Daftar Isi

Saturday, October 6, 2012

batik dan sejarahnya


Saban tanggal 2 Oktober, busana bercorak batik banyak dipakai oleh orang Indonesia. Para karyawan kantor, pelajar dan bahkan pejabat pemerintah, ramai-ramai berbatik ria, dengan beragam corak dan warna. Demam batik bahkan menjalar ke pelajar-pelajar Indonesia di luar negeri. Maklumlah. Tanggal itu memang batik mendapat tempat istimewa. Kita menyebutnya hari batik. Memakai batik tepat di hari itu, merupakan ekspresi untuk memperingati batik, sebagai karya adi luhung nenek moyang Bangsa Indonesia.

Busana batik memang telah mengalami revolusi yang luar biasa. Dulu kain bermotif batik identik dengan orang-orang tua. Sudah pasti, anak-anak muda banyak yang malu memakainya. Tapi dengan kreasi motif dan gaya busana yang semakin trendi, batik kini sudah menembus segala lapisan usia dan status sosial. Tak hanya busana, motif batik juga merambah ke asesoris lain. Dari tas, kaos, topi bahkan sepatu. Pendek kata, batik sudah menjadi identitas khas dan dalam beberapa hal menjadi kebanggaan pemakainya.

Pekerjaan Eksklusif
Secara etimologis, batik berasal dari bahasa Jawa. Yaitu "amba" yang berarti luas  dan "nitik" atau membuat titik. Kata batik sendiri merujuk pada teknik pembuatan corak batik, yang  menggunakan canting dan malam (lilin) yang diaplikasikan di atas kain, sehingga menahan masuknya bahan pewarna. Jadi kain batik adalah kain yang memiliki ragam hias atau corak yang dibuat dengan canting dan cap dengan menggunakan malam sebagai bahan perintang warna.

Teknik ini hanya bisa diterapkan di atas bahan yang terbuat dari serat alami seperti katun, sutra, dan wol. Batik dengan canting tidak bisa diterapkan di atas kain dengan serat buatan (polyester). Sementara kain yang pembuatan corak batik dan pewarnaannya tidak menggunakan teknik ini biasanya  dibuat dalam skala industri dengan teknik cetak (print).

Perempuan-perempuan Jawa di masa lampau menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian. Masa itu, pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai ditemukannya "Batik Cap" yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini. Sentuhan tangan laki-laki, misalnya terlihat pada  batik pesisir yang memiliki garis maskulin seperti dapat ditemukan pada corak "Mega Mendung".


Komunikasi global yang semakin mudah, membuat ragam corak dan warna desain batik telah  banyak dipengaruhi oleh pihak asing. Awalnya, batik memiliki ragam corak dan warna yang terbatas. Namun batik pesisir menyerap berbagai pengaruh luar, seperti para pedagang asing dan juga pada akhirnya para penjajah. Warna-warna cerah seperti merah dipopulerkan oleh orang Tionghoa, yang juga mempopulerkan corak phoenix. 

Pengaruh Eropa bisa ditemukan misalnya corak bebungaan yang sebelumnya tidak dikenal (seperti bunga tulip). Ada pula benda-benda yang dibawa oleh penjajah (gedung atau kereta kuda), termasuk juga warna-warna kesukaan mereka seperti warna biru. Pengaruh penjajah itu bertumbuh seiring tetap bertahannya batik tradisional, yang masih dipakai dalam upacara-upacara adat, karena biasanya masing-masing corak memiliki perlambangan masing-masing.


Menelurus Sejarah Batik
Selain di Indonesia, seni batik saat ini banyak ditemukan di negara-negara seperti Malaysia, Thailand, India, Sri Lanka, dan Iran. Batik juga sangat populer di beberapa negara di benua Afrika. Walaupun demikian, batik yang sangat terkenal di dunia adalah batik yang berasal dari Indonesia, terutama dari Jawa. Memang hingga kini masih belum jelas asal-usul seni batik. Hanya saja dari berbagai penelitian, teknik batik konon sudah dikenal sejak ribuan tahun silam.

Di Indonesia sendiri, setelah melalui perjuangan berliku, batik akhirnya diakui badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Budaya (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization/UNESCO) sebagai warisan budaya dunia asli Indonesia . Hari penetapannya pada 2 Oktober, lantas di tasbihkan sebagai Hari Batik.

Batik secara historis berasal dari zaman nenek moyang yang dikenal sejak abad XVII yang ditulis dan dilukis pada daun lontar. Saat itu motif atau pola batik masih didominasi dengan bentuk binatang dan tanaman. Dalam sejarah perkembangannya batik mengalami perkembangan, yaitu dari corak-corak lukisan binatang dan tanaman lambat laun beralih pada motif abstrak yang menyerupai awan, relief candi, wayang beber dan sebagainya. Selanjutnya melalui penggabungan corak lukisan dengan seni dekorasi pakaian, muncul seni batik tulis seperti yang kita kenal sekarang ini.



Sejarah batik yang panjang menjadi bukti keantikan fashion etnik yang satu ini. J.L.A. Brandes (arkeolog Belanda) dan F.A. Sutjipto (arkeolog Indonesia) percaya bahwa tradisi batik berasal dari daerah seperti Toraja, Flores, Halmahera, dan Papua. Sebagian referensi menduga batik berasal dari bangsa Sumeria dan berkembang di Jawa setelah dibawa pada abad 14 oleh para pedagang India, negara yang kala itu berada di bawah kekuasaan kerajaan Islam Parsi, Persia.

Sejumlah prasasti mungkin bisa sedikit menjelaskan asal-usul batik. Detil ukiran kain menyerupai pola batik pada arca Prajnaparamita (arca dewi kebijaksanaan Buddhis) yang diperkirakan berasal dari abad 13 M ditemukan di Malang, Jawa Timur. Detil pakaian sang dewi menampilkan pola sulur tumbuhan dan kembang-kembang rumit yang mirip dengan pola batik tradisional Jawa saat ini.



Dari  Zaman Majapahit?
Sejarawan berkebangsaan Belanda G.P. Rouffaer (1996) menyebutkan, pola gringsing telah dikenal sejak abad ke-12 di Kediri, Jawa Timur. Ia menyimpulkan bahwa pola tersebut hanya bisa dibentuk dengan menggunakan alat canting, sehingga ia berpendapat canting ditemukan di Jawa pada masa sekitar itu.

Referensi lain mengenai perkembangan batik ada pada legenda dalam literatur Melayu abad 17, Sulalatus Salatin. Dalam literatur tersebut, dikisahkan bahwa Sultan Mahmud memerintahkan Laksamana Hang Nadim agar berlayar ke India untuk mendapatkan 140 lembar kain serasah dengan motif 40 jenis bunga pada setiap lembarnya. Kain serasah tersebut ditafsirkan sebagai batik.

Sedangkan dalam literatur Eropa, teknik batik pertama kali diceritakan dalam History of Java karya Sir Thomas Stamford Raffles, yang pernah menjadi gubernur Inggris di Jawa ketika Napoleon menduduki Belanda. Dikisahkan, saat mengunjungi Indonesia pada 1873, seorang saudagar Belanda bernama Van Rijekevorsel memberinya selembar batik. Raffles lalu menyerahkan kain tersebut ke museum etnik di Rotterdam dan dipamerkan di Exposition Universelle Paris. Pada masa itulah, setelah berhasil memukau publik dan seniman, batik mulai memasuki masa keemasannya.


Di luar Raffles, pedagang asal Negeri Tirai Bambu juga mencatat tentang batik Nusantara sejak lama. National Museum of Singapore (2007) dalam “Batik: Creating an Identity” mengisahkan, pada awal abad ke-14 M seorang pedagang dari Dinasti Yuan bernama Wang Dayuan melakukan dua perjalanan laut ke wilayah Asia Tenggara.

Dayuan lalu menulis buku berjudul Dao Yi Zhi Lue di tempat yang kini bernama Sri Lanka. Buku itu berisi catatan cuaca, barang-barang produksi, orang-orang, dan adat istiadat di tempat-tempat yang dikunjunginya. Dalam catatan perjalanannya itu ia menulis bahwa orang-orang di Jawa Timur membuat kain bermotif yang bagus dan tidak luntur.


Di Jawa, selain arca Prajnaparamita, sejumlah arca lain melengkapi catatan rekam jejak batik. Catatan dalam laman batiksolo.asia menyebutkan, pada patung emas Syiwa  di Gemuruh Wonosobo (dibuat pada abad 9 M), terdapat motif dasar lereng. Sedangkan pakaian patung Ganesha di Candi Banon (abad 9 M) di dekat Candi Borobudur dihiasi oleh motif ceplok. Motif batik juga ditemukan pada patung Padmipani di Jawa Tengah (diperkirakan dibuat sekitar abad 8-10 M). Motif liris melekat pada patung Manjusri di Ngemplak, Semongan, Samarang (abad 10 M).


Dalam beberapa literatur, sejarah perbatikan di Indonesia sering dikaitkan dengan Kerajaan Majapahit (1293-1500 M) dan penyebaran ajaran Islam di Pulau Jawa. Penemuan arca dalam Candi Ngrimbi dekat Jombang yang menggambarkan sosok Raden Wijaya menegaskan hal itu. Raja pertama Majapahit yang memerintah pada 1294-1309 M itu mengenakan kain batik bermotif kawung. Karena itulah, kesenian batik diyakini telah dikenal sejak zaman Kerajaan Majapahit dan diwariskan secara turun temurun. Selanjutnya, wilayah Majapahit yang luas membuat batik dikenal semakin mudah di Nusantara.

Jenis-jenis Batik
Pendapat berbeda di kemukakan KRT Hardjonagoro, pakar terkemuka batik Indonesia. Menurut Hardjonagoro meski bermula pada masa Majapahit, sejarah dan perkembangan batik di Nusantara mulai terekam sejak masa Kerajaan Mataram Islam (berdiri abad ke-17) di Jawa Tengah. Di antara rekaman sejarah batik itu, yang dapat ditelusuri dari Keraton, adalah keberadaan motif porong rusak dan semen rama.


Batik menyebar luas pada akhir abad 18 hingga awal abad 19. Kesenian batik di sepanjang masa itu hanya menghasilkan kain-kain batik tulis, hingga kemudian batik cap (menggunakan pencetak dari kayu bermotif sebagai pengganti canting) mulai dikenal setelah Perang Dunia pertama.  Munculnya batik cap, membuat batik bisa diproduksi secara massal, dan bisa dijangkau oleh segenap lapisan masyarakat.

Tak hanya di Jawa, kain-kain sejenis batik juga muncul di luar Jawa. Beberapa contoh kain sejenis batik yang berasal dari luar Jawa adalah sarita dari Toraja, tritik (Palembang, Banjarmasin, dan Bali), kain jumputan dan kain pelangi (Jawa, Bali, Lombok, Palembang, Kalimantan, dan Sulawesi). Ada pula kain sasirangan dari daerah Banjar, Kalimantan Selatan, serta kain cinde atau patola (Gujarat India) yang masuk ke Nusantara sebagai barang dagangan atau untuk ditukarkan dengan hasil bumi.

Teknik pembuatan batik juga kini sudah berkembang luas.Semula batik dibuat di atas bahan dengan warna putih yang terbuat dari kapas yang dinamakan kain mori. Dewasa ini batik juga dibuat di atas bahan lain seperti sutera, polyester, rayon dan bahan sintetis lainnya. Motif batik dibentuk dengan cairan lilin dengan menggunakan alat yang dinamakan canting untuk motif halus, atau kuas untuk motif berukuran besar, sehingga cairan lilin meresap ke dalam serat kain.

Berdasar teknik pembuatannya, batik terdiri dari batik tulis, cap dan lukis. Batik tulis adalah kain yang dihias dengan teksture dan corak batik menggunakan tangan. Pembuatan batik jenis ini memakan waktu kurang lebih 2-3 bulan. Sementara batik cap adalah kain yang dihias dengan teksture dan corak batik yang dibentuk dengan cap ( biasanya terbuat dari tembaga). Proses pembuatan batik jenis ini membutuhkan waktu kurang lebih 2-3 hari. Terakhir,batik lukis yaitu proses pembuatan batik dengan cara langsung melukis pada kain putih.

semua tentang gangnam style

gaya gokil psy
Park Jae Sang atau biasa dikenal dengan nama Psy memang fenomenal. Rapper Korea Selatan ini berbeda dengan pelaku budaya pop Korea lain, yang kerap diidentikan bertubuh langsing dan berwajah tampan hasil karya para dokter bedah. Psy bertubuh gempal dan tidak tinggi. Namun dengan single dan tarian kocak Gangnam Style-nya, Psy telah menyihir publik dunia, untuk sejenak menoleh kiprahnya.

Gelombang tari Gangnam Style mengingatkan fenomena Breakdance, yang mewabah di sekitar 1980-an.  Jika Breakdance muncul sebagai protes kaum miskin Afro-Amerika terhadap kondisi yang menindasnya, Psy dengan Gangnam Style mengejek gaya hidup orang-orang kaya raya Korea Selatan. Psy sendiri berasal dari keluarga berada,meski dirinya mengaku senang di sebut kaum kelas B. Tak heran, Psy memilih untuk berkarir di dunia hiburan, daripada menerima harapan orang tuanya untuk meneruskan bisnis keluarga.

Single K-pop Biasa
Sebetulnya, Gangnam Style hanyalah single K-pop biasa, seperti single-single lain yang dirilis oleh penyanyi Korea Selatan. Lagu ini pertama kali dirilis pada  15 Juli 2012 lalu dan langsung memuncaki tangga lagu Korea Selatan, Gaon Chart. Lirik lagu ini ditulis oleh Psy sendiri. Ia berkolaborasi dengan Yoo Gun Hyung sebagai komposer. Yoo Gun-Hyung  adalah seorang produser terkenal di Korea Selatan dan juga pernah berkolaborasi dengan Psy di masa lalu.

Video musik untuk lagu ini menampilkan Psy sedang menari tarian gaya "menunggang kuda" yang lucu dan muncul di lokasi yang tak terduga di sekitar Gangnam. Tarian inilah yang menyedot perhatian publik, dan menimbulkan gelombang Gangnam Style di seluruh dunia. Memang, mereka yang berdomisili di Korea atau mengenal budaya Korea lebih familiar dengan tempat-tempat yang muncul di video musik Gangnam Style ini. Namun, orang-orang yang kurang akrab dengan budaya ini telah disuguhi sebuah video "segar" ditengah-tengah bertaburannya idola-idola pop remaja Korea.

Saat Gangnam Style dirilis pertama kali, lagu ini hanya diketahui oleh para penggemar K-pop. Para penggemar K-pop kemudian berbagi dan saling menyebarkan di situs jejaring sosial seperti facebook dan twitter. Tidak lama kemudian, pengguna internet di luar komunitas K-Pop mulai mengetahui lagu ini. Bahkan, selebritis-selebritis internasional juga ikut-ikutan "mengetweet" tentang Gangnam Style, yang memicu efek bola salju.

Lagu ini akhirnya sukses menjadi hit di seluruh dunia dan media-media internasional mulai memperhatikan. Pada tanggal 4 Agustus 2012, The Los Angeles Times menulis bahwa popularitas Gangnam Style "tak terbendung" dan telah "mengambil alih dunia". Pada minggu terakhir Agustus, majalah Billboard melaporkan bahwa posisi lagu ini naik delapan peringkat dalam tangga lagu Billboard social 50.

Prestasi naik delapan peringkat ini merupakan prestasi pertama yang diraih oleh penyanyi asal Asia. Sejauh ini tercatat hanya sembilan musisi yang pernah menorehkan prestasi tersebut, termasuk Justin Bieber, Lady Gaga dan Adele. Lagu ini juga sukses menangkap perhatian media internasional seperti CBC dan CNN. Mereka menggambarkannya sebagai lagu yang "sangat berbeda dan komedik."

Media internasional lainnya yang mengulas mengenai Gangnam Style ini antara lain The Los Angeles Times dan The Washington Post. Tak pelak, publikasi ini tak hanya melambungkan nama Psy, tapi juga mempopulerkan wilayah Gangnam, yang jadi latar belakang video sang rapper.  Wilayah yang dulu tak pernah disebut orang itu, kini sejajar dengan Beverly Hills di Amerika Serikat.

Tempat Tinggal Kaum Berduit
Distrik Gangnam yang memiliki arti 'sebelah selatan sungai' itu sendiri memiliki luas separuh dari Manhattan, New York, Amerika Serikat. Tercatat sekitar 1 persen penduduk kota Seoul tinggal di distrik ini dan sebagian besar merupakan orang kaya raya. Harga sewa apartemen di wilayah ini saja berkisar US$ 716 ribu per tahun.Uang sebanyak ini rata-rata baru bisa diraup penduduk Korea Selatan dalam waktu 18 tahun. 

Selama ini, aktivitas bisnis dan pusat pemerintahan berpusat di wilayah utara Sungai Han, yang dekat dengan istana dan menjadi tempat tinggal kaum konglomerat Korea. Ketika harga apartemen di wilayah Gangnam meroket di tengah-tengah hiruk pikuk investasi real estate pada awal tahun 2000-an, para pemilik tanah dan spekulan di Gangnam otomatis menjadi kaya hanya dalam semalam. Distrik Gangnam pun beralih menjadi distrik menengah ke atas.


Akibatnya bisa ditebak. Berbagai  butik dan kelab mewah, hingga klinik-klinik operasi plastik mahal mulai bermunculan. Tidak hanya itu, di kawasan ini juga muncul tren pendidikan privat kelas atas. Sebagian besar penduduk kaya di Gangnam menghabiskan biaya pendidikan 4 kali lipat lebih besar daripada pendidikan umum. Fakta jika sebagian besar penduduk distrik Gangnam hidup dalam kemewahan,banyak menimbulkan kecemburuan warga Korea Selatan yang lain.

Psy dan kaum borjuis

Penduduk kelas atas di Gangnam disebut-sebut memonopoli kesempatan mendapat pendidikan dan infrastruktur terbaik.Padahal yang mereka lakukan hanya menghambur-hamburkan uang untuk barang-barang mewah dan pamer kekayaan."Gangnam menginspirasi baik rasa iri maupun rasa tidak suka. Penduduk Gangnam merupakan kaum kelas atas Korsel, namun warga Korsel lainnya melihat mereka sebagai orang-orang yang hanya mementingkan diri sendiri," jelas kritikus musik Korsel, Kim Zakka.

Psy rupanya menangkap kegelisahan ini. Dalam pandangannya, penduduk di Gangnam sudah melupakan tradisi Korea Selatan, yang harus bekerja keras dan mengorbankan sesuatu untuk mendapatkan cita-citanya. Secara satir tapi menghibur, Psy menyentil kaum kelas atas tersebut. “ (Gaya hidup di Gangnam) Ini tidak adil dan seseorang harus memberitahukannya pada dunia,”kata Psy.


Direspon Seleb Dunia
Gebrakan  Psy bisa dibilang berhasil. Memang respon terbesar lebih pada gaya tarinya yang menghibur. Peran jejaring sosial bahkan membuat Gangnam Style dilirik para selebritis dunia yang pada akhirnya juga turut mendapat perhatian dari para penggemar artis tersebut. Sebagai contoh, pada tanggal 16 Agustus 2012, Nelly Furtado membawakan lagu ini dalam konsernya di Smart Araneta Coliseum di Manila, Filipina.

Artis terkenal lainnya yang juga pernah menuliskan kicauan (tweet) mengenai Gangnam Style ini antara lain; penyanyi Inggris Robbie Williams dan aktor Simon Pegg. Juga penyanyi Josh Groban. Sedangkan  Britney Spears menyatakan ketertarikannya pada koreografi Gangnam Style. Spears mengetweet: "Saya cinta video ini - sangat lucu! Saya mungkin harus mempelajari koreografinya. Adakah yang mau mengajari saya?".

Setelah Gangnam Style beredar, manajer bakat Amerika Serikat, Scooter Braun, orang yang menemukan Justin Bieber di Youtube, menulis di Twitter: "Bagaimana bisa saya tidak mengontrak orang ini (Psy)". Tak lama kemudian, dilaporkan bahwa Psy sedang dalam perjalanan ke Los Angeles untuk bertemu dengan perwakilan dari Justin Bieber dalam rangka mencari peluang untuk bekerjasama.

Aktris dan penyanyi Amerika Serikat, Vanessa Hudgens, juga memposting video Gangnam Style di situs resminya dan menulis: "Saya sangat terobsesi. GANGNAM STYLE!". Penyanyi Katty Perry juga menulis tweet di Twitter: "Tolong! Saya berada di Gangnam-style K-hole."  Popularitas ini membuat Gangnam Style kini sudah meraih lebih dari 262 juta viewers di Youtube dan semakin banyak artis Hollywood yang terkena demam Gangnam Style.

Fenomena Baru
Sebagian besar artis K-Pop rata-rata terkenal di Korea Selatan dan wilayah Asia lainnya. Untuk pasar global mereka seringkali gagal menembus wilayah musik Amerika. Psy menorehkan prestasi itu dan menjadi fenomena tersendiri. Inilah saat termanis dalam karir rapper yang memulai berkiprah sejak 2001 lalu dan pernah didenda US$ 4.500 (Rp 43 juta) karena kedapatan merokok ganja.

Psy melambung ke tingkat popularitas tertinggi.  Siapa sangka ia akhirnya bisa memenuhi harapan Britney Spears untuk mengajari tarian khasnya itu di sebuah acara televisi ternama Amerika? "Saya tidak tampan, tidak tinggi, juga tidak langsing," tutur Psy saat diundang dalam acara televisi Amerika, 'Today', baru-baru ini. "Tapi kini saya duduk di sini," imbuhnya.


Nama panggung Psy berasal dari 3 huruf pertama kata 'Psycho'. Namun dia selalu mengidentikkan dirinya sebagai orang luar yang unik, meskipun sebenarnya dia berasal dari keluarga kaya, yang dibesarkan dan mengenyam pendidikan di kawasan selatan Sungai Han, dekat distrik Gangnam. Menurut penulis kolom Chicago Tribune,Jae-Ha Kim, alasan yang menjadikan Psy mendunia karena penampilannya yang biasa dan tidak banyak dipoles.


Selama ini, musik K-Pop didominasi boyband dan girlband yang rata-rata muda, berwajah tampan dan berpenampilan menarik. Menurut Jae-Ha, sosok-sosok seperti itu justru membuat sebagian besar warga Amerika merasa tersaingi."Orang-orang Amerika merasa lebih nyaman dengan orang-orang Asia yang terlihat seperti Jackie Chan dan Jet Li, yang juga menarik tapi tidak semenarik Brad Pitt atau Keanu Reeves," ujarnya.

Jae Ha menulis, rata-rata orang tertarik dengan lagu Gangnam Style karena videonya yang lucu, seperti pertunjukan aneh dan orang berkata, “'Pria ini lucu juga. Tapi ketika Anda melihat tariannya, Anda akan menyadari bahwa Anda bisa ikut menarikannya dengan mudah. Dia benar-benar bagus,”.


Dengan popularitasnya yang melonjak di Amerika Serikat, jelas Psy akan mudah untuk masuk ke industri musik di benua yang bertaburan bintang terkenal tersebut. Konon Psy kini sudah menandatangani kontrak dengan sebuah agensi di Amerika. Rencana nya Gangnam Style akan dikenalkan pada MTV Video Music Award. Untuk waktu dekat pun Gangnam Style akan dirilis dalam versi Bahasa Inggris dan Py akan berkolaborasi dengan penyanyi terkenal Justin Bieber.  

Selain berhasil menjadi fenomena dunia, video klip Psy juga berhasil tercatat dalam Guiness World Records. Video klip yang kocak itu dinobatkan sebagai video yang paling banyak disukai sepanjang sejarah YouTube. Guinness World Record mencatatnya secara resmi pada 20 September lalu. Hanya dalam waktu 4 bulan sejak diunggah, video tersebut disukai oleh lebih dari 2,5 juta pengguna YouTube.

Sekitar 47% penonton video tersebut berasal dari Amerika Serikat, 7% dari Inggris, 6,8% dari Kanada dan hany 4% yang berasal dari Korea Selatan. Namun toh, tak semua menyukai Gangnam Style. Video klip Psy ini ternyata memperoleh nilai 100 ribu dislike (tidak suka). Kini, penyanyi Korea Selatan ini memiliki alasan baru untuk bangga dengan dirinya karena dapat memecahkan Rekor Dunia Guinness. “Psy, sertifikat Anda menunggu di kantor kami, Anda bisa datang dan mengambilnya kapan saja,” kata Barret, sedikit bercanda. 



Saturday, September 22, 2012

Andai Foke Kembali Terpilih...


Sabtu (15/9) sore, lima hari menjelang pilgub DKI Jakarta, rumah dinas Gubernur Fauzi Bowo nampak cukup ramai. Lewat sekretaris pribadi (sespri)-nya Hj. Tati, istri  Fauzi Bowo, saya disambut dan segera dibawa ke halaman belakang yang asri. Di situ ada lapangan kecil dengan rumput gajah yang rapi, saung tempat bersantai dan bangunan berlantai dua untuk tidur para staf gubernur. Tepat di belakang rumah, yang lokasinya lebih tinggi dari lapangan kecil, saya disuruh menunggu.

Hj. Tati muncul dan saya segera di panggil untuk menyambutnya. Sore itu, Fauzi Bowo yang biasa disapa Foke tidak  ikut mendampingi, karena harus hadir di acara debat kandidat JakTV. Ini kali kedua saya gagal berbincang dengan Foke, walau sudah diundang secara resmi ke rumahnya. Tahun 2007 silam, saat Pilgub DKI Jakarta hendak digelar, yang keluar juga hanya Hj. Tati. Waktu itu saya tak tahu apa alasan Foke tidak menemui….

***
Hasil hitung cepat Foke-Nara dikalahkan Jokowi Ahok, saat pilgub 20 September 2012. Jika hitungan KPUD sesuai dengan quick count, tanggal 7 Oktober 2012 Foke dipastikan akan meninggalkan rumah dinas yang sudah dihuninya selama 5 tahun itu. Foke sudah mulai memindahkan barang-barang pribadinya, saat tulisan ini dibuat. Ke mana Foke akan tinggal. “Rumahnya banyak. Mau ke mana saja bisa,”kata KS, ketua tim media Foke-Nara.

Dari awal disuruh datang, sebetulnya saya sudah pesimis Foke mau menerima. Keyakinan itu semakin menguat, waktu  sespri Hj. Tati berbusa-busa menjelaskan sosok Foke yang kerap digambarkan suka marah-marah pada media. Kata beliau,”Bapak itu paling nggak suka kalau yang diajak ngomong nggak ngerti-ngerti,”. Maksudnya mungkin, saat Foke di tanya pers, terus menjelaskan, lantas pers kembali mencecar, Foke marah, itu karena beliau menganggap wartawan “nggak ngerti-ngerti”.

Informasi lain dari tim sukses Foke, pria berkumis lebat itu juga ogah diatur-atur oleh konsultan politik. Alasannya simple, dirinya bukan selebritis. “Bapak bilang saya ini pekerja. Bukan artis. Tidak butuh sorotan kamera ke wilayah pribadi,”. Cerocosan ini saya serap. Tidak saya bantah. Hanya saja, keyakinan tim sukses bahwa mereka akan memenangkan pertarungan dengan strategi yang sudah dipakai, saya ragukan hasilnya, dan terbukti.

Semua berkaca pada pilgub putaran pertama.Jarang terjadi kasus kandidat yang kalah di putaran pertama bakal memenangi pertarungan di putaran kedua. Kekalahan Foke di putaran pertama, juga memunculkan banyak pertanyaan, karena sebagai incumbent, ia punya banyak waktu untuk melakukan investasi sikap, investasi politik, sosial, dan ekonomi pada masyarakat Jakarta secara masif dan terstruktur. Foke bisa mulai kampanye 5 tahun silam, bahkan ketika nama Jokowi belum terdengar publik Jakarta!

***
Pikiran nakal saya menduga-duga, hubungan Foke dan media massa yang buruk, bisa jadi salah satu sebab ia terjungkal. Alasan jika ia tidak suka bicara dengan orang yang “nggak ngerti-ngerti”, menjadi amat naïf, ketika ia tahu bahwa tugas pers memang bertanya. Andai pun wartawan sudah tahu, ia akan terus bertanya, sekedar untuk memenuhi kaidah jurnalistik. Jika melihat kondisi ini, Foke sebagai pejabat publik mestinya bisa lebih sabar meladeni berondongan pertanyaan pers.

Foke seperti membuat menara gading birokrasi, yang susah untuk dirambah bahkan oleh media massa sekalipun. Di hari-hari terakhir kekuasannya, Foke memang berubah. Tapi sikap ramah dan terbuka terhadap pers setelah kalah di putaran pertama, menjadi tidak berguna, karena  waktu yang sudah mepet untuk kampanye. Selain itu, publik sudah terlanjur mencapnya sebagai sosok yang temperamental.

Segala atribut ini, ditambah persoalan Jakarta yang komplek, membuat sosok Foke menjadi antagonis, hingga bandul politik mengarah ke figur lain yang dianggap menjanjikan. Kerja keras konsultan politik untuk menutup kekurangan itu, tidak berhasil meyakinkan swing voters yang memang lebih pragmatis saat mengambil pilihan. Foke menyia-nyiakan waktu lima tahun, untuk berubah menjadi media darling, agar prestasinya selama memimpin Jakarta tersosialisasi dengan baik.

***
Sebagai jebolan universitas di Jerman, Foke mungkin lebih cocok menjadi ilmuwan, yang bekerja keras di tengah keheningan dan tidak peduli popularitas. Menjadi politisi, selain investasi sikap, citra baik yang ditanamkan ke publik juga memegang peranan vital.  Kombinasi citra baik dan investasi sikap yang panjang pada masyarakat pemilih inilah, yang membuat Sri Surya Widati terpilih menjadi Bupati Bantul, melanjutkan kiprah suaminya Idham Samawi yang tidak dibolehkan undang-undang kembali mencalonkan diri.

Contoh paling ekstrim terjadi pada Widya Kandi, Bupati Kendal. Meski Hendy Boedoro, suaminya, ditahan KPK karena terlibat korupsi, Widya masih tetap terpilih menggantikan Hendy, yang sudah mengambil start kampanye sejak pertama kali menjabat. Begitu pula Anna Sophanah, yang walau suaminya  Irianto Syafiudin diduga terlibat  korupsi pembebasan tanah pembangunan Proyek PLTU, Anna masih juga terpilih sebagai bupati Indramayu menggantikan  sang suami.

Jangan mengira pemunculan mobil ESEMKA Jokowi adalah murni untuk mendukung penggunaan karya anak negeri. Semuanya sudah diset secara sistematis, dengan timeline yang diatur, agar awareness masyarakat terhadap sosok Jokowi meningkat, seiring semakin dekatnya Pilkada DKI Jakarta kala itu.Sungkem terhadap ibunda, terjun ke perkampungan kumuh, dan menampilkan wajah polos dan apa adanya, juga bagian dari kampanye yang di atur secara cermat oleh Poll Mark, konsultan politik yang disewa timses Jokowi-Ahok.

Saya tak pernah melihat  kemesraan Foke dengan anak, istri dan cucu muncul di teve. Apa yang dilakukannya di waktu senggang, tak pernah kita tahu. Wajah yang tenang, santai, apalagi sambil lesehan dengan wartawan, berhahahihi, menjadi “benda” mahal. Foke terlihat elitis, birokratis, formal, walau kita akui kerja kerasnya membangun Jakarta bertujuan untuk kebaikan semua.

Tidak salah memang, karena itu pilihan. Tapi, ini era reformasi bung. Demokrasi kita sudah bertransformasi sedemikian rupa, hingga persepsi publik bisa diubah dalam sekejap oleh tayangan teve selama 30 menit. Bukankah politik adalah soal persepsi,  dan segala kemungkinan bisa terjadi asal tahu “seni”nya?

Kasus Foke, menjadi pelajaran penting politisi lain. Politisi, juga bisa belajar pada para artis. Walau mereka suka merokok, di depan moncong kamera, mereka tidak pernah mau  terlihat sedang merokok. Inilah pentingnya sebuah pencitraan, agar sosok mereka tetap disukai publik.  Foke telah merasakan hasil dari ketidakpeduliannya terhadap pencitraan dan berita positif media massa. Artinya, andai pun ia terpilih lagi jadi gubernur,  maka yang pertama “mati” adalah lembaga konsultan politik. Tapi, kenyataan berbicara lain….Jadi, hidup pencitraan!

Sunday, September 16, 2012

taman serua dan sindrom "penghuni komplek"

Syahdan, pada suatu malam, dengan mata masih terkantuk-kantuk, saya  membuka portal  pintu gerbang saat mobil seorang dokter hendak masuk ke dalam komplek. Waktu itu, sekitar  10 tahun silam, nama Taman Serua belum terlalu di kenal. Orang Serua dan Pondok Petir, lebih mengingatnya sebagai komplek Gus Dur. Maklumlah. Banyak orang dekat almarhum Gus Dur, yang tinggal di situ. Saat sang dokter lewat dan melihat saya sambil memegang sarung, beliau nyeletuk,”Waduh,kim…kim!”.

Sebagai orang yang baru merantau, dan harus menjaga portal saban malam, saya sedikit terusik. Bukan apa-apa. Tapi intonasi suaranya seolah memberi tafsir lain; jauh-jauh datang ke Jakarta ngapain kalau cuma jaga portal? Mungkin saya berburuk sangka. Tapi sejak itu saya sempat ingin pulang kampung, walau orang tua melarang dengan keras. Buat apa nganggur di Tegal dan hanya jadi gunjingan tetangga kiri dan kanan?Ini kata emak. Pekerjaan jaga portal akhirnya saya teruskan, sambil sesekali patroli ke bawah, yang saat itu masih rawa-rawa dan banyak hantunya.

Terjangkit Sindrom "Penghuni Komplek”
Karena alasan tertentu, saya memang akhirnya keluar dari Komplek Gus Dur. Tapi karena sudah merasa kerasan di Sawangan, saya putuskan untuk kost di depan komplek. Berbilang tahun kemudian,saban saya pulang kerja, papan nama Taman Serua sudah mulai terpasang.  Sebagai karyawan dengan penghasilan pas-pasan, terus terang saya tak pernah bermimpi bisa tinggal di dalamnya.  Bertahun-tahun memori saya dicekoki fakta, jika yang bisa berdiam di situ hanyalah kaum berduit.

Selain pak dokter, rumah di depan kala itu semua garasinya terisi oleh mobil mengkilat. Banyak pengurus PBNU, orang-orang ring satu Gus Dur yang saat jadi presiden RI, ketiban sampur menduduki posisi penting dan terhormat. Pokoknya itu komplek disegani segala kalangan, sebelum semuanya meluntur, seiring lengser keprabonnya Gus Dur dari singgasana kekuasaan negara. “Rasanya nggak mungkin deh, saya bisa beli rumah di situ, meskipun kredit,”kata saya pada istri, suatu hari secara berseloroh.

Keajaiban itu akhirnya datang juga. Ide untuk tinggal di Taman Serua terbetik, ketika mertua datang ke Jakarta dan harus tidur di samping motor yang saya taruh di dalam kamar kontrakan. Jujur saja, pilihan Taman Serua sendiri bukanlah  karena faktor balas dendam, tersebab pernah “dihina” pak dokter. Bukan. Alasannya simpel saja, karena komplek lain tidak berhasil meyakinkan hati saya, jika mereka bisa membangun rumah tepat waktu.

Namun tinggal di komplekpun, ternyata tak seenak yang saya bayangkan.  Ada banyak iuran, begitu banyak gunjingan, dan sangat deras mimpi plus godaan datang.  Seminggu pertama di rumah baru, saya lihat rumah tetangga di tumbuhi pohon yang besar dan lebat.  Saya kesal. Tiap kali hujan turun, atau saat angin bertiup kencang, daunnya berserakan ke mana-mana. Istri saya sudah menyuruhnya untuk menebang. Tapi sang empunya pohon sepertinya keras kepala. Saking jengkelnya, istri saya bahkan sempat nyeletuk,”Rumah kecil mbok pohonnya jangan besar-besar,”. Kebetulan rumah tetangga saya itu tipe 33. Saya tak peduli, apakah tetangga saya tersinggung apa tidak dengan omongan saya.

Di hari lain, saya juga melihat tetangga beli rak buku besar. Saya berfikir, dengan uang yang saya punya, rak sejenis bisa mampir di rumah, dan menghiasi ruang tamu. Kebetulan istri saya juga berminat. Dia sempat melihat-lihat rak itu, dan bilang pada saya ingin membuatnya. Ini memang bukan pertama kali istri tak mau kalah dengan tetangga saya itu, karena sebelumnya ia juga minta pasang AC, ketika tetangga saya itu pasang AC. Padahal saya tahu, tetangga pasang AC karena anak bayinya tak bisa tidur dengan udara panas Kota Depok.

Lain waktu, saya mengintip dari jendela tetangga saya merenovasi rumah. Kembali hati saya panas. Mestinya saya jangan kalah. Bukankah tidak terlalu mahal untuk mendatangkan tukang dan menuruti apa kata hati, walau saya pikir ini belum terlalu mendesak. Tapi hidup di komplek, mau tak mau saya harus ikut arus. Kalau tidak, saya bakal dipandang sebelah mata.  Alhasil, dengan semangat 45, saya juga ikut merenovasi rumah, tak lama setelah sang tetangga kelar menuntaskan pekerjaannya. Saya merasa puas, bisa melakukan apa yang tetangga saya lakukan.

Hal terakhir, dan ini yang saya anggap paling menyenangkan, saat tetangga beli mobil. Saya meyakini, tanpa mobil di garasi, kelas saya setingkat lebih rendah di bawah tetangga itu. Persoalan pertama memang ketidakpandaian saya menyopir mobil. Tapi ini masalah gampang.  Saya ambil kursus mengemudi, dan tak lama saya hubungi dealer mobil. Saya tersenyum senang, ketika mobil baru itu akhirnya bisa bertengger di garasi. Amboi, kini saya tak kalah dengan tetangga.  Jangan bicara skala prioritas, karena jika mikir itu, mobil bukanlah barang yang amat saya butuhkan. Ini persoalan prestis. Dan untuk inilah saya bekerja keras.

Pelajaran dari Senior
”Yah,bangun,bangun…ayo kerja. Tuh udah siang,”teriak istri saya, suatu pagi. Ah, ternyata semua kejadian di atas hanya mimpi belaka. Pohon besar, rak buku bagus, renovasi rumah dan beli mobil baru hanya gambaran yang datang saat saya sedang berada di pulau “kapuk”. Saya lihat di ruang tamu memang ada rak buku besar. Di depan rumah, juga ada pohon gede, yang sudah saya potong dahan-dahannya karena istri tak kuat disindir tiap minggu.  Hanya saja, saat berangkat istri berpesan hati-hati naik motor, dan segera saya tinggalkan rumah yang belum pernah saya renovasi sejak beli pertama kali.

Sepanjang jalan menuju kantor, saya sempat khawatir dengan kondisi kejiwaan saya. Jangan-jangan saya terkena sindrom "penghuni  komplek”. Memang kekhawatiran itu akhirnya lenyap, ketika saya bertemu dengan senior saya. Dia puluhan tahun jadi wartawan. Pernah jadi petinggi Tempo dan Republika, dan kini bergabung ke grup perusahaan saya, dengan gaji Rp 25 juta per bulan.  Satu hal yang unik dari penampilannya, ke mana-mana dia naik Honda Supra fit.  Sehari-hari, ia juga lebih senang memakai kaos dan celana jeans.

Istrinya yang dokter tak kalah nyleneh. “Istri saya tak pernah gengsi naik angkot.Itulah transportasi hariannya,”kata senior saya itu. Barangkali, jika orang selintas melihat sosoknya, dalam benaknya langsung tertanam dia bukanlah orang penting. Tapi hal itu tak merisaukannya. “ Buat apa?Hidup itu pilihan bro.Ketika kebutuhan dasar sudah terpenuhi, kita bisa memilih hidup sederhana, atau memaksakan diri biar terlihat kaya, atau benar-benar kaya dan kita pertontonkan pada khalayak. Saya pilih yang pertama,”sambungnya kalem.

Pilihan hidupnya, membuat saya malu dan terbanting.Buk!! Bagaimana mungkin karyawan kecil dengan gaji minim seperti saya justru bermimpi muluk-muluk? Senior saya bukan asal ngecap. Sikapnya memberi pencerahan lain, tentang bagaimana sesungguhnya ia bertindak sebagai seorang ayah. Anak pertamanya, setelah lulus SMA, ia berangkatkan kuliah ke Jerman, dengan biaya awal mencapai ratusan juta rupiah. “Anak-anak itu yang paling penting. Kita mah kalau bersikap baik sama tetangga, mereka juga akan menghargai. Karena saya pernah bertahun-tahun hidup di komplek, yang semua penghuninya punya mobil minimal satu. Cuma saya yang pakai sepeda motor,”kata sang senior.

Saya bersyukur, sifat iri dan panasan melihat tetangga hanya ada di dalam mimpi. Memang saya tak bisa menjamin, jika terlalu lama tinggal di Taman Serua, penyakit sindrom "penghuni komplek ” itu bakal  bisa terus saya tangkal. Saya belum cukup kuat iman, layaknya Almarhum Ayatullah Khomeini, pemimpin spiritual tertinggi Republik Islam Iran.  Saat beliau wafat,harta warisannya hanya sepetak rumah kecil, dengan beberapa kitab agama dan buku puisi. Semua gajinya sebagai pejabat tertinggi Iran dihibahkan ke baitul mal. Tak heran, saat beliau dimakamkan, 10 juta rakyat Iran mengantarnya ke Behez El Sahra (Taman Al Zahra), dengan puluhan orang meninggal karena berdesak-desakan ingin meraih kain kafannya. Luar biasa…

Belum lama mertua telepon, agar kami balik saja ke kampung di Kediri. Di sana mertua punya bisnis ayam yang cukup menjanjikan. Istri bisa berdagang, saya boleh jadi penulis lepas.  Mertua juga ingin dekat dengan cucu-cucunya, yang memang jarang pulang karena jarak yang begitu lebar.  Terhadap tawaran ini, saya amini, dan minta waktu tiga tahun. Saya pikir, waktu selama itu cukuplah untuk menulis novel dan buku. Ini keputusan penting, dan akan saya perjuangkan sekuat tenaga.

Bukankah kampung lebih banyak mengajarkan nilai-nilai kesederhanaan dan kebersihan nurani, dibanding harus hidup di Jakarta yang penuh dengan godaan dan gunjingan tetangga?  Bukankah di kampung tak pernah ada yang ngomel, ketika jalan di depan rumahnya kejatuhan daun dari pohon depan rumah kita misalnya? Di sisi lain, rasanya saya lebih pas melihat teladan Khomeini, daripada mendengar ustaz yang sering mendakwahkan pentingnya sedekah, tapi dia sendiri dikenal pelit oleh para karyawannya.  Dan,orang zuhud seperti Imam Khomeini seabrek jumlahnya di Jawa Timur. Namun tidak di Jakarta…..






Saturday, September 15, 2012

Laskar Pelangi from Jembayat

Saban kali memegang kamera Canon EOS digital,ingatan saya langsung berlesatan di sekitar pertengahan 1989 silam. Kala itu, dengan mata yang sedikit saya sipit-sipitkan, berbagai objek di atas panggung perpisahan SMP Negeri 1 Margasari saya bidik. Tak banyak yang saya bisa memang. Maklumlah. Itu bukan kamera milik pribadi. Sang empunya “Kodak”, Pak Supadio, bahkan harus mengajari saya memakai “makhluk” itu dengan telaten.”Dibikin fokus dulu ya obyeknya. Baru dijepret,”kata Pak Padio, sambil memutar-mutar lensa kamera yang masih manual.

Saya tak tahu kenapa ditunjuk oleh panitia jadi seksi dokumentasi. Tapi toh, segala aktivitas untuk “mengawetkan” aksi teman-teman itu, tak banyak membantu untuk mengingat-ingat kembali segala peristiwa saat saya menuntut ilmu di sana. Banyak kenangan tergerus lintasan zaman. Banyak memori membeku, tersaput keterbatasan kecerdasan yang saya miliki. Maka, saat satu demi satu nama teman-teman mulai disebut di situs jejaring sosial, sedikit demi sedikit, dengan sangat perlahan-lahan,  bayangan wajah mereka mulai tergambar.

Sudah pasti kondisinya telah jauh berbeda. Ada yang nampak sudah seperti Surya Paloh –dulu parasnya khas oriental, dengan gaya bicara yang cepat dan bersemangat. Beberapa bahkan harus saya ingat-ingat lagi, di mana ciri khas yang bisa membuat saya ngeh, bahwa ini adalah teman  sekelas. Begitulah. Segala proses untuk coba kembali memutar jarum jam kehidupan ini, saya nikmati seperti sebuah permainan puzzle yang mengasyikan.

Cah Ndeso Masuk Kuto
Jauh sebelum saya masuk SMP Negeri 1 Margasari, tiap kali peringatan 17 Agustus, memang saya kerap mendengar nama SMP N 1 disebut. Sesekali, saya bertandang untuk berlomba. Beberapa kali saya juara baca puisi, dan sekali ikut lomba mengarang.  Tentu tak ada pikiran, jika saya akhirnya harus terdampar di situ, yang menurut para guru saya itu adalah sekolah terbaik di kota kecamatan Margasari. Yang jelas, di awal-awal saya masuk, segala hal baru dan menakjubkan segera saya lihat dan rasakan.

Pengalaman tak terlupakan barangkali soal jaraknya yang lumayan jauh. Ini terkait alat transportasi yang mesti saya gunakan. Kebetulan usai lulus  dari SD Negeri Jembayat 4, almarhum bapak menghadiahi sebuah sepeda berwarna merah menyala. Dengan sepeda itulah, tiap hari saya mengukur jalan, menuju kota kecamatan. Saya, Ais Zakiyudin, Ma’mun dan sesekali Fahruri, harus menggenjot pedal, berangkat sendiri-sendiri dan pulang bersama-sama. Kami tak bisa berangkat bareng, karena rumah kami berjauhan untuk bisa janjian.

Jalanan Jembayat-Margasari waktu itu masih sepi. Di kiri kanannya lebat oleh tanaman jati. Saya bahkan   pernah mendengar suara monyet bersahut-sahutan, di tempat yang dikenal dengan nama kandang iwak. Jika pulang hujan, kami semua basah kuyup, karena tak ada tempat berteduh.  Pernah  saking tebalnya kabut hujan, saya nabrak Ais, dan kami hanya tertawa-tawa setelah jatuh. Peristiwa paling mengenaskan barangkali saat saya menabrak becak di dekat pasar Margasari. Sepeda rusak, baju saya belepotan oleh kotoran kuda, yang kala itu masih banyak mangkal di sisi  pasar.

Bukan maksud saya mendramatisir peristiwa itu. Tapi rangkaian gambar masa lalu, dengan segenap suka dan duka bersepeda, mengingatkan saya akan perjuangan sekelompok bocah di novel Laskar Pelangi. Dalam hal-hal tertentu, kami memang lebih beruntung. Jika lagi malas menggenjot pedal, saya pilih naik bus Kalitangi, yang seluruh bodinya terbuat dari kayu. Bunyi mesinnya, “greng-greng,greng-greng,greng-greng”, dengan badan bus yang terus bergoyang tak kuasa menahan getaran knalpot.

Di kota Margasari, saya pertama kali melihat penjual mie ayam. Agak takut-takut juga waktu nekad mencoba mampir. Sebagai orang kampung yang biasa makan pakai tangan, jari jemari rasanya bergetar memegang sumpit, malu kepergok tatapan mata dari pengunjung lain. Selain mie ayam, saya juga takjub melihat game wacht, yang banyak disewakan di depan SD dekat SMP 1. Di rumah Bambang gendut, saya sering mencoba mencicipi minuman dingin dari kulkas –hal yang tak pernah saya rasakan di rumah.

Ada kejadian lucu saat saya bermain ke rumah Donny, yang memiliki toko tak jauh dari sekolah. Di situ saya dengar lengkingan suara yang mirip-mirip tone vocal wanita dari sebuah tape recorder. Saya tanya,”Don, itu siapa yang nyanyi?”. Donny menjawab cuek,”Michael Jackson,”. Saya terhenyak. Oh, jadi vocal Jacko begitu ya?Bisa melengking tinggi seperti perempuan, batin saya. Itulah pertama kali saya mendengar kaset almarhum Jacko, yang kalau tak salah waktu itu sedang mendendangkan tembang “Billie Jean” (bener ora ya tulisane,hehehe).

Bambang dan Donny, bisa jadi masuk dalam kategori soulmate saya, karena rumahnya yang dekat dengan sekolahan. Saya juga sering ikut shalat di rumah Budi Rumekso. Tapi sebagai anak baru gede, saya banyak belajar pada Rohmani, don juan dari Pakulaut, yang berpengalaman menaklukan banyak perempuan. Dia kerap cerita, saya jadi pendengar setianya. Saya kadang kagum, mendengar semua petualangan cintanya, bak seorang Casanova. Beberapa bintang kelas juga saya dengar namanya, dan kemudian kenal dekat ketika kami berkumpul di kelas 3 A.

Sari Rapet,Sari Rapet
Kelas satu dan dua, tak banyak teman wanita yang saya kenal. Jujur saja, saya minder dan tidak percaya diri, terutama dengan rambut keriting saya. Siswanto selalu menyebutnya dengan kata ‘petarangan ayam’. Beberapa yang lain, meski dengan nada bercanda, ikut mengejek, membuat saya memutuskan untuk menyembunyikan rambut dibawah naungan sebuah topi.

Itu berlangsung terus menerus, dan saya seperti jadi kecanduan memakai topi. Rasanya ada yang kurang, jika di kepala tidak bertengger sebuah topi. Bukan karena saya sok ngetop, biar mudah dikenali alias sebagai personality branding layaknya Putu Wijaya. Bukan. Ini murni persoalan biar terlihat lebih ganteng saja (hahaha….akhirnya ngaku). Karena menyangkut hal prinsip, saya bahkan sempat sangat marah, ketika seorang  teman merebut topi saya dan membuangnya. Ini penghinaan yang tak termaafkan.

Bapak terlalu sibuk untuk ikut memecahkan masalah psikologis ini. Tapi belakangan saya berfikir, sesungguhnya inilah fase dimana saya harus belajar mengendalikan diri, sesuatu yang amat penting ketika akhirnya saya harus berhadapan dengan berbagai macam karakter orang. Apalagi kemudian, soal rambut tak jadi halangan berarti, ketika saya bisa menjalin ‘cinta monyet’ dengan seorang dara. Namanya Dewi Kusumawati. Dengan dialah satu-satunya kisah asmaraku di SMP Negeri 1 terjalin, walau tidak berlangsung lama, dan tidak jadi pendamping hidup sesungguhnya.

Soal percintaan ini, baiklah,  saya tak mau membukanya secara lebar di sini. Takut ada yang marah,huahahaha. Tapi benar, ujian kesabaran itu datang, saat saya masuk kelas 3 A. Di kelas ini, segalanya dituntut kompetitif, rapi, tertib dan tidak boleh mblatang. Ini tentu berlawanan dengan sikap dasar saya yang nyeniman, celelekan dan suka bercanda. Saya sempat “bergesekan” keras dengan Pak Sarwiji guru Pendidikan Moral Pancasila (PMP) kami.

Saya tak ingat, dimana letak  kesalahan  teman-teman, hingga satu ketika wali kelas menuntut kami meminta maaf pada beliau. Usai diberi nasihat, bel istirahat berbunyi, tak lama beliau lewat di depan kelas. Sontak saya langsung nyeletuk,”Ayo temen-temen pada njaluk pangapura,”. Celetukan saya itu rupanya di dengar beliau. Besoknya, saya dipanggil ke ruang guru. Apa yang terjadi? Subahanallah…saya dimarahi habis-habisan, dari A sampai Z.

Kemarahan Pak Sarwiji benar-benar diluar kontrol. Dan itu dilakukannya di depan guru-guru. Saya sampai menangis, tak kuat menahan malu dan amarah. Mungkin jika itu terjadi di zaman kini, saya bisa laporkan ke polisi, dengan undang-undang perlindungan anak karena telah terjadi kekerasan verbal. Tapi masa itu, siapa sih yang bisa mengedukasi jika itu sesungguhnya tidak boleh terjadi. Memang, beliau cukup sportif, ketika beliau mengucapkan selamat, karena nilai ujian akhir PMP saya mencapai sembilan. Tapi tetap, tindakan itu terus terkenang hingga kini.

Celetukan nakal, dikelas 3 A diharamkan. Ini pula yang terjadi pada Rohmani, saat pelajaran Biologi sedang berlangsung. Mungkin karena otaknya sudah banyak terkontaminasi novel Enny Arrow, saat bu guru sedang menerangkan “persetubuhan”  tumbuhan antara putik dan benang sari, Rohmani langsung nyeletuk,”Sari rapet,”. Akibatnya fatal. Rohman di suruh maju, dan dari mulutnya harus memproduksi kata “sari rapet” sebanyak 100 kali. Tontonan ini membuat kami semua tertawa terpingkal-pingkal. Kacau,kacau….

Berkelahi di Jalan
Jika di sekolah dasar saya mempunyai saudara yang suka berantem, saat masuk SMP, skala kekerasan fisik antar teman sudah mencapai tahap mengkhawatirkan. Istilah zaman sekarang biasa disebut tindakan bullying (bener ora kiye?). Di kelas saya, ada dua jagoan neon. Satu bernama Slamet Edy Haryanto, lainnya saya lupa namanya, tapi dia berasal dari daerah sekitar Prupuk. Tubuhnya yang kekar, membuatnya amat ditakuti di kelas jika sedang marah. Apalagi kalau sedang malak.

Jalanan yang memanjang antara perempatan Margasari hingga lokasi sekolah, saat itu kerap jadi ajang tinju bebas yang seru untuk ditonton. Mungkin karena zaman masih katro, perkelahian mereka selalu dengan tangan kosong. Saya sendiri cuma bisa menonton, sambil geleng-geleng kepala, atau sesekali bertepuk tangan memberi semangat pada Slamet EHE –begitu Slamet Edy Haryanto biasa disapa.

Pertanyaannya, apakah kenakalan semacam itu patut untuk dikenang? Jawabannya,di satu sisi mungkin iya. Bagaimanapun, itu bagus untuk bahan introspeksi, agar sebagai orang tua saya punya banyak bahan untuk mendidik anak. Tapi di sisi lain, saya juga berharap, pihak sekolah bisa lebih tegas menerapkan sanksi disiplin. Sebab, di zaman itu, SMP tak pernah memberi hukuman keras, misal dengan mengeluarkan mereka yang suka berantem. Padahal sebagai sekolah yang punya reputasi baik, kelakuan mereka ibarat nila setitik, yang bisa merusak susu sebelanga.

Saya sendiri tak tahu, bagaimana kondisi Atik cs sekarang yang kerap membuat ulah di SMP Negeri 1. Mudah-mudahan nasib mereka tak berbeda dengan teman-teman lain, yang saya tahu tidak mblatang ketika sekolah. Lihat saja, ada Momo yang jadi motivator  bak Mario Teguh. Atau Zuhlifar Arissandy, yang memilih karir sebagai kuli disket top di Tegal Raya. Farhatun bahkan sedang menyusun tesis. Kristina dan Puji terjun sebagai prajurit sapta marga. Juga teman-teman Jembayat,yang sekarang sudah sukses di bidang masing-masing. Ya, siapa tahu, dari nama-nama yang saya sebut, atau nama-nama yang luput karena saya lupa, nantinya ada yang bisa jadi bupati Tegal. Saya dukung, asal jangan lantas korupsi, dan kemudian masuk bui….

Akhirnya, di tengah kebahagiaan yang membuncah karena kembali menemukan teman-teman seperjuangan di SMP, diam-diam saya juga merindukan kabar guru-guru SMP. Pak Tarno, guru Bahasa Indonesia, amat berjasa karena kerap mengantar saya ikut lomba baca puisi hingga tingkat kabupaten. Pak Pujo, guru matematika, paling benci sama saya, karena kalau disuruh maju tak pernah mau (soalnya nggak mudeng otak saya). Guru agama, guru fisika, dan guru olahraga, Pak Agus, juga memberi kesan mendalam, karena karakter mereka. 

Juga guru SD, Bu Nunung Aspiyah,yang baru saja saya temukan akun facebooknya. Teman-teman di SD Negeri Jembayat 4 alias SD Inpres.Birin, Sarwo, Fahruri, serta para srikandi lulusan pertama SD Negeri Jembayat 4, yang banyak bermukim di Dukuh Petung.Pak Herman,yang pernah sangat marah ketika kami mandi di kali Kumisik usai main bola di Danaraja.Beliau bilang,"Dasar tampang kriminal,".Waktu itu, saya tak tahu apa arti kriminal,hehe. Adakah yang bisa memberi informasi dimanakah mereka kini berada?Salam buat semua...





Thursday, September 6, 2012

sepotong jalan bernama Malioboro


Proyeknya mulai diluncurkan Minggu (12/8/2012). Walikota Yogyakarta, Haryadi Suyuti, menyebut Malioboro akan memiliki wajah baru. Maksudnya, wajah lama yang dihadirkan kembali, untuk mengenang Jalan Malioboro yang sempat menjadi tempat kongkow nan resik, terbuka dan toleran bagi pengunjung. Wajah asli Malioboro yang bakal dihadirkan itu seperti tahun 1977 silam, saat bangunan-bangunan tua bergaya Hindis dan China masih jelas terpampang.


Tekad ini, setidaknya untuk mengembalikan Malioboro agar menjadi daya tarik utama para turis. Sultan Hamengkubuwono X sendiri menyambut baik rencana pak walikota. Bagaimanapun, sepotong jalan ini sudah lama menjadi icon kota Yogya. Perkembangan ekonomi dan semakin melimpahnya para pedagang, membuat Jalan Malioboro kadang terkesan padat, sumpek dan macet. Wajah Malioboro layaknya tahun 1977, diharapkan semakin membuat para pengunjung betah berlama-lama.

“Universitas” Malioboro
Cerita tentang jalan ini, memang tak ada habis-habisnya bila dikupas. Malioboro sebelum menjadi pusat niaga hanyalah jalan luji kebon. Perkembangan Malioboro selain ditunjang oleh bakat bisnis orang-orang Tionghoa, juga didukung oleh posisinya yang strategis dalam filosofi garis imajiner Kota Yogyakarta. Banyak hal terjadi di jalan ini, yang terekam oleh sejarah. Mulai dari penangkapan Soekarno saat agresi militer  ke-2 Belanda, saksi pertempuran 6 jam di Yogya, hingga menjadi pusat pemerintahan Kota Yogyakarta kini.

Dari panggung dunia seni dan hiburan, Malioboro tak kalah berkontribusi terhadap lahirnya seniman-seniman besar. Iwan Fals dan Ebiet G Ade diantara yang pernah menjadi pengamen di sini. Begitu pula budayawan Emha Ainun Nadjib, yang sempat “berkuliah” di “Universitas” Malioboro. Kisah ini terlacak saat tahun 1970-an, ketika Malioboro tumbuh menjadi pusat dinamika seni budaya di Yogya. Malioboro menjadi ‘panggung’ bagi para seniman ‘jalanan’, dengan pusatnya di Gedung Senisono. 

kemacetan malioboro

Mungkin kita masih ingat julukan Presiden Malioboro pada Umbu Landu Paranggi,cucu raja Sumba, yang melahirkan murid-murid berkaliber “monster” dalam dunia sastra seperti (alm) Linus Suryadi dan Korys Layun Rampan, hingga ratusan pemuja Umbu dalam lingkaran komunitas PSK (persada studi klub) . Cak Nun –panggilan akrab Emha- juga sempat lama ngangsu kawruh pada Umbu Landu Paranggi, sebelum akhirnya daya hidup seni jalanan ini mandek pada 1990-an setelah gedung Senisono ditutup.

Warisan para seniman ini di Malioboro adalah budaya lesehan, yang lalu menjadi daya jual khas warung-warung di Malioboro. Terinspirasi keindahan suasana lesehan, grup musik Kla Project mewujudkannya dalam sebuah lagu sendu, yang bertajuk “Yogyakarta”. Dalam konteks budaya, bangunan-bangunan bergaya Hindia Belanda, Jawa dan Cina di kawasan ini, masih menjadi peninggalan yang mempesona mata, di tengah munculnya sejumlah bangunan baru bergaya modern, seperti Mal Malioboro.

Budayawan Universitas Gajah Mada (UGM), Sutaryo, bercerita sedikit tentang wajah lama Malioboro. Pada tahun 1970-an, Malioboro memang benar-benar mencerminkan khas Yogyakarta. Setiap malam, seniman Yogya akan berkumpul di emperan untuk berkreativitas. Waktu itu belum banyak bisnis berkembang. Jalanannya pun masih bersih dan belum ada kemacetan. Malioboro menjadi kawah candradimuka, tempat seniman dan sastrawan menempa diri untuk mencapai taraf “resi”, hingga menghasilkan karya-karya adiluhung.

Pusat Ekonomi
Jika dirunut dari sejarahnya, awalnya Malioboro memang dibangun perlahan sebagai pusat kegiatan ekonomi. Kawasan ini dulu dihuni etnis Cina, sejak Sultan Hamengku Buwono I mengangkat kapiten  bernama Tan Jin Sing pada tahun 1755. Sang kapiten bernama Jawa Setjodingrat, dan tinggal di ndalem Setjodingratan (kini terletak di sebelah timur Kantor Pos Besar). Sekitar tahun 1916, kawasan Malioboro sebelah Selatan lantas dikenal sebagai kawasan Pecinan, dengan ditandai rumah-rumah toko yang menjual barang-barang kebutuhan masyarakat.

Kawasan ini kian ramai setelah Kraton membangun Pasar Gedhe (kini Pasar Beringharjo), yang beroperasi sejak 1926. Kawasan Pecinan lantas meluas ke Utara, sampai ke Stasiun Tugu (dibangun pada 1887) dan Grand Hotel de Yogya (berdiri pada 1911, kini Hotel Garuda). Malioboro menjadi penghubung titik stasiun sampai Benteng Rusternburg (kini Vredeburg) dan Kraton. Rumah toko menjadi pemandangan lumrah di sepanjang jalan ini, karena itu secara kultural, ruang Malioboro merupakan gabungan dua kultur dominan, yakni Jawa dan Cina.
toko mengepung malioboro

Saat perang kemerdekaan sedang bergolak, Malioboro menjadi satu-satunya wilayah yang bebas dari intervensi Belanda. Konon hal ini karena Sultan Hamengkubuwono ke-9 adalah teman sekolah Ratu Belanda. Malioboro menjadi kanal bisnis bagi kelompok Tionghoa, yang dimasa lalu memiliki sejarah hubungan naik turun dengan kekuasaan Kesultanan Yogyakarta.

Di Kotagede, kaum Tionghoa tidak diperbolehkan berdagang karena sudah ada mayoritas pebisnis pribumi seperti Kelompok Kalang dan Kelompok pedagang Muslim yang melingkar pada organisasi Muhammadiyah. Saat perang Diponegoro berlangsung, Jalan Malioboro menjadi saksi beberapa intrik keraton, yang kemudian juga melibatkan tokoh-tokoh Tionghoa dan penguasa Belanda.

Ditata Vertikal dan Horisontal
Lantas, bagaimana rencana penataan Malioboro, agak tujuan menjadikannya tempat yang ngangeni segera terwujud? Pemerintah Kota Yogya akan menata Malioboro secara vertikal dan horizontal. Penataan vertikal menyangkut pengembalian wajah bangunan budaya asli dengan membersihkan papan reklame melintang. Hal ini bertujuan untuk menampilkan kembali serta melestarikan cagar budaya bangunan bergaya Hindis dan China yang jumlahnya mencapai puluhan.

Penataan horizontal berkaitan dengan penataan jalur lambat dan infrastruktur jalan untuk memperluas pemandangan. Berkaitan dengan keberadaan jalur lambat, mulai saat ini kecepatan kendaraan yang melintas Malioboro dibatasi maksimal 30 km/jam . Sementara itu, untuk penataan infrastruktur dilakukan dengan penghilangan pot-pot tanaman dengan tanaman kecil dan memperbanyak zebra cross untuk akses pejalan kaki.

Penataan ini, rencananya akan dilakukan secara bertahap dengan tahap pertama dilakukan hingga Jl. Dagen. Untuk selanjutnya, seluruh pihak yang berkepentingan  harus melaksanakan komitmen bersama untuk mengembalikan wajah asli Malioboro. Sebagai contoh, pemilik toko di sepanjang Malioboro yang menempati bangunan lama secara sadar harus menurunkan reklamenya.

Istimewanya lagi, penataan wajah baru ini juga dibarengi dengan diresmikannya seragam khas Yogyakarta. Seragam khas ini merupakan perpaduan antara kain lurik dan batik. Seragam ini nantinya akan digunakan oleh semua stakeholder yang ada di Yogyakarta baik pelaku wisata maupun pejabat pemerintahan.

“Dengan penataan ini, mudah-mudahan Malioboro memiliki icon baru yakni ramah untuk pejalan kaki. Dengan demikian, kesempatan pengunjung untuk menikmati Malioboro lebih lama bisa terwadahi. Pengunjung tidak perlu lagi takut terhadap ancaman kemacetan,” kata Haryadi, seperti dikutip dari National Geographic edisi Agustus 2012.“Tidak bisa dipungkiri dengan berkembangnya zaman, Malioboro akan berubah. Meski perubahan itu ada, Malioboro tetap harus memperhatikan aspek sosio kultural,” katanya lagi.

Jalan Karangan Bunga
Bayangan kenyamanan itu, tentu terkait juga dengan fungsi Malioboro sebagai pusat festival dan upacara-upacara keraton Yogya. Tak heran, jalan ini dinamakan Malioboro yang dalam Bahasa Sanskerta berarti jalan “karangan bunga”. Hal ini karena pada zaman dulu ketika keraton mengadakan acara, jalan sepanjang 1 km ini akan dipenuhi karangan bunga.Misalnya, saat Keraton mengadakan hajatan, seperti waktu pawiwahan ageng putri bungsu Sultan Hamengku Buwono X , ribuan orang berjejalan memenuhi Jalan Malioboro.

Jalan yang membentang dari Utara ke Selatan  itu memang menjadi rute kirab sang putri menuju Bangsal Kepatihan. Seturut perguliran waktu, posisi Malioboro sebagai jalan utama tempat dilangsungkannya aneka kirab dan perayaan tidak pernah berubah. Hingga saat ini Malioboro, Benteng Vredeburg, dan Titik Nol masih menjadi tempat dilangsungkannya beragam karnaval mulai dari gelaran Jogja Java Carnival, Pekan Budaya Tionghoa, Festival Kesenian Yogyakarta, Karnaval Malioboro, dan masih banyak lainnya.

Memang, beberapa karnaval dan acara yang berlangsung di Malioboro biasanya bersifat indidental dengan waktu pelaksanaan tidak menentu. Namun ada pula kegiatan yang rutin diadakan setiap tahun, seperti Jogja Java Carnival (tiap bulan Oktober), Festival Kesenian Yogyakarta (bulan Juni-Juli), serta Pekan Kebudayaan Tionghoa yang diadakan berdekatan dengan perayaan Tahun Baru China (Imlek).

Di luar daya tarik sebagai pusat karnaval, sebagai urat nadi perdagangan, Malioboro telah berkembang pesat tak hanya sekedar tempat berderet toko-toko yang menawarkan barang-barang biasa. Di emperan toko juga menjamur lapak-lapak yang menawarkan berbagai cinderamata unik. Barang-barang seperti batik, hiasan rotan, perak, kerajinan bambu, wayang kulit, blangkon, miniatur kendaraan tradisional, asesoris, hingga gantungan kunci semua terhampar. Jika pandai menawar, barang-barang itu bisa ditebus dengan harga realatif murah.
jurusan surga dan neraka
Pendek kata, Malioboro adalah rangkaian sejarah, kisah, dan kenangan yang saling berkelindan di benak orang yang pernah menyambanginya. Pesona jalan ini tak pernah lenyap oleh gilasan zaman. Eksotisme Malioboro terus berpedar hingga kini, dan menginspirasi banyak orang, serta memaksa mereka untuk terus kembali. Seperti kalimat awal yang ada dalam sajak Melodia Umbu Landu Paranggi.”Cintalah yang membuat diriku betah sesekali bertahan”.

Kenangan dan kecintaan orang pada Malioboro, membuat jalan yang merupakan bagian dari sumbu imajiner yang menghubungkan Pantai Parangtritis, Krapyak, Kraton Yogyakarta, Tugu dan Gunung Merapi ini terus bertahan hingga kini, dan masa berikutnya. Di sisi inilah, gagasan penataan menjadi amat mendesak untuk dilaksanakan, jika tidak ingin Malioboro dilupakan karena menjadi sumber kemacetan.