Bin Abi Thalib sendiri sampai mengibaratkan, jika
kemiskinan itu berujud orang, ia akan membunuhnya dengan pedangnya. Kegeraman
Ali, bisalah disamakan dengan kegelisahan Armand Maulana, kala mendengar kisah
Tasripin.
Islam
sendiri sebetulnya sudah mengantisipasi munculnya Tasripin Tasripin lain, sejak
14 abad lalu. Dari 250 juta penduduk Indonesia, potensi zakat nasional yang
bisa diraih mencapai 213,7 triliun pertahun. Dari jumlah itu, baru sekitar
sepuluh persen yang bisa dikumpulkan. Celakanya, tak hanya kesadaran zakat yang
rendah, yang sesungguhnya bisa digunakan untuk mengentaskan kemiskinan,
dana-dana bantuan untuk orang miskin pun kadang hilang tak tentu rimbanya.
Presiden
SBY dan staf ahlinya, Letkol Helmi dan Armand Maulana, menjadi pencerah bahwa
begitulah sesungguhnya kepekaan nurani dibangun, di tengah semakin runtuhnya
nilai-nilai kemanusiaan kita karena kabut tebal hedonisme. Tasripin dimunculkan
Tuhan untuk “menggebuk” kita semua, yang selama ini banyak mengeluh ditengah
nikmat yang kerap dipandang sepele. Lepas dari semua, drama ini akan menjadi
berharga, ketika kita bisa menarik pelajaran, dan tidak sekedar mencela,
mengumpat, menyalahkan, atau sikap-sikap negatif lain, apalagi hanya lewat
sosial media. Tasripin tak butuh retorika. Ia butuh tindakan nyata.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda!