Daftar Isi

Wednesday, February 27, 2013

serba serbi Cap Go Meh

Cap Go Meh 2013 jatuh pada Hari Minggu (24/20). Ada dua ciri khas yang menandainya. Pertama, arak-arakan yang biasa diadakan layaknya sebuah karnaval besar. Kedua, dihidangkannya makanan khas Cap Go Meh, yang ternyata sudah mengalami asimilasi dengan budaya makan setempat.  Hal ini karena di negeri asalnya, Tiongkok, makanan khas Cap Go Meh berbeda dengan makanan Cap Go Meh di Jawa misalnya.

Cap Go Meh sendiri adalah penutup dari rangkaian perayaan Tahun Baru Imlek. Di tempat asalnya, rangkaian penutup ini tidak disebut dengan Cap Go Meh. Tapi lazim disebut Yuan Xiao Jie (baca; yuen siau cie). Yuan Xiao Jie adalah bulan purnama pertama Tahun Baru Imlek. Perayaan Yuan Xiao Jie selalu ditandai dengan pemasangan lampion, makan ronde,main tebak-tebakan, keluar rumah untuk melihat bulan dan makan bersama seluruh anggota keluarga.

Sejak 2000 Tahun Lalu
Perayaan Yuan Xiao Jie sudah dilaksanakan di Tiongkok sejak 2000 tahun yang lalu. Bagaimana asal usul perayaan Yuan Xiao Jie? Ada beberapa versi.  Versi pertama pada masa pemerintahan Raja Mingdi yang saat itu mulai tertarik dengan ajarab Budha. Raja mendengar bahwa dalam agama Budha setiap malam bulan purnama adalah malam penghormatan terhadap sang Budha.  Salah satu cara untuk menghormati Sang Budha adalah dengan memasang lampion.  Maka sang raja memerintahkan setiap keluarga untuk memasang lampion di rumah masing-masig setiap bulan purnama.

Pada masa pemerintahan Raja Hanwen, ditetapkan bahwa pemasangan lampion cukup dilakukan di malam purnama di bulan pertama saja. Karena malam purnama pertama di tahun baru ini sebagai suatu lambang keoptimisan, menyongsong hari depan yang lebih baik.

Versi kedua, tradisi pemasangan lampion ini berasal dari  Taoism, yaitu ajaran tentang  3 unsur utama. Tiga unsur  utama itu meliputi malam purnama di bulan pertama merupakan bulan naik yang melambangkan unsur ketuhanan. Purnama di bulan ke-7 yaitu bulan pertengahan yang melambangkan unsur bumi. Juga purnama dibulan ke-10 merupakan bulan turun yang mewakili unsur kemanusiaan. Oleh sebab itu, disetiap purnama di tiga waktu itu harus memasang lampion. Maksudnya untuk menghormati ketiga unsur penting itu.

Seiring perkembangan zaman, Yuan Xiao Jie mengalami perubahan. Pada masa Dinasti Han, cukup menggantung lampion selama 1 hari. Masa Dinasti Tang diperpanjang menjadi 3 hari.  Kemudian pada masa dinasti Song menjadi 5 hari. Sampai masuk dinasti Ming pemasangan lampion dimulai sejak hari ke-8 sampai hari ke-17 (10 hari).

Beragam bentuk lampion digantung di setiap sudut kota maupun rumah-rumah penduduk. Tidak hanya lampion, berbagai kegiatan lainpun diselenggarakan. Bahkan pada  Dinasti Qing ditambah dengan tarian naga, Barongsai dan lain-lain. Jadilah hari raya ini semakin meriah.

Hal yang paling ditunggu-tunggu muda-mudi adalah acara tebak-tebakan. Setiap orang membawa satu lampion dan di lampion itu sudah ditempel dengan kertas yang berisi teka-teki (biasanya 4 huruf). Si wanita memberikan tebakan pada si pria dan sebaliknya. Kalau masing-masing bisa menebak dengan benar, acara bisa dilanjut dengan kencan bareng. Tebak-tebakan dimaksudkan untuk mencari pasangan yang tingkat kepintarannya seperti yang diinginkan si pemilik teka-teki.

Mengenai tradisi makan ronde, hal itu dimaksudkan untuk  mengumpulkan  seluruh anggota keluarga.  Pada perayaan Yuan  Xiao Jie semua berkumpul di rumah saudara tertua untuk makan ronde yang disebut tangtuan. Tang artinya soup sedangkan tuan artinya berkumpul. Jadi Yuan Xiao Jie juga sangat penting, karena dengan adanya hari besar ini, meski berada jauh dari sanak keluarga, diusahakan untuk pulang berkumpul bersama.

