gadis suku Pushtun |
Sesungguhnya, potensi kreatifitas bangsa kita tak kalah
hebat. Memang semangatnya masih sebatas urusan ekonomi. Belum beranjak
bagaimana menjadi pionir karena terinspirasi produk atau kultur dari negara
lain. Buktinya, film atau album baru yang hari ini beredar di Amerika Serikat,
besok sudah ditemui bajakannya di Glodok. Bahkan ada anekdot, jangan memasukan
barang ke Indonesia. Nanti orang yang memasukan bisa-bisa ditiru juga! Luar
biasa.
Ledakan kreatifitas menjadi penting, karena inilah daya
yang menghidupkan segalanya. Di ranah apapun. Sunan Kalijaga menjadi wali
tersukses di Tanah Jawa, karena gaya dakwahnya yang tidak kaku dan monoton.
Tidak seperti ormas sekarang yang main gebuk jika berbeda dengan mereka. Sunan
Kalijaga mengadopsi kesenian wayang dengan cerita Mahabaratta, diganti
kisah-kisah sahabat Nabi Muhammad. Puji-pujian pada sang pencipta, diambil dari
tembang-tembang Jawa, tapi dengan syair yang bercerita soal ketauhidan.
Jujur saja, daya kreatifitas positif ini pantas mendapat
pujian. Seniman musik dan pencipta lagu kita merajai pasar Malaysia, karena
dinilai lebih kreatif. Bahkan dalam soal gaya panggung, penyanyi Indonesia
berhasil mengawinkan nilai-nilai agama dengan tuntutan komersial sebagai
penghibur, dan itu tidak membosankan. Gaya berjilbab kini semakin variatif, dan
mendukung penuh tampilan walau dalam panggung yang disesaki oleh ribuan
pengunjung sekalipun. Kondisi ini seperti mendobrak pakem dunia hiburan
sebelumnya, yang seolah-olah menahbiskan seorang penyanyi berjilbab seperti
sedang tampil di acara 17 Agustus-an.
Fatin dan Dewi Sandra |
Sentilan keras bukan berarti tak ada. Memahami hubungan
agama dan kultur masyarakat kita menjadi penting, agar kerangka berfikir kita
tidak stereotif, “aku adalah aku dan dia bukan aku”. Padahal dalam beragama
yang kaffah, kerangka fikir yang harus dikembangkan adalah “dia adalah aku, aku
adalah dia”. Bukankah menjadi sesuatu yang aneh, saat memutuskan berjilbab,
tapi sikap dan cara melihat sesuatu lantas tidak dirubah? Ada banyak contoh dan
salah satunya “tradisi” cium pipi kiri dan cium pipi kanan (cipika cipiki) yang
masih terus dilestarikan.
Cara
pandang yang benar akan menghasilkan keputusan yang benar. Termasuk keyakinan, jilbab
bukanlah busana penyelamat, saat seorang publik figur terindikasi tersangkut
kasus korupsi misalnya. Keseharian berbusana seksi, tapi giliran dipanggil Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) jadi tertutup rapat dan berkerudung. Bukan soal
citra Islam yang bakal tercemar. Al
Islamu ya’lu wala yu’la alaih.Islam itu tinggi nilainya, dan tidak ada
sesuatupun yang dapat menyaingi ketinggian nilai Islam. Ini hanya soal kepatutan.
Sebab tanpa pikiran jernih, jatuhnya akan timbul prasangka dan pikiran negatif.
Kasus
Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) yang menyebut kata “Pushtun” dalam percakapannya
dengan Ahmad Fathanah, tersangka kasus suap daging sapi impor menguatkan hal
ini. Melihat sepak terjang Fathanah dengan beberapa wanita cantik, “Pushtun”
lantas diasosiasikan sebagai hal negatif. Penghakiman tidak adil ini bahkan
menyentuh ke wilayah sensitif, termasuk mereka yang memutuskan untuk mengenakan
busana muslimah, tanpa motif-motif kebendaan. Sebagai publik figur, artis tentu
yang paling rentan diasosiasikan prasangka negatif ini.
Hmmm....tersangka korupsi |
Jepang
menjadi negara maju karena kreatifitasnya yang tinggi. Korea Selatan berhasil
mengekspor industri kreatifnya karena inovasi. Dunia pertunjukan
Indonesia,sudah bergerak dengan segala hal yang tidak dijumpai bahkan di Timur
Tengah sekalipun, sebagai tempat kelahiran Agama Islam. Inilah kreatifitas
terpenting yang tidak melanggar hukum, orisinil, alat syiar efektif dan
menginspirasi jutaan anak muda untuk tidak malu-malu bergaya dengan hijab.
Jika semua upaya itu kemudian “dirusak” oleh
pemahaman yang keliru akibat tingkah beberapa orang, sudah saatnya pihak-pihak
yang berkompeten turun tangan, sebelum semuanya
jadi salah kaprah dan susah diluruskan. Bukankah begitu?
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda!