Seorang
teman bertanya kabar dan rencana mudik lebaran besok. Saya jawab lebaran ini
tidak bisa mudik. Saya belum mengatakan apa sebabnya, ketika dia tiba-tiba
seperti merasa aneh dengan rencana saya. Dengar apa katanya,”Kerja tuh jangan ngoyo.Sekali
setahun masa nggak bisa pulang?Kalau nyari duit terus mah nggak bakal puas,”.
Saya terperangah. Diskusi berlanjut. Saya coba memancing,”Terus kalau tidak
punya uang, lantas nggak bisa mudik,itu salah?”.
“Bukan
begitu. Jauh-jauh merantau tunjukin dong hasil kerjamu di kampung. Kalau nggak
bisa, mending jadi kyai kampung. Waktu banyak, dapat sedekah beras
berlimpah-limpah,”. Saya kembali tertegun. Tapi dengan nada bercanda, saya
komentari “ceramah” teman,”Oh, jadi itu ya makna lebaran?”. Stop. Dia berhenti
menjawab. Entah membenarkan kelakar saya, atau dia bingung mau kasih nasihat
apa lagi.
Tentu
saja saya bukan golongan orang anti mudik. Masih ada orang tua di kampung.
Barangkali akan lebih afdol bila sungkem saat lebaran. Meminta maaf. Merayakan
bersama hari kemenangan. Meski ongkos sosial dan ekonomi yang mesti dibayar
begitu menggiriskan. Ongkos sosial dan ekonomi tak melulu tarif yang naik
gila-gilaan. Tapi juga tindakan-tindakan super gila, yang rasanya tidak akan
sanggup dilakukan dalam keadaan normal.
Coba
bayangkan. Ratusan kilometer bersepeda motor membawa anak kecil. Berdiri
berhimpitan di bus hampir 24 jam. Terjebak macet berjam-jam tanpa kejelasan
kapan jalan. Kecopetan. Dibius di terminal bus. Bahkan risiko kehilangan nyawa
karena kecelakaan akibat keletihan luar biasa. Jika ditanya kenapa semua itu
ditempuh, jawabannya simpel, seperti kata teman saya,”Yah, setahun sekali nggak
apa-apa,”.
Para
pakar tak henti-henti mengulas fenomena ini. Ada yang bilang, ini wujud dari
filosofi Jawa Mangan Ora Mangan Ngumpul
(makan tidak makan kumpul). Saat ada yang merantau karena desakan ekonomi,
lebaranlah waktu yang asyik untuk santai sejenak. Berbagi uang Tunjangan Hari Raya (THR) dari
kantor, atau rejeki dari berdagang. Pokoknya ada yang disedekahkan, sebagai
simbol sukses, sebagai tanda keberhasilan di tanah rantau.
Penghayat kepercayaan memandang, mudik sebagai
kesadaran sangkan paraning dumadi. Ini
filosofi yang membedah dari mana kita berasal dan hendak kembali ke mana kita
nanti. Wilayah transendental,yang coba di otak
atik gatuk dengan gejala sosial. Gatuk-nya
dimana, saya juga masih meraba-raba. Tapi secara pragmatis,dan ini yang sudah
jadi faham umum, mudik sebagai wujud dari keinginan untuk terus menjalin tali
silaturahmi. Sesuatu yang, kata mereka, diajarkan oleh agama.
Tentu
saja tidak salah argumentasi itu. Namun jika ditelisik lebih jauh, angka
statistik menjelang lebaran dari berbagai barang kebutuhan sekunder yang naik,
mencuatkan tanya berikutnya. Apa sebab rental mobil naik pesat sebelum mudik
berlangsung?Motor, jam tangan, pakaian, telepon seluler, sepatu bahkan sarung
dan sajadah baru mengalami kenaikan penjualan berkali-kali lipat. Penawaran
kredit mobil baru juga bertubi-tubi datang, dengan segala kemudahan fasilitas. Promosinya
menarik, “Bisa dipakai bergaya di kampung halaman”.
Lebaran,
pada akhirnya menjadi ajang show tahunan paling akbar, yang tanpa disadari telah
melemahkan nilai-nilai puasa yang sudah dilakukan. Saya jadi ingat kata-kata ustaz
saat khotbah Idul Fitri. Ketika barisan iblis gagal menggoda manusia kala
Ramadan,kata ustaz, mereka punya kesempatan di Hari Raya Idul Fitri.
Bukankah
iblis, seperti tekadnya saat ia diusir dari surga oleh Allah, akan dengan
segala cara mengajak manusia untuk mengikuti jalannya?Saat potensi sikap ujub,
sombong, riya dan pamer bertebaran, ketika itulah momen bagus bagi Iblis untuk beraksi
–masuk ke dalam aliran darah manusia dan membujuknya untuk memunculkan kelakuan
minus itu.“Sifat sombong itu, sekecil apapun ia bersemayam, akan mengurangi pahala
puasa kita,”demikian khotbah ustaz.
Mungkinkah
tradisi mudik ini terhapus, seturut perjalanan waktu?Pemerintah nampaknya
berfikir ke arah itu. Sebab tidak mudah melayani puluhan juta orang “hijrah” dalam
satu waktu, dengan segala kompleksitas masalahnya. Namun himbauan untuk tidak
memakai sepeda motor, atau meminta peran swasta menyediakan bus sebagai bentuk corporat social responsibility (CSR),
juga tak banyak mengubah situasi, tanpa reformasi mindset calon pemudik. Ini hanya soal cara memandang makna lebaran.
Silaturahmi
bisa dilakukan kapan saja. Begitu juga distribusi ekonomi ke wilayah pedesaan.Tidak
mesti menunggu lebaran. Perkembangan teknologi memungkinkan setiap orang,
bahkan orang tua di desa terpencil, sudah bisa mengoperasikan telepon seluler.
Kemajuan teknologi informasi membuat kita bisa berbicara sambil melihat wajah
lawan bicara secara real time. Dan, last but not least, mudik hanyalah
tradisi, bukan kewajiban yang jika tak dilakukan kita terkena dosa.
Di
Arab Saudi, usai shalat Idul Fitri, suasana justru sepi. Bangladesh dan Malaysia
mungkin masih terjangkit virus mudik. Di Indonesia, lembaga semacam Majelis Ulama
Indonesia (MUI), barangkali bisa ditarik untuk lebih aktif mencegah kengototan
mudik, yang justru banyak membawa kesengsaraan. Pikirkan jika saya nekad mudik,
dengan membawa dua anak balita dan beberapa tas dan kardus besar. Jakarta-Tegal,
atau Jakarta-Kediri bukanlah jarak yang pendek. Untunglah saya tidak mudik.
Hari
berikutnya, teman saya rupanya masih penasaran. Dia kembali menyapa saya dan
menyampaikan berita mengejutkan.
“Saya
juga nggak mudik lebaran,”katanya.
”Lho,
kenapa?”tanya saya heran.
“Duitnya
mau saya pakai buat kredit motor saja. Biar tiap hari nggak naik angkot kalau
kerja. Jika harus mudik juga, uang dari mana?”
Ah,
saya jadi malu sendiri. Rupanya dia lebih jujur dari saya.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda!