Daftar Isi

Monday, September 2, 2013

Miss World

Memasuki Bulan September,sebuah perhelatan akbar Miss World 2013 akan diadakan di Indonesia. Ini sebuah ajang kontes kecantikan, yang diikuti oleh ratusan peserta dari berbagai negara. Ajang Miss World diklaim oleh panitia pelaksana bisa menaikan potensi pariwisata Indonesia. Sementara di sisi lain, penolakan juga tak kalah kencang, seperti yang dilakukan Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).Alasannya sederhana, kegiatan Miss World tak ada guna buat kemaslahatan bangsa, bahkan dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam, yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia.

Isu sentralnya selalu soal adab berpakaian.Panitia Miss World sendiri sudah meyakinkan publik, jika sesi peserta berbikini akan diganti dengan sarung Bali. Ada semacam kompromi maksimal terhadap budaya lokal, agar resistensi penyelenggaraan Miss World tidak berujung seperti di Nigeria misalnya. Miss World bisa tampil lebih sopan, dengan tak meninggalkan ciri khas kompetisinya sebagai ajang adu kecanggihan brain, beauty dan behaviour. Tentu juga tak kalah pentingnya, aspek ekonomi dari terangkatnya nama Indonesia di kancah internasional, karena sorotan kamera dari seluruh dunia akan memberitakannya.

Tak bisa dimungkiri, “perang” sesungguhnya antara panitia pelaksana dan penentang Miss World memang lebih ke perdebatan paradigma. Panitia Miss World berdalih, negara kita bukanlah negara agama. Sementara FPI dan MUI berlandaskan dalil-dalil agama, yang dengan alasan apapun tidak akan membenarkan penyelenggaraan Miss World. Menampilkan lekuk-lekuk tubuh perempuan, walau masih dibalut sarung Bali, tetap dilarang dengan alasan syar’i. Kecantikan perempuan, dalam perspektif yang lebih luas, juga tidak harus dinilai dalam sebuah kompetisi fisik, karena ada hal-hal lain yang bisa menunjukan seorang perempuan terlihat cantik dan cerdas.

Jika merujuk ini, saya jadi teringat kata-kata seorang bijak, yang mengumpakan kehormatan perempuan seperti sebuah permen. Sepotong kembang gula yang sudah terbuka, tentu akan berbeda nilainya jika permen itu masih terbungkus rapi. Meski begitu, ini yang kerap jadi bahan kritikan, ada ketidakkonsistenan para penentang Miss World terhadap kenyataan yang ada. Coba lihat dan cermati, berapa banyak film dan sinetron yang memperlihatkan adegan tak senonoh dan terbuka, yang beredar luas di masyarakat, tanpa ada upaya pencegahan. Bukankah perempuan berbikini sudah menjadi “jualan” para produser film esek-esek sejak lama dan sejauh ini aman-aman saja?

Di era ketika dunia hiburan sudah menjadi industri yang melintas batas  negara,jika pun Miss World diadakan di negara lain, kita bisa mengaksesnya dengan  mudah lewat internet. Mungkin upaya paling realistis adalah memberi penyadaran generasi muda, untuk menimbang dengan cermat saat hendak mengikuti kontes-kontesan; entah Miss Indonesia atau Puteri Indonesia. Jujur diakui,kontes ratu-ratuan kadang dianggap sebagai jalan paling lempang untuk meraih popularitas dan uang lewat dunia hiburan. Sikap serba instan dan enggan mengikuti proses inilah yang membuat jiwa kita menjadi tidak tahan banting.

Bagaimanapun, dunia hiburan penuh dengan intrik dan kamuflase. Seorang teman menyebut, meski diliputi glamouritas, di dalamnya penuh dengan jiwa-jiwa yang sunyi. “Banyak jebakan betmen didalamnya, yang jika kita tak pandai meniti, bisa jatuh terjerembab,”kata sang teman, yang juga mantan presenter di sebuah stasiun televisi swasta terkenal itu. Sore itu, teman saya ini rupanya ingin berbagi informasi, soal rencana lamaran seorang penyanyi dangdut dengan goyang khasnya oleh  seorang laki-laki yang mengaku pengusaha.

Si lelaki, kata sang teman, punya rekam jejak yang buruk sebagai penipu. Teman si mantan presenter sempat akan jadi korban, sebelum semuanya terbongkar. Dengan alasan akan dinikahi, harta bendanya dihisap tanpa mampu dicegah,karena seperti dihipnotis. “Sepertinya si penyanyi dangdut itu sudah mulai terpedaya. Kasihan ya,”katanya. Kisah-kisah seperti ini, sebetulnya sudah jadi makanan pewarta infotainment tiap hari,walau tetap saja ada yang jadi korban karena kewaspadaan yang rendah. Dus, masuk ke dunia hiburan, laksana masuk ke hutan belantara, dengan “binatang” buas dan kejam berkeliaran, yang tiap saat siap menerkam.

Tentu tak semua jebolan Miss World atau kontes-kontes kecantikan lain, sukses berkarir di dunia  hiburan. Dalam banyak kasus, event seperti itu bahkan menjadi bukti penting cengkeraman kapitalisme global, dengan “bungkus” pencarian perempuan-perempuan berbakat.  Lagi-lagi, walau untuk mengikuti kontes seperti itu adalah pilihan pribadi, diperlukan pemikiran panjang agar kita tak jatuh hanya jadi sekedar komoditas. Tak hanya jadi sekedar obyek, dari pemodal kuat yang bermain di belakangnya. Jika kesadaran semacam ini sudah tumbuh, tanpa perlu dilarang pun, kontes-kontes seperti itu akan lenyap dengan sendirinya.

Akhirnya, Miss World di satu sisi, dan penentangnya di sisi lain, walau saling berhadapan secara diametral, semoga bisa menjadi mosaik keindahan berdemokrasi. Ibaratnya, anda boleh saja tidak setuju dengan pendapat saya. Tapi hak anda untuk berbicara akan saya bela mati-matian. Soal apakah nanti perhelatan Miss World akan menuai maslahat atau mudharat, waktu nanti yang akan membuktikan.  Kedewasaan berbeda pendapat, akan meneguhkan kita sebagai negara demokrasi terbesar di dunia. Bukankah esensi demokrasi adalah sepakat untuk tidak sepakat?






No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!