Sabtu (26/10) sore, sehari setelah Hari
Raya Idul Qur’ban, saya diminta istri untuk membeli sebutir kelapa. Kebetulan
dari rumah sakit tempatnya bekerja, ada beberapa potong daging kambing yang
akan kami bikin gulai. Sembari jalan pulang kantor, saya mampir di sebuah warung
dekat perumahan Taman Serua, memesan sebutir kelapa yang sudah diparut.
Harganya 5 ribu rupiah. Saya bawa uang
Rp 10 ribu dan dikembalikan Rp 5 ribu.
Hal yang mengejutkan, ketika saya
bersiap-siap hendak pulang, seorang anak kecil sepantaran anak saya (4,5 tahun)
segera menyambangi. Dengan suara lemah, dia meminta uang. Awalnya saya agak
acuh. Maklumlah. Sudah terlalu bebal mata ini melihat anak kecil mengemis di
jalanan Jakarta. Tapi, ketika saya menyadari bahwa ini di Pondok Petir, rasa
empati saya segera saya bangkitkan. Spontan saya buka dialog.
“Kenapa minta duit?”tanya saya.
“Di suruh emak,”ujarnya pendek.
“Emakmu tidak kerja?”
Tanpa ragu ia menjawab,“Tidak bang. Katanya
utangnya banyak,”.
“Kamu tinggal di mana?”cecar saya.
“Tinggal di kontrakan belakang,”jawabnya,
cepat.
“Bapak ke mana?”
“Bapak kerja di Cipayung. Tapi sampai
sekarang nggak pulang pulang,”
Saya langsung berfikir, anak ini tidak
berbohong. Bukan karena secara psikologis anak balita memang susah diajak
berbohong. Bukan. Tapi dari sorot mata dan jawabannya yang cepat, dia memang
mengalami kondisi seperti yang diucapkannya. Jika pun benar ia bertindak karena
disuruh emaknya, boleh jadi emaknya sudah dalam taraf keputusasaan yang amat sangat,
hingga harus menggadaikan harga diri anaknya untuk sekedar mencari sesuap nasi.
Saya tidak ingin menyalahkan ayahnya,
yang tanpa disalahkan pun ia sudah salah. Namun melihat realitas ini, saya jadi
teringat klasifikasi ekonomi model Mbah Jambrong, yang membagi strata ekonomi
menjadi 4 peringkat. Pertama, mereka
yang bangun pagi dan berkata,”Apakah hari ini saya bisa makan?”. Kedua, mereka yang sambil leyeh-leyeh lantas
berguman,”Hari ini kita makan apa ya?”. Dan ketiga,
mereka yang mengendarai mobil bertelepon ria sambil berujar,”Hari ini kita
makan di mana sob?”.Strata tertinggi, yaitu keempat,
mereka yang sambil tertawa-tawa bilang,”Hari ini kita makan siapa boss?”.
Okelah, usah pikir
pemeringkatan itu, karena itu hanya joke,
untuk menggambarkan beginilah hasil pembangunan ekonomi model Orde Baru, yang
mengandalkan trickle down effect.
Faktanya, untuk mendapatkan “tetesan” kue ekonomi yang tersedia, prasyarat
skill mutlak diperlukan, dan itu hanya bisa diraih lewat sekolah formal. Saya
tidak bisa membayangkan, bagaimana nasib pengemis balita itu, jika untuk makan
sehari-hari saja susah. Mungkinkah dia mendapat pendidikan yang layak, agar
bisa mengubah status sosialnya dalam
waktu singkat?
Pertanyaan berikutnya, berapa banyak
pengemis-pengemis balita, yang terpaksa harus kehilangan masa kanak-kanaknya,
akibat kesulitan ekonomi yang menjerat leher orang tuanya? Jawabannya
barangkali pendek saja;bejibum. Lantas, berapa banyak orang-orang kaya, yang
membelanjakan uangnya untuk hal sia-sia, dan hanya untuk memenuhi syahwat
pribadi atau sekedar menaikan gengsi dan prestis di depan koleganya?Jawabannya
juga lumayan simple;nggak kehitung.
Mungkin yang kelihatan hanya ketika ada
kasus besar, macam Hakim yang ketangkap nyabu bareng cewek di tempat karaoke,
setelah membuang uang jutaan rupiah untuk membeli narkoba dan booking pemandu. Sepanjang sekian tahun
saya bergelut sebagai jurnalis, sekian puluh kali pula saya harus geleng-geleng
kepala, melihat gaya hidup para pejabat dan pengusaha, yang sudah kelebihan
uang di saku celananya.
Idul Qur’ban tahun ini, saya sungguh
malu, ketika niat baik untuk memberikan uang kembalian pada pengemis balita itu
sempat tertunda beberapa menit, akibat buruk sangka akut melihat para pengemis
di Jakarta. Padahal beberapa jam sebelumnya, saya sempat membaca kisah Mak
Yati, pemulung yang tiga tahun mengumpulkan uang untuk membeli dua kambing
untuk dikorbankan. Sehari sebelumnya, emak di kampung bahkan sudah menegur,
karena saya tidak mengirim kurban kambing di mushala desa.
Pada akhirnya, momentum Idul Qur’ban
bukan semata untuk membangkitkan ghirah
membeli domba dan sapi terbaik, sembari berharap nama kita disebut di depan
khalayak ketika korban kita akan dipotong. Sisi ini terlalu dangkal untuk
dicecap. Ada dimensi lain, yang sering kita lalai, tersebab kita terlalu lama
berdiri di menara gading kehidupan. Tak perlu jauh-jauh melihatnya di pusat
Jakarta. Kondisi ini bahkan sudah mendekat dan terjadi tak jauh dari Taman
Serua.
Saya tidak tahu bagaimana jalan
pemecahannya, karena saya bukan pakar ekonomi. Namun yang jelas, saat gulai
masakan istri itu sudah matang, saya jadi teringat, apakah pengemis balita itu
juga sedang merasakan berkah dari Idul Qur’ban?Ataukah ia justru masih
menyusur-nyusur jalan, sekedar untuk mencari belas kasihan dari lain orang,
untuk makan dan mungkin menutup utang emaknya?
Enak memang gulai olahan istri. Tapi
dari dalam nurani yang amat tulus, saya bermimpi, seandainya dia bisa hadir,
akan saya hidangkan semangkok gulai agar
ia bisa menyantapnya. Syukur-syukur bareng anak saya. Sayang, saya lupa
bertanya di mana kontrakan emaknya. Saya memang terlalu kurang ajar mengabaikan
begitu saja “ayat” Allah yang terlihat sepele, tapi sesungguhnya amat krusial
untuk direnungkan. Andai saja mata batin saya cukup tajam….?Ah!
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda!