Daftar Isi

Wednesday, February 27, 2013

sejarah pers Indonesia

Kata “pers” adalah istilah yang tidak asing lagi di telinga kita. Memang banyak orang yang berasumsi, pers identik dengan seorang wartawan. Namun sebetulnya bukan itu saja. Pers adalah seluruh kegiatan yang dilakukan media, termasuk di dalamnya wartawan.  Secara singkat bisa disebut, pers adalah badan yang membuat penerbitan media massa secara berkala.

Secara etimologis, kata pers (Belanda), atau Press (Inggris), atau Presse (Perancis), berasal dari Bahasa Latin, Perssare dari kata Premere,yang berarti “Tekan” atau “Cetak”, definisi terminologisnya adalah “media massa cetak” atau “media cetak”.

Media massa, menurut Gamle & Gamle adalah bagian komunikasi antara manusia (human communication). Artinya, media merupakan saluran atau sarana untuk mempeluas dan memperjauh jangkauan proses penyampaian pesan antar manusia. Kondisi ini sudah terlihat sejak pertama kali dunia persuratkabaran menggeliat di bumi nusantara. Tak heran, pers Indonesia bisa dikategorikan dalam berbagai masa.

Pers Zaman Hindia Belanda
Tidak bisa dipungkiri, kehadiran pers di Indonesia dipelopori oleh bangsa Eropa, khususnya Belanda, saat menjajah Indonesia.  Hal ini karena sebelum kehadiran mereka, tidak ada sumber resmi yang menyebut ada media massa yang dibuat oleh orang pribumi. Awal mula dimulainya dunia persuratkabaran di tanah air, menurut Dr. De Haan dalam bukunya “Oud Batavia (G. Kolf Batavia 19230) mengungkap secara sekilas bahwa sejak abad 17 di Batavia sudah terbit sejumlah media berkala dan surat kabar.

Tahun 1676 misalnya, di Batavia telah terbit sebuah berkala bernama Kort Bericht Eropa (berita singkat dari Eropa). Berkala yang memuat berbagai berita dari Polandia, Perancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Inggris dan Denmark ini dicetak di Batavia oleh Abraham Van den Eede tahun 1676. Setelah itu terbit pula Bataviase Nouvelles pada bulan Oktober 1744.  Menyusul kemudian Vendu Nieuws pada 23 Mei 1780. Sedangkan Bataviasche Koloniale Courant tercatat sebagai surat kabar pertama yang terbit di Batavia tahun 1810.

Bisa dibilang media massa kala itu telah dipandang sebagai alat pencatat atau pendokumentasian segala peristiwa yang terjadi di negara kita. Kondisi itu amat diperlukan oleh pemerintah pusat Nederland maupun di Nederlandsch serta orang-orang Belanda pada umumnya. Dunia pers tanah air semakin menghangat ketika terbit “Medan Prijaji” pada tahun 1903. Ini adalah surat kabar pertama yang dikelola oleh orang pribumi.

Munculnya surat kabar ini bisa dikatakan merupakan masa permulaan bangsa kita terjun dalam dunia pers yang berbau politik. Pemerintah Belanda menyebutnya Inheemsche Pers (Pers Bumiputra). Pemimpin redaksinya R.M. Tirtoadisuryo yang dijuluki Nestor Jurnalistik.

Tirto mengatakan, surat kabar adalah alat penting untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Tirto bisa dikata adalah orang pertama dari bangsa kita yang memelopori kebebasan. Hadirnya “Medan Prijaji” telah sambut hangat bangsa Indonesia, terutama kaum pergerakan yang mendambakan kebebasan mengeluarkan pendapat.

Buktinya tak berapa lama kemudian Tjokroaminoto dari Syarikat Islam menerbitkan harian “Oetoesan Melayu”. Nama Samaun (golongan kiri) muncul dengan korannya yang namanya cukup revolusiaoner  yakni, Halilintar dan Nyala.  Begitu pula Suryadi Suryanigrat alias Ki Hajar Dewantara yang menerbitkan koran dengan nama tak kalah galaknya, Guntur Bergerak dan Hindia Bergerak.

Sementara itu, di Padangsidempuan, Paarada Harahao membuat  harian Benih Merdeka dan Sinar Merdeka pada tahun 1918 dan 1922. Begitu juga Bung Karno tak ketinggalan memimpin harian Suara Rakiyat dan Harian Sinar Hindia. Surat kabar terakhir ini kemudian berganti nama  mnjadi Sinar Indonesia.

Pers Masa Pendudukan Jepang
Era ini berlangsung dari 1942-945. Orang-orang media massa Indonesa banyak yang berjuang dengan tidak menggunakan ketajaman penanya, melainkan dengan jalan lain seperti organisasi keagamaan, pendidikan dan politik.Hal ini menunjukan bahwa di bawah pendudukan Jepang pers Indonesia ditekan.

Surat kabar yang beredar pada zaman penjajahan Belanda di larang beredar. Memang, di era pendudukan Jepang, pers Indonesia mengalami kemajuan dalam hal teknis. Saat itu mulai pula diberlakukan izin penerbitan pers. Surat kabar Indonesia yang semula berusaha dan berdiri sendiri dipaksa bergabung menjadi satu. Segala bidang usaha disesuaikan dengan rencana Jepang untuk memenangkan “Dai Toa Senso” atau Perang Asia Timur Raya.

Bisa dibilang, di zaman pendudukan Jepang pers menjadi alat kepentingan Jepang. Kabar-kabar dan karangan-karangan yang dimuat hanyalah pro-Jepang semata. Selain itu Jepang juga mendirikan Jawa Shinbun Kai dan kantor cabang berita Domei dengan menggabungkan dua kantor berita yang ada di Indoneia yakni Aneta dan Antara.

Selama masa pendudukan Jepang, muncul beberapa media harian. Asia Raya di Jakarta, Sinar Baru di Semarang, Suara Asia di Surabaya dan Tjahaya di Bandung. Dengan munculnya ide beberapa surat kabar Sunda bersatu, hal serupa terjadi di Padang dan Sumatera.

Bandung menerbitkan surat kabar baru Tjahaja . Di Sumatera surat kabar dimatikan dan dibuat Padang Nippo (Melayu) dan di Sumatera ada Sumatera Shimbun (Jepang-Kanji). Dalam kegiatan penting soal pengelolaan negara sampai persiapan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sejumlah wartawan turut aktif terlibat di dalamnya. Di samping Soekarno dan Hatta, tercatat antara lain Sukardjo Wirjopranoto, Iwa Kusumasumantri, Ki Hajar Dewantoro, Otto Iskandar Dinata, Adam Malik, BM Diah, Sutan Sjahrir dan lain-lain.

Pers Masa Orde Lama
Sepuluh hari setelah dekrit presiden RI menyatakan kembali ke UUD 1945, tekanan pers terus berlangsung. Pembredelan terhadap kantor berita PIA dan surat kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin Po dilakukan penguasa perang Jakarta. Hal ini tercermin dari pidato Menteri Muda Penerangan Maladi, saat menyambut HUT Kemerdekaan RI ke-14.

“Hak kebebasan Individu disesuaikan dengan hak kolektif seluruh bangsa dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. Hak berfikir, menyatakan pendapat, dan memperoleh penghasilan sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 harus ada batasnya; keamanan negara, kepentingan bangsa, moral dan kepribadian Indonesia, serta tanggung jawab pada Tuhan Yang Maha Esa,”.

Awal tahun 1960 penekanan kebebasan pers diawali dengan peringatan Menteri Muda Maladi. “Langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat kabar, majalah-majalah, dan kantor-kantor berita yang tidak menaati peraturan yang diperlukan dalam usaha menerbitkan pers nasional”.

Tahun 1960 penguasa perang mulai mengenakan sanksi-sanksi perizinan terhadap pers. Tahun 1964 kondisi kebebasan pers semakin memburuk. Kementerian Penerangan dan badan-badannya mengontrol semua kegiatan pers. Perubahan yang ada tidak lebih sekedar perubahan sumber wewnang, karena sensor tetap ketat dan dilakukan secara sepihak.

Pers Era Orde Baru
Pada awal kekuasaan Orde Baru, pemerintah menjanjikan keterbukaan dan kebebasan dalam berpendapat. Masyarakat bersuka cita menyambut pemerintahan Soeharto, yang diharapkan bisa mengubah keterpurukan pemerintahan Orde Lama.  Hubungan pers dan pemerintah juga diprediksi bakal membaik. Undang-undang Pokok Pers Nomor II tahun 1966 menjamin tidak ada sensor dan pembredelan. Setiap warga negara juga mempunya hak untuk menerbitkan pers yang bersifat kolektif dan tidak diperlukan surat ijin terbit.

Namun masa “bulan madu” pers dan pemerintah hanya berlangsung delapa tahun. Karena sejak terjadinya ‘Peristiwa Malari” (peristiwa Lima Belas Januari 1974), kebebasan pers mengalami set-back (kembali seperti Orde Lama). Pers kembali mendapat  berbagai tekanan dari pemerintah Orde Baru.

Peristiwa Malari 1974 menyebabkan beberapa surat kabar dilarang terbit. Tujuh surat kabar di Jakarta (termasuk Kompas) diberangus untuk beberapa waktu.  Mereka diberi izin kembali setelah pimpinan redaksinya menandatangani surat permintaan maaf.

Pengusaha lebih menggiatkan larangan-larangan melalui telepon supaya pers tidak menyiarkan suatu berita, atau para wartawan lebih diingatkan untuk menaati kode etik jurnalistik sebagai self-censership. Demikian  juga pengawasan terhadap pers dan wartawan diperketat menjelang sidang MPR 1978.

Pendek kata, pers pasca peristiwa Malari merupakan pers yang cenderung mewakili kepentingan penguasa, pemerintah atau negara. Tidak ada kebebasan dalam menerbitkan berita-berita miring seputar pemerintah. Bila ada media massa yang melakukannya, pasti akan mendapat ancaman. Segala penerbitan di media massa berada dalam pengawasan pemerintah melalui departemen penerangan.

Pers Pancasila
Pers seperti dijadikan alat pemerintah untuk melanggengkan kekuasaannya. Pers tidak menjalankan fungsi sesungguhnya yaitu sebagai pendukung dan pembela masyarakat. Memang saat itu ada slogan, pers Indonesia disebut sebagai pers Pancasila. Cirinya adalah bebas tapi bertanggung jawab. Namun kenyataannya, tak ada kebebasan.Malah saat Orde Baru, marak dilakukan pembredelan.

Tanggal 21 Juni 1994, beberapa media massa seperti Tempo, deTIK, dan editor dicabut surat izin penerbitannya. Mereka dibredel setelah menurunkan laporan investigasi tentang berbagai penyelewengan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah. Pembredelan itu diumumkan langsung oleh Menteri Penerangan Harmoko.

Setelah pembredelan, awak Tempo mendirikan Tempo Interaktif dan ISAI (Institut Studi Arus Informasi) pada 1995. Tempo terbit lagi pada 6 oktober 1998 setelah jatuhnya Orde Baru. Di masa reformasi, keran kebebasan pers benar-benar dibuka lebar. Ratusan media massa muncul, walau akhirnya banyak yang mati karena tak kuat bersaing.

Untuk menaungi pers Indonesia, sesuai UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, Dewan Pers diberi tugas untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional. Sebetulnya di masa Orde Baru, Dewan Pers sudah ada. Namun Dewan Pers masa Orba hanya formalitas belaka. Terbukti, meski Dewan Pers menolak pembredelan, tapi pembredelan tetap berlangsung.

Tumbangnya rezim Orde Baru, jelas membawa berkah tersendiri bagi pers Indonesia.  Di era ini, lahir Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang pers. Dalam undang-undang ini, dengan tegas dijamin adanya kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara. Sebagai konsekwensinya, tidak lagi disinggung perlu tidaknya surat ijin terbit. Terhadap pers nasional juga tidak dikenakan penyensoran,pembredelan, dan pelarangan penyiaran.

Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak. Tujuannya agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hal ini digunakan jika wartawan dimintai keterangan pejabat penyidik atau diminta menjadi saksi di pengadilan. Pers Indonesia, lewat berbagai rintangan dan hambatan, kini telah menjelma menjadi kekuatan kontrol yang layak diperhitungkan. Ariful Hakim/bbs


No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!