Bagi
kaum muslim, peristiwa Isra Mi’raj merupakan momen yang sangat penting, karena setelah
peristiwa itulah, sholat 5 waktu diwajibkan. Secara istilah, Isra adalah berjalan di waktu
malam, sedangkan Mi‘raj
adalah alat (tangga) untuk naik.Isra mempunyai pengertian perjalanan Nabi
Muhammad SAW pada waktu malam hari dari Masjid Al Haram di Mekkah ke Masjid Al Aqsha di Palestina.
Sedangkan Mi’raj adalah kelanjutan
perjalanan Nabi Muhammad SAW dari
Masjid Al Aqsha di Palestina ke langit ke-7 (Sidratul Muntaha). Di
langit tertinggi inilah tempat Nabi Muhammad “bertemu” dengan Allah SWT. Dus,
Isra Mi’raj adalah kisah perjalanan Nabi Muhammad ke langit ke tujuh dalam
waktu semalam. Prosesi sejarah perjalanan Isra Mi’raj Nabi Muhammad ini
termaktub dalam Qur’an Surat (QS) Al-Isra’ ayat 1 dan QS An-Najm ayat 13-18.
Dimensi Metafisika dan Fisika
Tentu saja butuh
sebuah keimanan yang tangguh untuk mempercayai peristiwa ini. Ketika Nabi Muhammad
menceritakan pengalaman yang baru saja dilaluinya, saat itu langsung terbelah
menjadi dua kubu. Mereka adalah kubu (kaum) yang percaya (beriman)
dan kaum yang tidak percaya (kaum Quraisy). Bagi kaum muslim sendiri, seseorang
disebut beriman, jika dia percaya pada hal-hal ghaib (metafisika).
Dimensi metafisika ini, dalam ajaran Islam
terangkum pada 6 rukun iman. Diantaranya: (1) beriman (percaya) kepada Allah SWT, (2) percaya kepada adanya
Malaikat, (3) percaya kepada Rasul-Rasul Allah, (4) percaya pada Kitab-Kitab
Allah, (5) percaya pada adanya Hari Kiamat, dan (6) percaya pada Qada dan Qadar
(Takdir Allah di alam semesta). Kepercayaan kaum muslim terhadap
peristiwa Isra Mi’raj, merupakan implementasi dari 6 rukun iman ini.
Di luar dimensi metafisika, perdebatan
sengit juga kerap terjadi saat melihat kejadian Isra Mi’raj lewat kaca mata
ilmu fisika. Di dalam ilmu fisika modern, kecepatan partikel/benda yang paling
cepat saat ini adalah kecepatan cahaya (light speed). Kecepatan cahaya adalah sebuah
konstanta fisika yang disimbolkan dengan huruf c.Konstanta ini
sangat penting dalam fisika dan bernilai 299.792.458 meter per detik.
Perjalanan nabi saat Isra Mi’raj ditemani
oleh malaikat Jibril. Sesuai Al Qur’an dan Hadis, malaikat disebut terbuat dari
cahaya. DR. Mansour Hassab El Naby,
pakar astrofisika dari Mesir mencoba membuktikan pernyataan Al-Qur’an dan
hadist Rasulullah Muhammad bahwa zat
malaikat adalah cahaya. Dasar El Naby adalah Al-Qur’an surah
As-Sajadah ayat 5 yang menyatakan : “Dia
mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadaNya dalam
satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu”
Diketahui bahwa kecepatan cahaya sebesar 300.000 km
per detik (bulatan angka 299.792,4989 km/detik). Jika benar materi malaikat
adalah cahaya, maka mau tak mau kecepatan geraknya haruslah sesuai dengan
ukuran kecepatan cahaya temuan para fisikawan.
Untuk hal itu, El Naby mencoba membuktikan
apakah benar pernyataan Al-Qur’an ini; kecepatan malaikat 1 : 1000 tahun
adalah sama nilainya dengan 300.000 km/detik. Jika benar (1:1000) = 300.000
km/detik, berarti benarlah bahwa zat malaikat adalah cahaya. Apa hasilnya ?
Ternyata 1 :1000 tahun = 300.000 km/detik!
Bisa dibilang, peristiwa Isra dan Mi’raj (perjalanan 1
malam yang dilakukan Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram di Mekkah terus ke
Masjid Al Aqsha di Palestina, dan seterusnya naik ke Sidratul Muntaha di langit
ke-7) yang dilaluinya bersama Malaikat Jibril adalah benar secara Fisika maupun
Metafisika. Malaikat Jibril terbuat
dari cahaya, dan bergerak dengan kecepatan cahaya. Dengan begitu, nabi yang
ikut bersama Malaikat Jibril juga bergerak dengan kecepatan cahaya.
Tahun
Kesedihan
Menurut
riwayat, Isra Mi’raj terjadi pada periode akhir kenabian Muhammad di Mekkah sebelum
Rasulullah hijrah ke Madinah. Al-Maududi dan mayoritas ulama mengatakan, Isra
Mi’raj terjadi pada tahun pertama sebelum hijrah, yaitu antara tahun 620-621 M.
Sementara Al-Allamah al-Manshurfuri bilang, Isra Mi’raj terjadi pada malam 27
Rajab tahun ke-10 kenabian, dan inilah yang populer.
Secara psikologis, banyak pendapat yang mendukung Isra Mi’raj menjadi titik
balik kehidupan nabi, setelah beliau bertubi-tubi diterpa kesedihan. Dimulai
dari wafatnya paman beliau, Abi Thalib bin Muthalib, kemudian disusul istri
tercinta, Siti Khadijah, ditambah lagi perlakuan penolakan dakwah nabi dengan
dilempari batu dan cemooh. Nabi Muhammad merasa
tertekan dan sedih. Maka apabila diilustrasikan sebagai sebuah siklus, saat itu
Rasulullah sedang berada pada titik terendah dalam hidupnya, merasa kehilangan
dan sendiri.
Pendapat lain meyakinkan, Isra Mi’raj merupakan perjalanan suci, dan
bukan sekadar perjalanan “wisata” biasa bagi Rasul. John Renerd dalam buku ”In
the Footsteps of Muhammad: Understanding the Islamic Experience,” seperti
pernah dikutip Azyumardi Azra, mengatakan bahwa Isra Mi’raj adalah satu dari
tiga perjalanan terpenting dalam sejarah hidup Rasulullah SAW, selain
perjalanan hijrah dan Haji Wada. Isra Mi’raj, menurutnya, benar-benar merupakan
perjalanan heroik dalam menempuh kesempurnaan dunia spiritual.
masjid Al Aqsha dan Al Sakhrah |
Jika perjalanan hijrah dari Mekah ke Madinah pada 662 M menjadi permulaan
dari sejarah kaum Muslimin, atau perjalanan Haji Wada yang menandai penguasaan
kaum Muslimin atas kota suci Mekkah, maka Isra Mi’raj menjadi puncak perjalanan
seorang hamba (al-abd) menuju sang pencipta (al-Khalik). Isra Mi’raj adalah
perjalanan menuju kesempurnaan ruhani (insan kamil). Sehingga, perjalanan ini
menurut para sufi, adalah perjalanan meninggalkan bumi yang rendah menuju
langit yang tinggi.
Lebih dari segalanya, menurut Dr
Jalaluddin Rakhmat, salah satu momen penting dari peristiwa Isra Mi’raj yakni
ketika Rasulullah SAW “berjumpa” dengan Allah SWT. Ketika itu, dengan penuh
hormat Rasul berkata, “Attahiyatul mubaarakaatush shalawatuth thayyibatulillah
(Segala penghormatan, kemuliaan, dan keagungan hanyalah milik Allah saja)”.
Allah SWT pun berfirman, “Assalamu’alaika ayyuhan nabiyu warahmatullahi
wabarakaatuh (Keselamatan bagimu wahai seorang nabi, rahmat dan berkahnya)“.
Perjumpaan ini menjadi inti dari peristiwa Isra Mi’raj. Karena saat itulah,
Muhammad diperintahkan untuk menegakan shalat 5 waktu. Bagi kaum muslim, shalat merupakan
media untuk mencapai kesalehan spiritual.
Shalat juga menjadi sarana untuk menjaga keseimbangan kehidupan masyarakat. Al
– Qur’an menyatakan bahwa shalat yang dilakukan dengan khusu’ akan bisa
mencegah perbuatan keji dan mungkar, sehingga tercipta tatanan masyarakat yang
harmonis, egaliter, dan beretika.
Ingatkan Kesucian Baitul Maqdis
Ujian keimanan menjadi hal pertama yang harus dipertaruhkan, saat mendengar
peristiwa Isra Mi’raj. Selain itu, Sayyed Hossein Nasr dalam
buku ‘Muhammad Kekasih Allah’ (1993) mengungkapkan bahwa
pengalaman ruhani yang dialami Rasulullah SAW saat Mi’raj mencerminkan hakikat
spiritual dari shalat yang di jalankan umat Islam sehari-hari. Dalam artian
bahwa shalat adalah Mi’raj-nya orang-orang beriman. Sehingga jika ditarik
benang merahnya, ada beberapa urutan dalam perjalanan Rasulullah SAW ini.
Pertama, adanya penderitaan dalam perjuangan yang disikapi dengan kesabaran
yang dalam. Kedua, kesabaran yang berbuah balasan dari Allah berupa perjalanan
Isra Mi’raj dan perintah shalat. Dan ketiga, shalat menjadi senjata bagi
Rasulullah SAW dan kaum Muslimin untuk bangkit dan merebut kemenangan. Ketiga
hal diatas telah terangkum dengan sangat indah dalam salah satu ayat Al-Quran,
yang berbunyi “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya
yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk”.
Peristiwa Isra Mi’raj, dalam
batas-batas tertentu juga menjadi pengingat tentang tempat-tempat suci umat
Islam yang lain,selain Masjidil Haram yang sudah terkenal. Nama Masjid al-Aqsa
bila diterjemahkan dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia, maka ia berarti
"masjid terjauh". Nama ini berasal dari keterangan dalam Al Qur’an Surat Al-Isra ayat 1 mengenai
Isra Mi’raj. Istilah "terjauh" dalam hal ini digunakan dalam konteks
yang berarti "terjauh dari Mekkah", karena jaraknya yang hampir 2000
kilometer.
Selama berabad-abad yang dimaksud dengan Masjid Al-Aqsa
sesungguhnya tidak hanya masjid saja, melainkan juga area di sekitar bangunan
itu yang bernama Baitul Maqdis yang dianggap sebagai suatu tempat yang suci.
Perubahan penyebutan kemudian terjadi pada masa pemerintahan Kesultanan
Ustmaniyah dimana area kompleks
di sekitar masjid disebut sebagai Al Haram Asy-Syarif. Sedangkan bangunan ini awalnya
adalah rumah ibadah kecil yang didirikan oleh Umar
bin Khattab yang kini disebut sebagai Jami' Al-Aqsa atau Masjid Al-Aqsa
Kesucian tempat ini sudah dikenal sejak Nabi masih hidup. Tak aneh,sebelum
turun perintah menjadikan Mekkah sebagai kiblat sholat, Baitul Maqdis di
Jerusalem dijadikan arah kiblat. Masjid
Al-Aqsa merupakan bangunan tertua kedua setelah Ka’bah di Mekkah, dan tempat
suci dan terpenting ketiga setelah Mekkah dan Madinah.
masjid Al Aqsha |
Luas kompleks Masjid Al-Aqsa sekitar 144.000 meter persegi, atau 1/6 dari
seluruh area yang dikelilingi tembok kota tua Jerusalem yang berdiri saat ini. Oleh
Kaum Yahudi,tempat ini juga dikenal dengan sebutan Kuil Sulaiman. Kompleks
Masjid Al-Aqsa dapat menampung sekitar 400.000 jemaah (Masjid Al-Aqsa menampung
sekitar 5.000 jamaah, selebihnya sholat di kompleks yang ber-area terbuka).
Di pusat kompleks Kuil Sulaiman, terdapat Foundation Stone yaitu batu
landasan yang dipercaya Umat Yahudi sebagai tempat Yahweh menciptakan alam
semesta dan tempat Abraham mengorbankan
Isaac. Bagi umat Islam batu ini adalah tempat Nabi Muhammad menjejakkan kakinya
untuk Mi’raj. Untuk melindungi batu ini, Khalifah Abd Al Malik Ibn Marwan
membangun kubah dan masjid polygon, yang kemudian terkenal dengan nama Dome of
The Rock (Kubah batu).
Inilah yang kerap menjadi kegelisahan umat Muslim. Karena saat di
sebut masjid
Al-Aqsha selalu yang ditampilkan adalah Dome of The Rock alias masjid Qubah
Al-Shakhra’. Sengaja atau tak sengaja, gambar masjid Qubbah al-Shakhra akan
membuat umat muslim kehilangan ingatan tentang masjid Al-Aqsha. Karena tempat
ini juga sedang diperebutkan oleh Umat Yahudi, ada anggapan hal itu dilakukan
Israel untuk secara perlahan-lahan menghilangkan eksistensi Masjid Al Aqsa,
karena mereka meyakini di bawah Masjid Al Aqsa itu ada reruntuhan kuil Sulaiman,
yang dicita-citakan Israel untuk kembali dibangun.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda!