Daftar Isi

Monday, September 9, 2013

Joget Caisar


Goyang Caisar
Perlu waktu berapa lama bagi Caisar, dengan ijasah SMA yang digenggamnya untuk bisa memiliki mobil jika jadi karyawan formal? Taruh kata jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Atau bekerja di kantor swasta, dengan gaji standar UMP Jakarta. Lepas dari soal rejeki,saat goyangannya ditiru di mana-mana dan digemari, nasib anak muda itu akhirnya berubah total. Belum lagi lagu dangdut yang dipilihnya untuk berjoget. Di berbagai pelosok, entah di rumah atau keramaian pasar, tembang Buka Sithik Joss kini selalu diputar, lengkap dengan suara serunai-nya yang mendengking-dengking.

Kekuatan  ekonomi kreatif, alhasil tak bisa dipandang sebelah mata. Mungkin bisa disebut, inilah solusi ketika pemerintah kesulitan membuka lapangan kerja baru. Pelaku ekonomi ini tak perlu punya ijasah Doktor. Modal kreatifitas dipadu konsep yang  bagus, cukup menghibur dan sokongan media, mampu menjadi daya ledak untuk mengangkat nasib kaum yang memiliki skill akademik terbatas. Kenyataan ini setidaknya sudah dibuktikan sendiri oleh negeri gingseng Korea Selatan.

Harus diakui, kita tertinggal melangkah dibanding Korsel. Kementerian ekonomi kreatif juga baru dibentuk belakangan, setelah menyadari dahsyatnya potensi dari sektor ini. Saat Korsel sudah mengekspor seni pertunjukan lewat budaya K-popnya ke berbagai negara, kita baru terbangun. Hal serupa terjadi, ketika drama-drama Korea aktif wara wiri di layar gelas, kita mulai berfikir membuat sinetron.  Di saat yang sama, jelajah film-film Hollywood dan Bollywood sudah merangsek hingga ke bioskop-bioskop kecil di kota terpencil.

Memang apresiasi pantas disematkan, saat Pak Beye mendorong kerjasama dengan Korsel, untuk mengembangkan ekonomi kreatif. Tapi melihat tingkah polah para politisi di bawahnya, sejatinya kita memang negeri yang tak punya etos untuk memikirkan ranah ini. Lihat saja Jokowi. Belum juga kelar mewujudkan janjinya untuk membuat gedung pertunjukan yang representatif di Jakarta, sudah ditarik-tarik untuk nyapres. Pelaku ekonomi kreatif seolah dibutuhkan saat kampanye saja. Begitu terpilih, wadah dan media untuk beraktifitas tak masuk agenda.

Ketika perfilman Indonesia mati suri,dulu sempat ada pikiran agar sineas kita lebih banyak membuat film dokumenter. Ini wujud kreatifitas yang relatif tak makan dana banyak. Ada banyak hal bisa jadi tema. Kata Garin, harus ada semacam kiat agar para pekerja kreatif bisa eksis, tetap bersemangat dan terasah skill-nya. Ibaratnya, harus memakai “kacamata” baru untuk melihat “cuaca” baru. Tapi setelah Indonesia pulih dari keterpurukan ekonomi, dan ketika era reformasi sudah berjalan sekian tahun, perhatian pada ekonomi kreatif tetap tak memadai.

Saat pihak swasta bersemangat dengan segala perangkat dan dana yang tersedia, itu pun tak imun dari pihak-pihak yang menyoal, tanpa alasan jelas. Kasus Miss World menjadi contoh terbaru. Kontes yang sejatinya tak ada urusan dengan dogma agama, dengan segenap daya ditarik ke wilayah agama. Beruntung pentas Metallica yang belum lama bertamu berlangsung aman. Mungkin jika ada ormas yang meminta untuk tidak pentas, dengan alasan mereka mengusung musik syetan, karut marut dunia kreatif Indonesia akan semakin jelas terlihat.

Kita kerap tidak dewasa, dan tidak bisa memilah dan memilih mana hal yang terkait dengan urusan akidah, mana yang masuk dalam ranah budaya. Kondisi ini terjadi dalam banyak hal. Bahkan untuk busana saja, masih saja kita mau terkooptasi dengan pakaian gaya Timur Tengah. Padahal Islam hanya mensyaratkan, agar berpakaian tidak ketat dan transparan, serta modelnya bukan seperti pakaian kebesaran agama lain. Soal bentuk, silahkan adu kreatifitas. Tak ada ganjaran khusus bila bersorban, atau hanya memakai kopiah.

Butuh pemahaman betapa dunia kreatif dan budaya bisa jadi penyokong roda ekonomi, sekaligus alat diplomasi ampuh untuk menunjukkan wajah Indonesia. Dalam lingkup yang lebih sempit, ia juga bisa menjadi alat dakwah, seperti yang dilakukan Rhoma Irama. Pendekatan budaya dan olah kreatifitas bahkan lebih ampuh dibanding dakwah yang berbuih-buih dari mulut para da’i. Jilbab Manohara dan hijab Fathin yang sempat populer dan menginspirasi jutaan remaja putri berbusana muslimah, menjadi bukti betapa mangkusnya syiar lewat dunia kreatif.

Di benua lain, bertahun-tahun Amerika Serikat dikesankan sebagai negara yang kalah perang di Vietnam. Mereka pulang dengan meninggalkan 58 ribu serdadunya yang dibantai tentara Vietcong. Tapi serial Rambo mengubah segalanya. Amerika seolah negara pemenang perang. Begitu pula kekumuhan India, menjadi tak ada artinya, saat gelontoran film-film India menampilkan pemandangan sungai, padang hijau, taman dan  pohon rindang di sekujur balutan ceritanya. Tentu tak hanya lewat media film sebagai produk budaya. Lewat dunia kreatif, kita bisa bicara banyak dalam sebuah bahasa yang universal,tanpa takut dicap sebagai propaganda.

Caisar sudah mulai, setelah Psy terkenal lewat joget Gangnam Style-nya. Meski terkesan masih mengekor, beberapa tv lain mulai menampilkan joget cha-cha-cha dan gaspol. Kita terus menantikan sesuatu yang baru, lebih menghibur, lebih kreatif, syukur-syukur bisa mendunia seperti Gangnam Style. Jika pun para pengambil kebijakan negeri ini lebih asyik dengan urusan politik,percayalah, saat mereka hampir “stroke”, pasti larinya ke hiburan juga. Para pekerja kreatif dan pelaku ekonomi kreatif itu orang-orang yang diberkahi Tuhan dengan talenta khusus. Ditangannya, dunia menjadi begitu gembira. Bukankah hakikat kemanusiaan kita sebenarnya adalah mencipta, dan tidak sekedar mengonsumsi?



Monday, September 2, 2013

Miss World

Memasuki Bulan September,sebuah perhelatan akbar Miss World 2013 akan diadakan di Indonesia. Ini sebuah ajang kontes kecantikan, yang diikuti oleh ratusan peserta dari berbagai negara. Ajang Miss World diklaim oleh panitia pelaksana bisa menaikan potensi pariwisata Indonesia. Sementara di sisi lain, penolakan juga tak kalah kencang, seperti yang dilakukan Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).Alasannya sederhana, kegiatan Miss World tak ada guna buat kemaslahatan bangsa, bahkan dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam, yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia.

Isu sentralnya selalu soal adab berpakaian.Panitia Miss World sendiri sudah meyakinkan publik, jika sesi peserta berbikini akan diganti dengan sarung Bali. Ada semacam kompromi maksimal terhadap budaya lokal, agar resistensi penyelenggaraan Miss World tidak berujung seperti di Nigeria misalnya. Miss World bisa tampil lebih sopan, dengan tak meninggalkan ciri khas kompetisinya sebagai ajang adu kecanggihan brain, beauty dan behaviour. Tentu juga tak kalah pentingnya, aspek ekonomi dari terangkatnya nama Indonesia di kancah internasional, karena sorotan kamera dari seluruh dunia akan memberitakannya.

Tak bisa dimungkiri, “perang” sesungguhnya antara panitia pelaksana dan penentang Miss World memang lebih ke perdebatan paradigma. Panitia Miss World berdalih, negara kita bukanlah negara agama. Sementara FPI dan MUI berlandaskan dalil-dalil agama, yang dengan alasan apapun tidak akan membenarkan penyelenggaraan Miss World. Menampilkan lekuk-lekuk tubuh perempuan, walau masih dibalut sarung Bali, tetap dilarang dengan alasan syar’i. Kecantikan perempuan, dalam perspektif yang lebih luas, juga tidak harus dinilai dalam sebuah kompetisi fisik, karena ada hal-hal lain yang bisa menunjukan seorang perempuan terlihat cantik dan cerdas.

Jika merujuk ini, saya jadi teringat kata-kata seorang bijak, yang mengumpakan kehormatan perempuan seperti sebuah permen. Sepotong kembang gula yang sudah terbuka, tentu akan berbeda nilainya jika permen itu masih terbungkus rapi. Meski begitu, ini yang kerap jadi bahan kritikan, ada ketidakkonsistenan para penentang Miss World terhadap kenyataan yang ada. Coba lihat dan cermati, berapa banyak film dan sinetron yang memperlihatkan adegan tak senonoh dan terbuka, yang beredar luas di masyarakat, tanpa ada upaya pencegahan. Bukankah perempuan berbikini sudah menjadi “jualan” para produser film esek-esek sejak lama dan sejauh ini aman-aman saja?

Di era ketika dunia hiburan sudah menjadi industri yang melintas batas  negara,jika pun Miss World diadakan di negara lain, kita bisa mengaksesnya dengan  mudah lewat internet. Mungkin upaya paling realistis adalah memberi penyadaran generasi muda, untuk menimbang dengan cermat saat hendak mengikuti kontes-kontesan; entah Miss Indonesia atau Puteri Indonesia. Jujur diakui,kontes ratu-ratuan kadang dianggap sebagai jalan paling lempang untuk meraih popularitas dan uang lewat dunia hiburan. Sikap serba instan dan enggan mengikuti proses inilah yang membuat jiwa kita menjadi tidak tahan banting.

Bagaimanapun, dunia hiburan penuh dengan intrik dan kamuflase. Seorang teman menyebut, meski diliputi glamouritas, di dalamnya penuh dengan jiwa-jiwa yang sunyi. “Banyak jebakan betmen didalamnya, yang jika kita tak pandai meniti, bisa jatuh terjerembab,”kata sang teman, yang juga mantan presenter di sebuah stasiun televisi swasta terkenal itu. Sore itu, teman saya ini rupanya ingin berbagi informasi, soal rencana lamaran seorang penyanyi dangdut dengan goyang khasnya oleh  seorang laki-laki yang mengaku pengusaha.

Si lelaki, kata sang teman, punya rekam jejak yang buruk sebagai penipu. Teman si mantan presenter sempat akan jadi korban, sebelum semuanya terbongkar. Dengan alasan akan dinikahi, harta bendanya dihisap tanpa mampu dicegah,karena seperti dihipnotis. “Sepertinya si penyanyi dangdut itu sudah mulai terpedaya. Kasihan ya,”katanya. Kisah-kisah seperti ini, sebetulnya sudah jadi makanan pewarta infotainment tiap hari,walau tetap saja ada yang jadi korban karena kewaspadaan yang rendah. Dus, masuk ke dunia hiburan, laksana masuk ke hutan belantara, dengan “binatang” buas dan kejam berkeliaran, yang tiap saat siap menerkam.

Tentu tak semua jebolan Miss World atau kontes-kontes kecantikan lain, sukses berkarir di dunia  hiburan. Dalam banyak kasus, event seperti itu bahkan menjadi bukti penting cengkeraman kapitalisme global, dengan “bungkus” pencarian perempuan-perempuan berbakat.  Lagi-lagi, walau untuk mengikuti kontes seperti itu adalah pilihan pribadi, diperlukan pemikiran panjang agar kita tak jatuh hanya jadi sekedar komoditas. Tak hanya jadi sekedar obyek, dari pemodal kuat yang bermain di belakangnya. Jika kesadaran semacam ini sudah tumbuh, tanpa perlu dilarang pun, kontes-kontes seperti itu akan lenyap dengan sendirinya.

Akhirnya, Miss World di satu sisi, dan penentangnya di sisi lain, walau saling berhadapan secara diametral, semoga bisa menjadi mosaik keindahan berdemokrasi. Ibaratnya, anda boleh saja tidak setuju dengan pendapat saya. Tapi hak anda untuk berbicara akan saya bela mati-matian. Soal apakah nanti perhelatan Miss World akan menuai maslahat atau mudharat, waktu nanti yang akan membuktikan.  Kedewasaan berbeda pendapat, akan meneguhkan kita sebagai negara demokrasi terbesar di dunia. Bukankah esensi demokrasi adalah sepakat untuk tidak sepakat?






Monday, August 19, 2013

Tragedi Mesir


Lagu-lagu dalam Bahasa Arab, meski bersyair tentang patah hati yang merintih-rintih, kerap dianggap sebagai lagu shalawat oleh masyarakat kita. Saat Fairuz, diva legendaris dari Lebanon, bersyair tentang romantisisme lewat nada-nada indah, kita kadang tak bisa membedakannya, apakah itu lagu pujian pada Tuhan, atau tidak. Begitu pula lagu-lagu dangdut, karena ada unsur gambusnya, kerap dianggap lagu Islami, walau syairnya berbunyi,”Aduh,aduh, aduh…salome…satu lobang ramai-ramai,”.

Saat puluhan ribu massa demonstran berteriak ‘Allahu Akbar’ di depan masjid Rabiah Al Adawiyah, ketika deru tank tentara Mesir menggusur mereka, kita langsung menganggap ada kezaliman terhadap umat Islam. Bentrok massa Ikhwanul Muslimin dan tentara Mesir itu lantas menuai banyak simpati. Di jejaring sosial, di status-status blackberry, kerap terpasang display picture dengan teriakan lantang,”Save Egypt” atau “Stop Massacre”.

Pembantaian itu tentu saja memilukan hati. Bertahun-tahun Mesir dikenal sebagai pusat studi Islam dengan Universitas Al Azharnya yang termasyhur. Berpuluh tahun pula Mesir jadi kekaguman dunia karena pusat peradaban  kuno dengan situs fir’aunnya. Mungkin seperti Amerika Serikat saat ini. Kala negeri Barat masih di selimuti takhayul dan pemujaan pada roh halus, 3000 tahun sebelum Masehi Mesir sudah membuat piramida yang maha rumit.

Citra sebagai negeri yang aman dan beradab, sempat pula diangkat ke layar lebar lewat film Ketika Cinta Bertasbih. Sebelumnya, setting film Ayat-ayat Cinta juga mengambil lokasi Mesir. Sayang, hanya dalam hitungan hari, sejak Presiden Muhammad Mursi dikudeta militer Mesir, citra positif itu luluh lantak. Mesir kini jadi wilayah yang menakutkan! Negara-negara dari berbagai dunia, berlomba-lomba mengevakuasi warganya keluar dari Mesir.

Masyarakat Indonesia sendiri kadang kurang cermat melihat persoalan. Jika korbannya berteriak ‘Allahu Akbar’, selalu dipandang sebagai tragedi umat Islam. Padahal bisa jadi itu hanya tragedi kemanusiaan, karena yang dibunuh dan yang membunuh sama-sama satu keyakinan. Tragedi di depan masjid  Rabia Al Adawiyah, tak beda jauh dengan tragedi Tiananmen, saat ribuan mahasiswa di lapangan Tiananmen digilas oleh tank-tank tentara China, karena menuntut reformasi dan demokratisasi sistem yang korup dan tertutup.

Memang dalam banyak hal masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang melodramatik. Mudah kasihan dan jatuh iba. Apalagi jika berasal dari Timur Tengah, selalu diidentikan dengan Islam, meski sejatinya itu bukan. Beruntung, sejauh ini aksi simpati baru sebatas slogan. Dalam sudut pandang yang lebih subtil,tragedi  Mesir juga mencuatkan banyak hal yang bisa jadi renungan.Kita patut berbangga, para penguasa yang pernah memerintah negeri ini, lebih mendengarkan nurani ketika kehilangan kekuasaan.

Saya tak bisa membayangkan jika Soekarno  menggerakan barisan Soekarno untuk melawan musuh-musuh politiknya. Seoharto bahkan punya kans untuk menggelar operasi militer saat didesak mundur oleh mahasiswa. Tapi ia memilih lengser keprabon, demi menjaga agar tidak terjadi pertumpahan darah sesama anak bangsa. Gus Dur lebih elok lagi. Kata Gus Dur, tak ada jabatan yang perlu dipertahankan mati-matian. Ia memilih balik ke Ciganjur, dan memerintahkan pendukungnya untuk pulang ke Jawa Timur.

Karakter dan nilai-nilai yang hidup dan membesarkan para pemimpin kita, menjadikan mereka sosok yang legawa, kompromistis dan menghargai setiap nyawa pemberian Tuhan.Saya tidak ingin menyebut secara khusus ini adalah budaya Jawa. Tapi jika merujuk pada filosofi Jawa, banyak hal bisa diangkat dan menjadi bekal para pemimpin Indonesia berikutnya.

Menang tanpo ngasorake (menang tanpa merendahkan yang kalah), ngluruk tanpa bala (menyerang tanpa pasukan) dan digdaya tanpa aji (kuat tanpa jimat), diantara filosofi yang kental dianut para pemimpin kita. Namun apa pun namanya, dalam fatsun politik,demokrasi tidak menganut zero sum game; yang menang mengambil semuanya dan yang kalah kehilangan segalanya.

Ketika Mursi memenangkan kursi presiden Mesir dan menendang habis oposisi dari jabatan politis,benih-benih sakit hati mulai ditebar. Anjuran pihak militer untuk rekonsiliasi juga tak didengar. Saat militer mengkudeta, ironisnya para petinggi Ikhwanul Muslimin tak mau kalah. Mereka tetap memaksakan Mursi harus dikembalikan ke posisi semula. Apapun taruhannya. Berapapun harganya.

Ada anekdot, karena sikap keras dan non kompromi orang Timur Tengah, maka agama-agama Samawi di turunkan di sana. Sebab, para nabi memang perlu melewati ujian berat dari masyarakat yang berwatak keras, ngeyel, tak mau nurut dan sotoy. Mungkin dari kawah candradimuka semacam itulah, kualitas nabi-nabi Allah itu terasah, hingga menginspirasi para pendakwah sesudahnya, untuk memiliki syaraf baja.

Jika Mesir tersandung karena urusan kekuasaan,untunglah Indonesia lolos dari tragedi mengerikan saat terjadi pergantian pucuk pimpinan. Mesir jadi bahan pelajaran berikutnya, setelah Irak, Libya dan Suriah bergolak karena penghambaan terhadap kekuasaan yang berlebihan. Tabik pada Soekarno, Soeharto dan Gus Dur.Wallahualam bishowab.


Sunday, July 28, 2013

Mudik

Seorang teman bertanya kabar dan rencana mudik lebaran besok. Saya jawab lebaran ini tidak bisa mudik. Saya belum mengatakan apa sebabnya, ketika dia tiba-tiba seperti merasa aneh dengan rencana saya. Dengar apa katanya,”Kerja tuh jangan ngoyo.Sekali setahun masa nggak bisa pulang?Kalau nyari duit terus mah nggak bakal puas,”. Saya terperangah. Diskusi berlanjut. Saya coba memancing,”Terus kalau tidak punya uang, lantas nggak bisa mudik,itu salah?”.

“Bukan begitu. Jauh-jauh merantau tunjukin dong hasil kerjamu di kampung. Kalau nggak bisa, mending jadi kyai kampung. Waktu banyak, dapat sedekah beras berlimpah-limpah,”. Saya kembali tertegun. Tapi dengan nada bercanda, saya komentari “ceramah” teman,”Oh, jadi itu ya makna lebaran?”. Stop. Dia berhenti menjawab. Entah membenarkan kelakar saya, atau dia bingung mau kasih nasihat apa lagi.

Tentu saja saya bukan golongan orang anti mudik. Masih ada orang tua di kampung. Barangkali akan lebih afdol bila sungkem saat lebaran. Meminta maaf. Merayakan bersama hari kemenangan. Meski ongkos sosial dan ekonomi yang mesti dibayar begitu menggiriskan. Ongkos sosial dan ekonomi tak melulu tarif yang naik gila-gilaan. Tapi juga tindakan-tindakan super gila, yang rasanya tidak akan sanggup dilakukan dalam keadaan normal.

Coba bayangkan. Ratusan kilometer bersepeda motor membawa anak kecil. Berdiri berhimpitan di bus hampir 24 jam. Terjebak macet berjam-jam tanpa kejelasan kapan jalan. Kecopetan. Dibius di terminal bus. Bahkan risiko kehilangan nyawa karena kecelakaan akibat keletihan luar biasa. Jika ditanya kenapa semua itu ditempuh, jawabannya simpel, seperti kata teman saya,”Yah, setahun sekali nggak apa-apa,”.

Para pakar tak henti-henti mengulas fenomena ini. Ada yang bilang, ini wujud dari filosofi Jawa Mangan Ora Mangan Ngumpul (makan tidak makan kumpul). Saat ada yang merantau karena desakan ekonomi, lebaranlah waktu yang asyik untuk santai sejenak. Berbagi uang Tunjangan Hari Raya (THR) dari kantor, atau rejeki dari berdagang. Pokoknya ada yang disedekahkan, sebagai simbol sukses, sebagai tanda keberhasilan di tanah rantau.

Penghayat  kepercayaan memandang, mudik sebagai kesadaran sangkan paraning dumadi. Ini filosofi yang membedah dari mana kita berasal dan hendak kembali ke mana kita nanti. Wilayah transendental,yang coba di otak atik gatuk dengan gejala sosial. Gatuk-nya dimana, saya juga masih meraba-raba. Tapi secara pragmatis,dan ini yang sudah jadi faham umum, mudik sebagai wujud dari keinginan untuk terus menjalin tali silaturahmi. Sesuatu yang, kata mereka, diajarkan oleh agama.

Tentu saja tidak salah argumentasi itu. Namun jika ditelisik lebih jauh, angka statistik menjelang lebaran dari berbagai barang kebutuhan sekunder yang naik, mencuatkan tanya berikutnya. Apa sebab rental mobil naik pesat sebelum mudik berlangsung?Motor, jam tangan, pakaian, telepon seluler, sepatu bahkan sarung dan sajadah baru mengalami kenaikan penjualan berkali-kali lipat. Penawaran kredit mobil baru juga bertubi-tubi datang, dengan segala kemudahan fasilitas. Promosinya menarik, “Bisa dipakai bergaya di kampung halaman”.

Lebaran, pada akhirnya menjadi ajang show tahunan paling akbar, yang tanpa disadari telah melemahkan nilai-nilai puasa yang sudah dilakukan. Saya jadi ingat kata-kata ustaz saat khotbah Idul Fitri. Ketika barisan iblis gagal menggoda manusia kala Ramadan,kata ustaz, mereka punya kesempatan di Hari Raya Idul Fitri.

Bukankah iblis, seperti tekadnya saat ia diusir dari surga oleh Allah, akan dengan segala cara mengajak manusia untuk mengikuti jalannya?Saat potensi sikap ujub, sombong, riya dan pamer bertebaran, ketika itulah momen bagus bagi Iblis untuk beraksi –masuk ke dalam aliran darah manusia dan membujuknya untuk memunculkan kelakuan minus itu.“Sifat sombong itu, sekecil apapun ia bersemayam, akan mengurangi pahala puasa kita,”demikian khotbah ustaz.

Mungkinkah tradisi mudik ini terhapus, seturut perjalanan waktu?Pemerintah nampaknya berfikir ke arah itu. Sebab tidak mudah melayani puluhan juta orang “hijrah” dalam satu waktu, dengan segala kompleksitas masalahnya. Namun himbauan untuk tidak memakai sepeda motor, atau meminta peran swasta menyediakan bus sebagai bentuk corporat social responsibility (CSR), juga tak banyak mengubah situasi, tanpa reformasi mindset calon pemudik. Ini hanya soal cara memandang makna lebaran.

Silaturahmi bisa dilakukan kapan saja. Begitu juga distribusi ekonomi ke wilayah pedesaan.Tidak mesti menunggu lebaran. Perkembangan teknologi memungkinkan setiap orang, bahkan orang tua di desa terpencil, sudah bisa mengoperasikan telepon seluler. Kemajuan teknologi informasi membuat kita bisa berbicara sambil melihat wajah lawan bicara secara real time. Dan, last but not least, mudik hanyalah tradisi, bukan kewajiban yang jika tak dilakukan kita terkena dosa.

Di Arab Saudi, usai shalat Idul Fitri, suasana justru sepi. Bangladesh dan Malaysia mungkin masih terjangkit virus mudik. Di Indonesia, lembaga semacam Majelis Ulama Indonesia (MUI), barangkali bisa ditarik untuk lebih aktif mencegah kengototan mudik, yang justru banyak membawa kesengsaraan. Pikirkan jika saya nekad mudik, dengan membawa dua anak balita dan beberapa tas dan kardus besar. Jakarta-Tegal, atau Jakarta-Kediri bukanlah jarak yang pendek. Untunglah saya tidak mudik.

Hari berikutnya, teman saya rupanya masih penasaran. Dia kembali menyapa saya dan menyampaikan berita mengejutkan.

“Saya juga nggak mudik lebaran,”katanya.

”Lho, kenapa?”tanya saya heran.

“Duitnya mau saya pakai buat kredit motor saja. Biar tiap hari nggak naik angkot kalau kerja. Jika harus mudik juga, uang dari mana?”

Ah, saya jadi malu sendiri. Rupanya dia lebih jujur dari saya.






















































































































































































































































Thursday, July 11, 2013

Mencari "Ruh" Ramadan yang Hilang

Saban kali bulan puasa tiba, kerinduan terhadap jejak Ramadan masa kecil selalu bergelinjang datang. Masa yang indah, dan penuh kekhusyukan, saya lewatkan di desa terpencil di pelosok Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Ramadan menjadi istimewa, karena ada beberapa kebiasaan kampung, yang kini telah lenyap tak berbekas. Ada memang beberapa yang dipertahankan. Tapi suasananya tak terasa seperti masa-masa dulu, karena masuknya modernisasi, yang telah menyerap hampir seluruh energi anak-anak kampung.

Sehari sebelum puasa, beduk di masjid ditabuh bertalu-talu.Sebelumnya, semua masjid dan mushola dicuci bersih. Gotong royong, dengan membawa ember dan pelepah pisang untuk menggaruk genangan air. Saat semua tempat peribadatan telah bersih, shalat tarawih riuh rendah karena banyaknya jamaah yang datang. Belum lagi ketika selesai tarawih. Panganan berupa kue-kue kecil digelar, disantap, sambil ngobrol ngalor ngidul penuh keakraban. Suasananya benar-benar guyub dan rukun.

Selama sebulan penuh, tiap sore bacaan ayat-ayat suci Al Qur’an saling bersahutan mengisi ruang langit lewat pengeras suara yang dipancang tegak. Tiap grup yang terdiri dari 2-4 orang saling menyimak, dan mencantumkan target untuk mengkhatamkan 30 juz Al Qur’an selama satu bulan. Pagi hari, setelah selesai sahur dan kelar shalat subuh berjamaah, suara para da’i dari berbagai penjuru terdengar mengisi kuliah subuh. Penduduk kampung sebelumnya dibangunkan oleh rombongan remaja, yang dengan alat seadanya berkeliling sambil memainkan ritme musik yang rancak, penuh kegembiraan disertai teriakan “Sahuuuuur,sahuuuuur, sahuuuuur…!”

Momen paling menggairahkan barangkali saat menunggu buka puasa. Warga berkumpul di mushola usai shalat Ashar. Bermain catur, mengkaji kitab kuning, berbagi kisah tentang pekerjaan pagi hari, sebelum semuanya pulang ketika bunyi kentong dan bedug terdengar menyusup lubang-lubang angin. Mushola dan masjid, seolah menjadi pusat kosmis kegiatan, yang merekatkan batin dan rasa senasib  sepenanggungan. Kondisi ini tertolong, karena kala itu hanya ada RRI dan TVRI, sebagai media hiburan yang kadang menyajikan acara yang tidak menarik minat. Bulan Ramadan selalu dinanti-nanti, karena setiap saat cerita terus berganti, penuh kesan dan menancap di hati.

Deregulasi yang mengakhiri dominasi TVRI dan RRI serta membuka kran munculnya stasiun teve baru membuat segalanya jadi serba terkapitalisasi. Kemajuan teknologi juga memutus mata rantai aktivitas temu muka, menjadi cuitan di dunia maya. Keriuhan kini berpindah. Kotak televisi dan layar smartphone jadi sarana pengganti bertegur sapa dan cerita. Komunikasi seolah telah kehilangan “kesejatiannya”. Praktis, selama bulan puasa, tradisi ngumpul bareng itu pelan-pelan lenyap. Apalagi di Jakarta, ketika sebagian besar waktu telah tersita oleh kesibukan kerja.

Saya mungkin terlalu lebay menganggap bulan puasa kini telah kehilangan “ruh”nya.  Boleh pula dituduh ini pikiran orang ndeso. Tapi cobalah cermati fakta-fakta yang berseliweran di sekitar kita. Di mushola dekat tempat tinggal saya di Depok, tiap malam selalu penuh oleh ibu-ibu. Mereka antusias mengikuti tarawih, karena hanya wajah-wajah yang dikenal sering ikut tarawih nanti yang bakal mendapat bingkisan kue, baju lebaran dan sejumlah uang dari si pemilik mushola. Ada niat lain yang mungkin tujuannya bagus, tapi secara tidak langsung mengingkari nilai-nilai keikhlasan sebagai sebuah syarat ibadah.

Di layar teve lebih kronis lagi. Berbagai program yang berbau Ramadan dirancang, dengan menonjolkan simbol-simbol Islam tanpa substansi pesan dakwah yang jelas. Kerudung, baju gamis, kopiah, kutipan ayat-ayat suci Al Qur’an laris manis disajikan, bertebaran disepanjang durasi, dicampur lawakan gaya slapstick. Waktu ngabuburit sambil mengkaji kitab atau aktifitas keliling membangunkan warga, lenyap karena kalah oleh acara teve, dengan sisipan iklan-iklan yang membentuk pemirsa jadi semakin konsumtif. Jangan tanya bagaimana jungkir baliknya para pelaku dunia hiburan, para bintang terkenal. Pontang panting ke sana ke mari, seolah harta dunia akan dibawa mati.

Bulan Ramadan, dengan begitu, telah dikomodifikasi sedemikian massif dan terstruktur. Main catur, mengaji, dan membangunkan sahur memang masih ada. Tapi itu kita jumpai dalam adegan sinetron bertema puasa. Kuliah subuh di mushola berganti dakwah ustaz-ustaz terkenal di layar kaca. Bahkan tarawih pun, kadang lebih suka menonton siaran langsung dari Masjidil Haram di televisi, daripada beranjak ke masjid sebelah. Pembeda bulan puasa bagi orang sibuk kini hanya tinggal aktifitas buka puasa dan sahur, atau sesekali muncul buka bersama dengan para kolega.

Gempuran program Ramadan di teve telah membuat kearifan lokal bulan puasa semakin terpinggirkan. Padahal dari situlah pemahaman Islam sebagai rahmatanlilalamin dimulai dan semangat puasa sebagai pembentuk kesalehan sosial dipupuk .Mungkin kabar baiknya, seperti yang dikatakan para ustaz, Bulan Ramadan adalah bulan Maghfiroh –bulan penuh ampunan. Semua ibadah di bulan ini, pahalanya dilipatgandakan puluhan kali. Apalagi saat malam Lailatul Qadar.

Ini kegiatan personal, bersifat vertikal, yang semakin menebal kala Ramadan tiba. Semacam niat kuat untuk sejenak menjauh dari dunia. Membuktikan apa kata ustaz, jika harta dunia itu seperti air laut. Semakin kita banyak meminumnya, akan semakin haus. Dari sebelas bulan bergelut dengan urusan dunia, tak ada salahnya sebulan untuk enjoy mengisi relung rohani, yang selama ini kerontang oleh sifat cinta pada dunia. Siapa tahu dari sinilah “ruh” bulan puasa bisa kita dapat lagi. Ya, siapa tahu?Wallahua’lam bishowab.

Tuesday, July 2, 2013

Maaf,Silahkan, Terima kasih

Cerita ini saya dapatkan dari almarhum Romo Mangun Wijaya, saat menempuh studi teologi di Jerman (dulu Jerman Barat). Dari flat sederhana yang ditempatinya, sastrawan besar pengarang novel “Burung-burung Manyar” itu melihat pola pendidikan sebuah taman kanak-kanak di dekatnya. Di situ, anak-anak dibiarkan bermain seenak sinyo semau noni.Tak ada bentakan untuk tertib atau aturan yang mengekang. Konon alasannya karena anak-anak bukanlah orang dewasa yang terperangkap dalam tubuh kecil.Mereka, calon generasi penerus bangsa itu hanya diajari secara intensif pentingnya tiga kata; maaf, silahkan dan terima kasih.

Hal serupa terjadi di Jepang. Namun, berbeda dengan di Jerman, Jepang lebih agak tertib. Penghormatan terhadap budaya leluhur, juga menjadi perhatian serius lain. Pola didik dan kemerdekaan berfikir semacam  di Jerman inilah yang konon menghasilkan tokoh-tokoh besar seperti ; Friedrich Nietzsce,Max Weber,Karl Marx, Friedrich Engels hingga megalomaniak paling brutal Adolf Hitler. Sementara Jepang, melesat menjadi negara maju, dengan tetap tak kehilangan pijakan unggah ungguhwarisan nenek moyang.

Sesungguhnya, sebagai sebuah tatanan masyarakat yang masuk kategori beradab, negeri kita dikenal sebagai negara yang ramah. Orang-orang bule yang pernah berkunjung pasti memberi kesaksian seperti itu. Masyarakat Indonesia suka tersenyum. Tak pernah memasang muka masam kala melihat tamu asing. Toleran dan suka menolong. Kita tak kalah dengan bangsa Jepang, bahkan di daerah-daerah tertentu, nilai-nilai itu masih terus dihidupkan, ditengah gerusan modernisasi di segala lini.

Pernah melihat orang tergelincir dari sepeda motor di dekat warung angkringan di  Yogyakarta?Dijamin secara spontan para penikmat nasi kucing akan segera berdatangan. Tanpa pamrih, mereka menolong. Sekian tahun hidup di kota budaya itu, membuat gambaran ideal itu seperti mencuat kembali, menyadari nilai-nilai serupa mulai terkikis di tengah-tengah masyarakat kita. Artinya, bisa saya pastikan,kita sebenarnya memiliki nilai-nilai unik dan bagus, yang hanya butuh penyegaran kembali agar kebiasaan baik itu tidak terkubur begitu saja.

Susahnya, karakter bangsa yang bagus itu, kadang tenggelam oleh pranata-pranata sosial yang entah berasal dari mana. Contohnya, kasur, dapur, sumur dikesankan sebagai wilayah perempuan. Begitu juga tugas menyusui. Dalam lingkup yang lebih luas, strata sosial buatan penjajah Belanda, hingga kini bahkan masih terpatri kuat. Memang orang Eropa, Indo atau China tidak lagi dipandang lebih tinggi dibanding pribumi. Tapi pengkotak-kotakan pribumi dari segi pekerjaan dari “kasta” paling mulia hingga paling rendah masih terus dirasakan.

Tanyalah pada mereka yang berburu posisi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Apa motivasinya ingin jadi abdi negara? Bekerja sebagai PNS masih jadi incaran, karena dinilai lebih tinggi status sosialnya. Minimal dibandingkan dengan profesi lain, walau di zaman Belanda sama-sama disebut Inlander. Alam pikiran bawah sadar ini menjadi semacam impian massif,hingga menjadi pejabat pemerintah dari tingkat tukang sapu sampai presiden menjadi dambaan banyak orang.

Dulu di zaman sahabat Nabi Muhammad SAW, ketika para sahabat diberi amanah sebagai khalifah, mereka akan mengucap istighfar. Bukan karena merasa tidak mampu. Tapi mereka membayangkan, betapa beratnya pertanggungjawaban tidak hanya didunia, tapi juga di akhirat. Sekarang, kalah suara di pilkada pun bisa menjadi pelecut aksi massa yang berujung pada bentrok dan pembakaran. Kita menjadi tuna susila ditengah krisis identitas diri. Merasa diri paling pinter dan menganggap yang lain dibawah, dan tidak mampu. Pejabat kita menjadi arogan dan tak pandai mengukur baju sendiri, karena nafsu berkuasa lebih besar dibanding bayangan pertanggungjawaban yang bakal diminta nanti.

Kasus pemukulan pramugari Sriwijaya Air oleh Zakaria Umar Hadi dan pemukulan yang dilakukan Bupati Seram Timur terhadap petugas Lion Air baru-baru ini, semakin meyakinkan kita, selain tuna etika, mental pangrehpraja zaman Belanda diam-diam masih hidup di dalam sanubari sebagian pejabat kita. Jika kita negatif thingking, barangkali banyak pula peraturan-peraturan di lembaganya yang membuat mereka tak nyaman diinjak-injak. Ini mungkin, karena taat asas dan norma, sesungguhnya menjadi barang wajib yang secara an sich sudah melekat pada seorang pejabat setingkat mereka.

Memang mental pangrehpraja tak hanya menyusup diantara para aparatur pemerintah. Lingkungan pergaulan dan pola didik yang salah, juga membuat segelintir orang kaya dan beberapa artis tenar terkena sindrom Fir’aun. Karena merasa memiliki segalanya, dan menjadi penentu hidup matinya seseorang, Fir’aun akhirnya mengklaim diri sebagai Tuhan. Tentu beberapa artis itu tak sampai mengaku sebagai Tuhan. Tapi sikap intoleran terhadap aturan, bahkan untuk hal kecil seperti tak boleh merokok di ruangan ber-AC, semakin meneguhkan ada yang perlu diperbaiki dalam level keluarga.

Butuh waktu untuk membongkar  pranata sosial yang keliru dalam masyarakat. Banyak kendala menghadang, dari sistem masyarakat patriakhi, hingga bahasa daerah yang membuat kita terkotak-kotak dan jauh dari sikap egaliter.Namun begitu, energi kita tidak boleh habis, untuk mengenalkan betapa keluhuran budi dan jiwa menjadi lebih penting, dibanding jabatan setinggi apapun, karena “kursi” yang kita duduki pasti akan purna. Ya,minimal kenalkanlah dengan tiga kata tadi; maaf, silahkan dan terima kasih. Karena itulah pondasi yang bakal menegakkan menara kerendahatian, setinggi dan sebesar apapun amanah jabatan dan kekayaan yang kita emban.