Saban kali memegang
kamera Canon EOS digital,ingatan saya langsung berlesatan di sekitar
pertengahan 1989 silam. Kala itu, dengan mata yang sedikit saya sipit-sipitkan,
berbagai objek di atas panggung perpisahan SMP Negeri 1 Margasari saya bidik.
Tak banyak yang saya bisa memang. Maklumlah. Itu bukan kamera milik pribadi.
Sang empunya “Kodak”, Pak Supadio, bahkan harus mengajari saya memakai
“makhluk” itu dengan telaten.”Dibikin fokus dulu ya obyeknya. Baru
dijepret,”kata Pak Padio, sambil memutar-mutar lensa kamera yang masih manual.
Saya tak tahu kenapa
ditunjuk oleh panitia jadi seksi dokumentasi. Tapi toh, segala aktivitas untuk
“mengawetkan” aksi teman-teman itu, tak banyak membantu untuk mengingat-ingat
kembali segala peristiwa saat saya menuntut ilmu di sana. Banyak kenangan
tergerus lintasan zaman. Banyak memori membeku, tersaput keterbatasan
kecerdasan yang saya miliki. Maka, saat satu demi satu nama teman-teman mulai
disebut di situs jejaring sosial, sedikit demi sedikit, dengan sangat
perlahan-lahan, bayangan wajah mereka
mulai tergambar.
Sudah pasti kondisinya
telah jauh berbeda. Ada yang nampak sudah seperti Surya Paloh –dulu parasnya
khas oriental, dengan gaya bicara yang cepat dan bersemangat. Beberapa bahkan
harus saya ingat-ingat lagi, di mana ciri khas yang bisa membuat saya ngeh, bahwa ini adalah teman sekelas. Begitulah. Segala proses untuk coba
kembali memutar jarum jam kehidupan ini, saya nikmati seperti sebuah permainan puzzle yang mengasyikan.
Cah
Ndeso
Masuk Kuto
Jauh sebelum saya masuk SMP Negeri 1
Margasari, tiap kali peringatan 17 Agustus, memang saya kerap mendengar nama
SMP N 1 disebut. Sesekali, saya bertandang untuk berlomba. Beberapa kali saya
juara baca puisi, dan sekali ikut lomba mengarang. Tentu tak ada pikiran, jika saya akhirnya
harus terdampar di situ, yang menurut para guru saya itu adalah sekolah terbaik
di kota kecamatan Margasari. Yang jelas, di awal-awal saya masuk, segala hal baru dan
menakjubkan segera saya lihat dan rasakan.
Pengalaman tak terlupakan barangkali
soal jaraknya yang lumayan jauh. Ini terkait alat transportasi yang mesti saya
gunakan. Kebetulan usai lulus dari SD Negeri Jembayat 4, almarhum bapak
menghadiahi sebuah sepeda berwarna merah menyala. Dengan sepeda itulah,
tiap hari saya mengukur jalan, menuju kota kecamatan. Saya, Ais Zakiyudin,
Ma’mun dan sesekali Fahruri, harus menggenjot pedal, berangkat sendiri-sendiri
dan pulang bersama-sama. Kami tak bisa berangkat bareng, karena rumah kami
berjauhan untuk bisa janjian.
Jalanan Jembayat-Margasari waktu itu
masih sepi. Di kiri kanannya lebat oleh tanaman jati. Saya bahkan pernah
mendengar suara monyet bersahut-sahutan, di tempat yang dikenal dengan nama
kandang iwak. Jika pulang hujan, kami semua basah kuyup, karena tak ada tempat
berteduh. Pernah saking tebalnya kabut hujan, saya nabrak Ais,
dan kami hanya tertawa-tawa setelah jatuh. Peristiwa paling mengenaskan
barangkali saat saya menabrak becak di dekat pasar Margasari. Sepeda rusak,
baju saya belepotan oleh kotoran kuda, yang kala itu masih banyak mangkal di
sisi pasar.
