Memasuki Bulan September,sebuah perhelatan akbar Miss World 2013 akan diadakan
di Indonesia. Ini sebuah ajang kontes kecantikan, yang diikuti oleh ratusan
peserta dari berbagai negara. Ajang Miss World diklaim oleh panitia pelaksana
bisa menaikan potensi pariwisata Indonesia. Sementara di sisi lain, penolakan
juga tak kalah kencang, seperti yang dilakukan Front Pembela Islam (FPI),
Hizbut Tahrir Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).Alasannya sederhana,
kegiatan Miss World tak ada guna buat kemaslahatan bangsa, bahkan dianggap
tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam, yang dianut mayoritas masyarakat
Indonesia.
Isu sentralnya selalu soal adab berpakaian.Panitia Miss World sendiri sudah
meyakinkan publik, jika sesi peserta berbikini akan diganti dengan sarung Bali.
Ada semacam kompromi maksimal terhadap budaya lokal, agar resistensi
penyelenggaraan Miss World tidak berujung seperti di Nigeria misalnya. Miss
World bisa tampil lebih sopan, dengan tak meninggalkan ciri khas kompetisinya
sebagai ajang adu kecanggihan brain, beauty dan behaviour. Tentu juga tak kalah
pentingnya, aspek ekonomi dari terangkatnya nama Indonesia di kancah
internasional, karena sorotan kamera dari seluruh dunia akan memberitakannya.
Tak bisa dimungkiri, “perang” sesungguhnya antara panitia pelaksana dan
penentang Miss World memang lebih ke perdebatan paradigma. Panitia Miss World
berdalih, negara kita bukanlah negara agama. Sementara FPI dan MUI berlandaskan
dalil-dalil agama, yang dengan alasan apapun tidak akan membenarkan
penyelenggaraan Miss World. Menampilkan lekuk-lekuk tubuh perempuan, walau
masih dibalut sarung Bali, tetap dilarang dengan alasan syar’i. Kecantikan
perempuan, dalam perspektif yang lebih luas, juga tidak harus dinilai dalam
sebuah kompetisi fisik, karena ada hal-hal lain yang bisa menunjukan seorang
perempuan terlihat cantik dan cerdas.
Jika merujuk ini, saya jadi teringat kata-kata seorang bijak, yang
mengumpakan kehormatan perempuan seperti sebuah permen. Sepotong kembang gula
yang sudah terbuka, tentu akan berbeda nilainya jika permen itu masih
terbungkus rapi. Meski begitu, ini yang kerap jadi bahan kritikan, ada
ketidakkonsistenan para penentang Miss World terhadap kenyataan yang ada. Coba
lihat dan cermati, berapa banyak film dan sinetron yang memperlihatkan adegan
tak senonoh dan terbuka, yang beredar luas di masyarakat, tanpa ada upaya
pencegahan. Bukankah perempuan berbikini sudah menjadi “jualan” para produser
film esek-esek sejak lama dan sejauh ini aman-aman saja?
Di era ketika dunia hiburan sudah menjadi industri yang melintas
batas negara,jika pun Miss World diadakan di negara lain, kita bisa
mengaksesnya dengan mudah lewat internet. Mungkin upaya paling realistis
adalah memberi penyadaran generasi muda, untuk menimbang dengan cermat saat hendak
mengikuti kontes-kontesan; entah Miss Indonesia atau Puteri Indonesia. Jujur
diakui,kontes ratu-ratuan kadang dianggap sebagai jalan paling lempang untuk
meraih popularitas dan uang lewat dunia hiburan. Sikap serba instan dan enggan mengikuti proses
inilah yang membuat jiwa kita menjadi tidak tahan banting.
Bagaimanapun, dunia hiburan penuh dengan intrik dan kamuflase. Seorang
teman menyebut, meski diliputi glamouritas, di dalamnya penuh dengan jiwa-jiwa
yang sunyi. “Banyak jebakan betmen didalamnya, yang jika kita tak pandai
meniti, bisa jatuh terjerembab,”kata sang teman, yang juga mantan presenter di
sebuah stasiun televisi swasta terkenal itu. Sore itu, teman saya ini rupanya
ingin berbagi informasi, soal rencana lamaran seorang penyanyi dangdut dengan
goyang khasnya oleh seorang laki-laki yang mengaku pengusaha.
Si lelaki, kata sang teman, punya rekam jejak yang buruk sebagai penipu.
Teman si mantan presenter sempat akan jadi korban, sebelum semuanya terbongkar.
Dengan alasan akan dinikahi, harta bendanya dihisap tanpa mampu dicegah,karena
seperti dihipnotis. “Sepertinya si penyanyi dangdut itu sudah mulai terpedaya.
Kasihan ya,”katanya. Kisah-kisah seperti ini, sebetulnya sudah jadi makanan
pewarta infotainment tiap hari,walau tetap saja ada yang jadi korban karena
kewaspadaan yang rendah. Dus, masuk ke dunia hiburan, laksana masuk ke hutan
belantara, dengan “binatang” buas dan kejam berkeliaran, yang tiap saat siap
menerkam.
Tentu tak semua jebolan Miss World atau kontes-kontes kecantikan lain,
sukses berkarir di dunia hiburan. Dalam banyak kasus, event seperti itu
bahkan menjadi bukti penting cengkeraman kapitalisme global, dengan “bungkus”
pencarian perempuan-perempuan berbakat. Lagi-lagi, walau untuk mengikuti
kontes seperti itu adalah pilihan pribadi, diperlukan pemikiran panjang agar
kita tak jatuh hanya jadi sekedar komoditas. Tak hanya jadi sekedar obyek, dari
pemodal kuat yang bermain di belakangnya. Jika kesadaran semacam ini sudah
tumbuh, tanpa perlu dilarang pun, kontes-kontes seperti itu akan lenyap dengan
sendirinya.
Akhirnya, Miss World di satu sisi, dan penentangnya di sisi lain, walau
saling berhadapan secara diametral, semoga bisa menjadi mosaik keindahan
berdemokrasi. Ibaratnya, anda boleh saja tidak setuju dengan pendapat saya.
Tapi hak anda untuk berbicara akan saya bela mati-matian. Soal apakah nanti
perhelatan Miss World akan menuai maslahat atau mudharat, waktu nanti yang akan
membuktikan. Kedewasaan berbeda pendapat, akan meneguhkan kita sebagai
negara demokrasi terbesar di dunia. Bukankah esensi demokrasi adalah sepakat
untuk tidak sepakat?
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda!