Daftar Isi

Tuesday, June 4, 2013

Pushtun

gadis suku Pushtun
Pernah berkunjung ke Negeri Jepang? Datanglah sekali-kali dan kagumi kreatifitas teknologi mereka dari yang paling remeh hingga teramat njlimet. Begitu saran seorang teman, yang tahu saya tak pernah menginjak negara Jepang. Gambaran soal kemajuan negeri matahari terbit itu memang hanya saya dapat lewat bacaan. Itupun dari majalah bekas yang dibeli di alun-alun Kota Tegal, Jawa Tengah, tempat saya sering nongkrong saat SMA dulu. Di situ ditulis, Jepang bangkit dari keterpurukan tak punya apa-apa setelah dibom atom, lewat peniruan dan pengembangan tak kenal lelah teknologi Barat.

Sesungguhnya, potensi kreatifitas bangsa kita tak kalah hebat. Memang semangatnya masih sebatas urusan ekonomi. Belum beranjak bagaimana menjadi pionir karena terinspirasi produk atau kultur dari negara lain. Buktinya, film atau album baru yang hari ini beredar di Amerika Serikat, besok sudah ditemui bajakannya di Glodok. Bahkan ada anekdot, jangan memasukan barang ke Indonesia. Nanti orang yang memasukan bisa-bisa ditiru juga! Luar biasa.

Ledakan kreatifitas menjadi penting, karena inilah daya yang menghidupkan segalanya. Di ranah apapun. Sunan Kalijaga menjadi wali tersukses di Tanah Jawa, karena gaya dakwahnya yang tidak kaku dan monoton. Tidak seperti ormas sekarang yang main gebuk jika berbeda dengan mereka. Sunan Kalijaga mengadopsi kesenian wayang dengan cerita Mahabaratta, diganti kisah-kisah sahabat Nabi Muhammad. Puji-pujian pada sang pencipta, diambil dari tembang-tembang Jawa, tapi dengan syair yang bercerita soal ketauhidan.

Jujur saja, daya kreatifitas positif ini pantas mendapat pujian. Seniman musik dan pencipta lagu kita merajai pasar Malaysia, karena dinilai lebih kreatif. Bahkan dalam soal gaya panggung, penyanyi Indonesia berhasil mengawinkan nilai-nilai agama dengan tuntutan komersial sebagai penghibur, dan itu tidak membosankan. Gaya berjilbab kini semakin variatif, dan mendukung penuh tampilan walau dalam panggung yang disesaki oleh ribuan pengunjung sekalipun. Kondisi ini seperti mendobrak pakem dunia hiburan sebelumnya, yang seolah-olah menahbiskan seorang penyanyi berjilbab seperti sedang tampil di acara 17 Agustus-an.

Fatin dan Dewi Sandra
Mungkin karena suasananya yang sudah kondusif, beberapa publik figur kini tak segan-segan memilih jilbab sebagai pakaian sehari-hari. Sudah tentu ini keputusan besar. Mereka dalam masa produktif dan masih basah kuyup di dunia hiburan. Karena banyak juga artis berumur dan menikmati masa tua, tapi tak berani untuk memilih jalan itu. Segala pilihan, tentu punya risiko dan di atas segalanya, inilah sebenarnya kemenangan kreatifitas yang memangkas keraguan jika dengan berjilbabpun, para artis itu bisa tampil trendy.

Sentilan keras bukan berarti tak ada. Memahami hubungan agama dan kultur masyarakat kita menjadi penting, agar kerangka berfikir kita tidak stereotif, “aku adalah aku dan dia bukan aku”. Padahal dalam beragama yang kaffah, kerangka fikir yang harus dikembangkan adalah “dia adalah aku, aku adalah dia”. Bukankah menjadi sesuatu yang aneh, saat memutuskan berjilbab, tapi sikap dan cara melihat sesuatu lantas tidak dirubah? Ada banyak contoh dan salah satunya “tradisi” cium pipi kiri dan cium pipi kanan (cipika cipiki) yang masih terus dilestarikan.

Cara pandang yang benar akan menghasilkan keputusan yang benar. Termasuk keyakinan, jilbab bukanlah busana penyelamat, saat seorang publik figur terindikasi tersangkut kasus korupsi misalnya. Keseharian berbusana seksi, tapi giliran dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jadi tertutup rapat dan berkerudung. Bukan soal citra Islam yang bakal tercemar. Al Islamu ya’lu wala yu’la alaih.Islam itu tinggi nilainya, dan tidak ada sesuatupun yang dapat menyaingi ketinggian nilai Islam. Ini hanya soal kepatutan. Sebab tanpa pikiran jernih, jatuhnya akan timbul prasangka dan pikiran negatif.

Kasus Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) yang menyebut kata “Pushtun” dalam percakapannya dengan Ahmad Fathanah, tersangka kasus suap daging sapi impor menguatkan hal ini. Melihat sepak terjang Fathanah dengan beberapa wanita cantik, “Pushtun” lantas diasosiasikan sebagai hal negatif. Penghakiman tidak adil ini bahkan menyentuh ke wilayah sensitif, termasuk mereka yang memutuskan untuk mengenakan busana muslimah, tanpa motif-motif kebendaan. Sebagai publik figur, artis tentu yang paling rentan diasosiasikan prasangka negatif ini.

Hmmm....tersangka korupsi
Keteledoran LHI pantas disesalkan. Sebagai sebuah suku bangsa, perempuan-perempuan Pushtun di Afganistan justru sangat dijaga. Mereka tak bisa sembarangan bertemu laki-laki lain yang bukan muhrimnya. Konon untuk sekedar melihat kecantikan perawan Pushtun, seseorang yang berkunjung ke pemukiman mereka perlu hari keberuntungan. Tradisi ini terus hidup dan dihidupkan selama ratusan tahun, dan jadi “rusak” oleh kreatifitas segelintir orang kita. Entah bagaimana perasaan suku Pushtun, seandainya mereka tahu soal ini.

Jepang menjadi negara maju karena kreatifitasnya yang tinggi. Korea Selatan berhasil mengekspor industri kreatifnya karena inovasi. Dunia pertunjukan Indonesia,sudah bergerak dengan segala hal yang tidak dijumpai bahkan di Timur Tengah sekalipun, sebagai tempat kelahiran Agama Islam. Inilah kreatifitas terpenting yang tidak melanggar hukum, orisinil, alat syiar efektif dan menginspirasi jutaan anak muda untuk tidak malu-malu bergaya dengan hijab.  

Jika semua upaya itu kemudian “dirusak” oleh pemahaman yang keliru akibat tingkah beberapa orang, sudah saatnya pihak-pihak yang berkompeten turun tangan, sebelum semuanya  jadi salah kaprah dan susah diluruskan. Bukankah begitu?  

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!