Daftar Isi

Saturday, October 27, 2012

pengemis kecil di tepi Taman Serua

Sabtu (26/10) sore, sehari setelah Hari Raya Idul Qur’ban, saya diminta istri untuk membeli sebutir kelapa. Kebetulan dari rumah sakit tempatnya bekerja, ada beberapa potong daging kambing yang akan kami bikin gulai. Sembari jalan pulang kantor, saya mampir di sebuah warung dekat perumahan Taman Serua, memesan sebutir kelapa yang sudah diparut. Harganya  5 ribu rupiah. Saya bawa uang Rp 10 ribu dan dikembalikan Rp 5 ribu.

Hal yang mengejutkan, ketika saya bersiap-siap hendak pulang, seorang anak kecil sepantaran anak saya (4,5 tahun) segera menyambangi. Dengan suara lemah, dia meminta uang. Awalnya saya agak acuh. Maklumlah. Sudah terlalu bebal mata ini melihat anak kecil mengemis di jalanan Jakarta. Tapi, ketika saya menyadari bahwa ini di Pondok Petir, rasa empati saya segera saya bangkitkan. Spontan saya buka dialog.

“Kenapa minta duit?”tanya saya.
“Di suruh emak,”ujarnya pendek.
“Emakmu tidak kerja?”
Tanpa ragu ia menjawab,“Tidak bang. Katanya utangnya banyak,”.
“Kamu tinggal di mana?”cecar saya.
“Tinggal di kontrakan belakang,”jawabnya, cepat.
“Bapak ke mana?”
“Bapak kerja di Cipayung. Tapi sampai sekarang nggak pulang pulang,”

Saya langsung berfikir, anak ini tidak berbohong. Bukan karena secara psikologis anak balita memang susah diajak berbohong. Bukan. Tapi dari sorot mata dan jawabannya yang cepat, dia memang mengalami kondisi seperti yang diucapkannya. Jika pun benar ia bertindak karena disuruh emaknya, boleh jadi emaknya sudah dalam taraf keputusasaan yang amat sangat, hingga harus menggadaikan harga diri anaknya untuk sekedar mencari sesuap nasi.

Saya tidak ingin menyalahkan ayahnya, yang tanpa disalahkan pun ia sudah salah. Namun melihat realitas ini, saya jadi teringat klasifikasi ekonomi model Mbah Jambrong, yang membagi strata ekonomi menjadi 4 peringkat. Pertama, mereka yang bangun pagi dan berkata,”Apakah hari ini saya bisa makan?”. Kedua, mereka yang sambil leyeh-leyeh lantas berguman,”Hari ini kita makan apa ya?”. Dan ketiga, mereka yang mengendarai mobil bertelepon ria sambil berujar,”Hari ini kita makan di mana sob?”.Strata tertinggi, yaitu keempat, mereka yang sambil tertawa-tawa bilang,”Hari ini kita makan siapa boss?”.

Okelah, usah pikir pemeringkatan itu, karena itu hanya joke, untuk menggambarkan beginilah hasil pembangunan ekonomi model Orde Baru, yang mengandalkan trickle down effect. Faktanya, untuk mendapatkan “tetesan” kue ekonomi yang tersedia, prasyarat skill mutlak diperlukan, dan itu hanya bisa diraih lewat sekolah formal. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana nasib pengemis balita itu, jika untuk makan sehari-hari saja susah. Mungkinkah dia mendapat pendidikan yang layak, agar bisa mengubah status sosialnya  dalam waktu singkat?

Pertanyaan berikutnya, berapa banyak pengemis-pengemis balita, yang terpaksa harus kehilangan masa kanak-kanaknya, akibat kesulitan ekonomi yang menjerat leher orang tuanya? Jawabannya barangkali pendek saja;bejibum. Lantas, berapa banyak orang-orang kaya, yang membelanjakan uangnya untuk hal sia-sia, dan hanya untuk memenuhi syahwat pribadi atau sekedar menaikan gengsi dan prestis di depan koleganya?Jawabannya juga lumayan simple;nggak kehitung.

Mungkin yang kelihatan hanya ketika ada kasus besar, macam Hakim yang ketangkap nyabu bareng cewek di tempat karaoke, setelah membuang uang jutaan rupiah untuk membeli narkoba dan booking pemandu. Sepanjang sekian tahun saya bergelut sebagai jurnalis, sekian puluh kali pula saya harus geleng-geleng kepala, melihat gaya hidup para pejabat dan pengusaha, yang sudah kelebihan uang di saku celananya.

Idul Qur’ban tahun ini, saya sungguh malu, ketika niat baik untuk memberikan uang kembalian pada pengemis balita itu sempat tertunda beberapa menit, akibat buruk sangka akut melihat para pengemis di Jakarta. Padahal beberapa jam sebelumnya, saya sempat membaca kisah Mak Yati, pemulung yang tiga tahun mengumpulkan uang untuk membeli dua kambing untuk dikorbankan. Sehari sebelumnya, emak di kampung bahkan sudah menegur, karena saya tidak mengirim kurban kambing di mushala desa.

Pada akhirnya, momentum Idul Qur’ban bukan semata untuk membangkitkan ghirah membeli domba dan sapi terbaik, sembari berharap nama kita disebut di depan khalayak ketika korban kita akan dipotong. Sisi ini terlalu dangkal untuk dicecap. Ada dimensi lain, yang sering kita lalai, tersebab kita terlalu lama berdiri di menara gading kehidupan. Tak perlu jauh-jauh melihatnya di pusat Jakarta. Kondisi ini bahkan sudah mendekat dan terjadi tak jauh dari Taman Serua.

Saya tidak tahu bagaimana jalan pemecahannya, karena saya bukan pakar ekonomi. Namun yang jelas, saat gulai masakan istri itu sudah matang, saya jadi teringat, apakah pengemis balita itu juga sedang merasakan berkah dari Idul Qur’ban?Ataukah ia justru masih menyusur-nyusur jalan, sekedar untuk mencari belas kasihan dari lain orang, untuk makan dan mungkin menutup utang emaknya?

Enak memang gulai olahan istri. Tapi dari dalam nurani yang amat tulus, saya bermimpi, seandainya dia bisa hadir, akan saya hidangkan semangkok gulai  agar ia bisa menyantapnya. Syukur-syukur bareng anak saya. Sayang, saya lupa bertanya di mana kontrakan emaknya. Saya memang terlalu kurang ajar mengabaikan begitu saja “ayat” Allah yang terlihat sepele, tapi sesungguhnya amat krusial untuk direnungkan. Andai saja mata batin saya cukup tajam….?Ah!


No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!