Cap Go Meh di Indonesia
Selain berbagai versi asli tradisi perayaan hari ke-15 setelah tahun baru Imlek, di Indonesia hal itu malah dikenal dengan sebutan Cap Go Meh. Belakangan selain Indonesia, sebutan Cap Go Meh juga dikenal  di Malaysia dan Singapura.  Padahal Cap Go Meh sendiri sebenarnya penamaan yang salah kaprah.  Tapi karena sudah berumur ratusan tahun akhirnya dianggap benar  dan menjadi tradisi.

Cap Go Meh artinya adalah “malam ke-15”. Yaitu tanggal 15 di bulan pertama yang disebut dalam dialek Hokkian “cia gwe cap go”. Di Indonesia sendiri, sejak dulu orang lebih kenal dengan sebutan Cap Go Meh daripada sebutan lain, termasuk sesuai versi aslinya.

Perayaan Cap Go Meh sempat mandek saat era Orde Baru. Tapi setelah reformasi, perayaan ini kembali marak di kota-kota Indonesia. Kondisi ini seolah mengulang masa sebelumnya. Perayaan Cap Go Meh pernah mencapai masa keemasan yang dirayakan segenap lapisan masyarakat, suku dan agama di tahun 1950-1960. Di Semarang misalnya. Perayaan Cap Go Meh masa itu selalu dinanti oleh masyarakat. Arak-arakan dari berbagai Klenteng di daerah Pecinan akan memenuhi jalanan. Biasanya diiringi dengan kemeriahan suara mercon, tabuhan khas atraksi Barongsai dan naga.

Masing-masing kota di Indonesia memiliki ciri khas masing-masing dalam merayakan Cap Go Meh. Di Jawa misalnya, dikenal dengan menyajikan hidangan khas lontong Cap Go Meh. Sementara di Kalimantan, ada acara besar-besaran termasuk atraksi Tatung. Di Medan lain lagi. Sembahyang di Klenteng mendominasi  kegiatan di malam Cap Go Meh. 

Atraksi Tatung di Singkawang, Kalimantan Barat , menjadi atraksi tahunan yang banyak menarik minat wisatawan. Tatung adalah orang yang dimasuki roh dewa atau leluhur. Tubuh orang tersebut dijadikan perantara komunikasi dengan roh leluhur. Arak-arakan Tatung sudah menjadi tradisi lebih dari 200 tahun. Para Tatung berasal dari Klenteng yang tersebar di berbagai Singkawang.

Tatung diarak dengan menggunakan tandu pedang atau paku tajam. Ada juga yang naik tangga. Seluruh Tatung yang ikut dalam ritual disantuni panitia. Jumlah santunan bervariasi. Untuk Tatung yang menggunakan tandu Rp 3 juta, tandu miniatur Rp 1,8 juta, dan jailangkung dengan tandu Rp 750 ribu.

Sedangkan  Tatung tanpa tandu di beri santunan Rp 300 ribu dan jailangkung tanpa tandu Rp 450 ribu. Sementara untuk grup naga Rp 750 ribu dan grup Barongsai Rp 450 ribu. Tahun ini, perayaan arak-arakan Tatung di Singkawang  berhasil menyedot 747 Tatung. Mereka berasal dari berbagai wilayah di Kalimantan Barat. Sebelum pawai Tatung, warga Singkawang biasanya menikmati pawai lampion dulu.

Budaya Lokal
Selain di Singkawang, perayaan Cap Go Meh di Menado juga sangat meriah. Hal ini karena seluruh umat Tridharma berkumpul di klenteng dengan pakaian dan ornament khas mereka. Tontonan utamanya adalah orang kebal yang dipercaya sebagai perwujudan dewa, Thang sin yang berpindah pindah dari Kio (usungan) turun meramaikan kirab.

Menariknya proses Cap Go Meh diisi pula dengan berbagai atraksi budaya orang Minahasa, seperti pagelaran musik bambu dan musik clarinet. Ikut pula meramaikan pasukan berkuda dan penari Kabasaran, sebuah tarian perang orang Minahasa.

Salah satu yang menyebot perhatian  pengunjung adalah atraksi naga yang panjangnya mencapai ratusan meter serta Barongsai. Cap Go Meh tanpa Barongsai dan liong (naga)  rasanya tidak komplit. Nama Barongsai sendiri adalah gabungan dari kata “barong” dalam bahasa Jawa dan “Sai” alias Singa dalam bahasa dialek Hokkian.

Singa menurut orang Tionghoa melambangkan kebahagiaan dan kegembiraan.  Ada dua macam jenis tarian Barongsai. Yaitu singa utara yang penampilannya lebih natural sebab tanpa tanduk. Sedangkan singa selatan memiliki tanduk dan sisik jadi mirip dengan binatang Qilin (kuda naga yang bertanduk).

Seperti laiknya binatang lain, maka Barongsai juga diberi makan berupa Angpau yang ditempeli sayuran selada air. Lontong Cap Go Meh sendiri kemungkinan disajikan untuk mengganti sajian resmi di negeri asalnya yaitu yuan xiao alias ronde. Lontong ini melambangkan bulan purnama yang bulat bundar, yang juga melambangkan kebulatan dan kebersihan hati dari warna putih yang dihasilkan dari bahannya.

Di Indonesia, tradisi Cap Go Meh tak lepas dari petualangan Laksamana Cheng Ho, yang pernah datang 1400- an Masehi di Nusantara. Laksamana Cheng Ho yang membawa pasukan perdamaian menurut sejarah singgah diberbagai kota di Indonesia sebanyak 7 kali. Referensi mulai dari yang ilmiah sampai yang fiksi  sejarah seperti karya Remy Sylado; Sam Po Kong, menunjukan bahwa asimilasi pendatang dan penduduk asli sudah berjalan dengan mulus tanpa adanya paksaan, maupun tekanan politik.

Perayaan Imlek mulai dikenal penduduk setempat, yang jelas merasa sebagai sesuatu yang benar-benar baru, aneh dan menyenangkan. Adaptasi berjalan dengan cepat. Selayaknya pendatang, mereka juga memperkenalkan segala jenis budaya, pengajaran, makanan, dan pengetahuan lain. Berikut beberapa makanan yang biasa muncul saat perayaan Cap Go Meh.

Opor ayam
Sebenarnya opor di Jawa terdiri dari 2 macam, opor putih dan opor kuning.  Opor putih di sini lebih banyak diminati oleh kalangan emak-emak, yaitu para wanita Tionghoa yang sudah membaur dengan kebiasaan setempat. Mereka biasanya mengenakan baju kurung (bukan kebaya) dan sarung selayaknya penduduk setempat.

Sedangkan opor kuning, biasa dimasak oleh penduduk asli dengan menambahkan kunyit, dengan alasan luwih ayu (lebih cantik), tidak pucat dan lebih menyehatan badan karena kunyit sebagai penyeimbang santan. Seperti diketahui fungsi kunyit sangat baik untuk kesehatan tubuh. Makna warna kuning diasosiakan dengan emas, yang berkonotasi kemakmuran.

Sambal Goreng Ati Ampela
Warna merah mencorong sambel goreng ati ampela dengan jelas menyiratkan warna wajib perayaan imlek dan segala sesuatu yang dipercaya oleh orang Tionghoa warna keberuntungan, kebaikan dll. Masakan ini jelas dari hasil asimilasi budaya. Karena di China tidak ada masakan seperti ini dan mayoritas masyarakatnya tidak menyukai pedas.

Apalagi masakan dengan banyak rempah dan aroma yang tajam seperti sambel goreng. Kecuali beberapa wilayah di China yang memang  suka pedas, seperti Sichuan, tapi itu pun tidak menggunakan santan dan rempah seperti masakan khas ini.

Telor Pindang
Telor di manapun melambangkan rejeki, kemakmuran, harapan baik dan segala sesuatu yang baik. Pemasakan telor pindang ini juga khas Indonesia. Lebih spesifik lagi di Jawa, dengan daun jati atau rempah lain yang menghasilkan telor yang nikmat. Pembuatan telor pindang dari satu tempat ke tempat lain di seluruh Indonesia berbeda-beda, masing-masing dengan versi dan bumbunya sendiri.

Lodeh Terong atau Labu
Ini pelengkap dari hidangan ini semua, warna putih, dengan labu atau terong sebagai sayurnya, melambangkan harapan baik juga. Warna putih yang menyiratkan lembaran baru di tahun baru.Perbedaan terong atau labu hanya perbedaan daerah saja. Di Semarang, lebih suka labu atau Jipang, sementara di Jakarta lebih suka terong.

Ayam Ibing dan Kelapa Sangrai
Ini sangat spesifik dan khas hanya ada di Semarang. Ada juga yang menyebutnya sate Abing. Abing sendiri dari bahasa Jawa yang menggambarkan warna merah yang sangat merah. Warna merah dalam bahasa Jawa disebut Abang, dan sangat merah disebut Abing. Pembuatannya lebih rumit dari opor biasa. Karena harus menggunakan kelapa parut yang disangrai sampai kering dan kecoklatan yang kemudian digiling sehingga menghasilkan cairan kental warna merah tua kecoklatan.

Cairan kental merah kecoklatan ini sebagai pengganti santan dalam memasak opor merah ini, sementara semua bumbunya sama persis seperti bumbu opor (minus kunyit, supaya warna merah tua terjaga). Rasanya bagaimana?Hanya orang Semarang yang mungkin bisa menggambarkannya.

Sesuai namanya yang sangat menyimbolkan makna yang sama dengan sambel goreng ati. Warna khas perayaan imlek dan masakan ini merupakan kemewahan tersendiri di saat merayakan tahun baru Imlek. Terlebih lagi tidak banyak orang yang bisa membuat ayam Abing dengan benar dan menghasilkan masakan yang sedap. 

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!