Bukan maksud saya mendramatisir
peristiwa itu. Tapi rangkaian gambar masa lalu, dengan segenap suka dan duka
bersepeda, mengingatkan saya akan perjuangan sekelompok bocah di novel Laskar Pelangi. Dalam hal-hal tertentu,
kami memang lebih beruntung. Jika lagi malas menggenjot pedal, saya pilih naik
bus Kalitangi, yang seluruh bodinya terbuat dari kayu. Bunyi mesinnya,
“greng-greng,greng-greng,greng-greng”, dengan badan bus yang terus bergoyang
tak kuasa menahan getaran knalpot.
Di kota Margasari, saya pertama kali
melihat penjual mie ayam. Agak takut-takut juga waktu nekad mencoba mampir.
Sebagai orang kampung yang biasa makan pakai tangan, jari jemari rasanya
bergetar memegang sumpit, malu kepergok tatapan mata dari pengunjung lain.
Selain mie ayam, saya juga takjub melihat game
wacht, yang banyak disewakan di depan SD dekat SMP 1. Di rumah Bambang
gendut, saya sering mencoba mencicipi minuman dingin dari kulkas –hal yang tak
pernah saya rasakan di rumah.
Ada kejadian lucu saat saya bermain ke
rumah Donny, yang memiliki toko tak jauh dari sekolah. Di situ saya dengar
lengkingan suara yang mirip-mirip tone vocal wanita dari sebuah tape recorder.
Saya tanya,”Don, itu siapa yang nyanyi?”. Donny menjawab cuek,”Michael
Jackson,”. Saya terhenyak. Oh, jadi vocal Jacko begitu ya?Bisa melengking
tinggi seperti perempuan, batin saya. Itulah pertama kali saya mendengar kaset almarhum
Jacko, yang kalau tak salah waktu itu sedang mendendangkan tembang “Billie
Jean” (bener ora ya tulisane,hehehe).
Bambang dan Donny, bisa jadi masuk dalam
kategori soulmate saya, karena
rumahnya yang dekat dengan sekolahan. Saya juga sering ikut shalat di rumah
Budi Rumekso. Tapi sebagai anak baru gede, saya banyak belajar pada Rohmani, don juan dari Pakulaut, yang
berpengalaman menaklukan banyak perempuan. Dia kerap cerita, saya jadi
pendengar setianya. Saya kadang kagum, mendengar semua petualangan cintanya,
bak seorang Casanova. Beberapa bintang kelas juga saya dengar namanya, dan
kemudian kenal dekat ketika kami berkumpul di kelas 3 A.
Sari Rapet,Sari Rapet
Kelas satu dan dua, tak banyak teman
wanita yang saya kenal. Jujur saja, saya minder dan tidak percaya diri, terutama
dengan rambut keriting saya. Siswanto selalu menyebutnya dengan kata
‘petarangan ayam’. Beberapa yang lain, meski dengan nada bercanda, ikut
mengejek, membuat saya memutuskan untuk menyembunyikan rambut dibawah naungan
sebuah topi.
Itu berlangsung terus menerus, dan saya
seperti jadi kecanduan memakai topi. Rasanya ada yang kurang, jika di kepala
tidak bertengger sebuah topi. Bukan karena saya sok ngetop, biar mudah dikenali
alias sebagai personality branding
layaknya Putu Wijaya. Bukan. Ini murni persoalan biar terlihat lebih ganteng
saja (hahaha….akhirnya ngaku). Karena menyangkut hal prinsip, saya bahkan
sempat sangat marah, ketika seorang
teman merebut topi saya dan membuangnya. Ini penghinaan yang tak
termaafkan.
Bapak terlalu sibuk untuk ikut memecahkan masalah psikologis ini. Tapi belakangan saya berfikir, sesungguhnya inilah fase dimana saya harus belajar mengendalikan diri, sesuatu yang amat penting ketika akhirnya saya harus berhadapan dengan berbagai macam karakter orang. Apalagi kemudian, soal rambut tak jadi halangan berarti, ketika saya bisa menjalin ‘cinta monyet’ dengan seorang dara. Namanya Dewi Kusumawati. Dengan dialah satu-satunya kisah asmaraku di SMP Negeri 1 terjalin, walau tidak berlangsung lama, dan tidak jadi pendamping hidup sesungguhnya.
Soal percintaan ini, baiklah, saya tak mau membukanya secara lebar di sini.
Takut ada yang marah,huahahaha. Tapi benar, ujian kesabaran itu datang, saat
saya masuk kelas 3 A. Di kelas ini, segalanya dituntut kompetitif, rapi, tertib
dan tidak boleh mblatang. Ini tentu
berlawanan dengan sikap dasar saya yang nyeniman,
celelekan dan suka bercanda. Saya
sempat “bergesekan” keras dengan Pak Sarwiji guru Pendidikan Moral Pancasila (PMP)
kami.
Saya tak ingat, dimana letak kesalahan
teman-teman, hingga satu ketika wali kelas menuntut kami meminta maaf
pada beliau. Usai diberi nasihat, bel istirahat berbunyi, tak lama beliau lewat
di depan kelas. Sontak saya langsung nyeletuk,”Ayo temen-temen pada njaluk pangapura,”. Celetukan saya itu
rupanya di dengar beliau. Besoknya, saya dipanggil ke ruang guru. Apa yang
terjadi? Subahanallah…saya dimarahi habis-habisan, dari A sampai Z.
Kemarahan Pak Sarwiji benar-benar diluar
kontrol. Dan itu dilakukannya di depan guru-guru. Saya sampai menangis, tak
kuat menahan malu dan amarah. Mungkin jika itu terjadi di zaman kini, saya bisa
laporkan ke polisi, dengan undang-undang perlindungan anak karena telah terjadi
kekerasan verbal. Tapi masa itu, siapa sih yang bisa mengedukasi jika itu
sesungguhnya tidak boleh terjadi. Memang, beliau cukup sportif, ketika beliau mengucapkan
selamat, karena nilai ujian akhir PMP saya mencapai sembilan. Tapi tetap,
tindakan itu terus terkenang hingga kini.
Celetukan nakal, dikelas 3 A diharamkan.
Ini pula yang terjadi pada Rohmani, saat pelajaran Biologi sedang berlangsung.
Mungkin karena otaknya sudah banyak terkontaminasi novel Enny Arrow, saat bu
guru sedang menerangkan “persetubuhan” tumbuhan antara putik dan benang sari, Rohmani
langsung nyeletuk,”Sari rapet,”. Akibatnya fatal. Rohman di suruh maju, dan
dari mulutnya harus memproduksi kata “sari rapet” sebanyak 100 kali. Tontonan
ini membuat kami semua tertawa terpingkal-pingkal. Kacau,kacau….
Berkelahi di Jalan
Jika di sekolah dasar saya mempunyai
saudara yang suka berantem, saat masuk SMP, skala kekerasan fisik antar teman
sudah mencapai tahap mengkhawatirkan. Istilah zaman sekarang biasa disebut
tindakan bullying (bener ora
kiye?). Di kelas saya, ada dua jagoan neon. Satu bernama Slamet Edy
Haryanto, lainnya saya lupa namanya, tapi dia berasal dari daerah sekitar
Prupuk. Tubuhnya yang kekar, membuatnya amat ditakuti di kelas jika sedang
marah. Apalagi kalau sedang malak.
Jalanan yang memanjang antara perempatan
Margasari hingga lokasi sekolah, saat itu kerap jadi ajang tinju bebas yang seru untuk
ditonton. Mungkin karena zaman masih katro,
perkelahian mereka selalu dengan tangan kosong. Saya sendiri cuma bisa
menonton, sambil geleng-geleng kepala, atau sesekali bertepuk tangan memberi
semangat pada Slamet EHE –begitu Slamet Edy Haryanto biasa disapa.
Pertanyaannya, apakah kenakalan semacam
itu patut untuk dikenang? Jawabannya,di satu sisi mungkin iya. Bagaimanapun,
itu bagus untuk bahan introspeksi, agar sebagai orang tua saya punya banyak
bahan untuk mendidik anak. Tapi di sisi lain, saya juga berharap, pihak sekolah
bisa lebih tegas menerapkan sanksi disiplin. Sebab, di zaman itu, SMP tak
pernah memberi hukuman keras, misal dengan mengeluarkan mereka yang suka
berantem. Padahal sebagai sekolah yang punya reputasi baik, kelakuan mereka
ibarat nila setitik, yang bisa merusak susu sebelanga.
Saya sendiri tak tahu, bagaimana kondisi
Atik cs sekarang yang kerap membuat ulah di SMP Negeri 1. Mudah-mudahan nasib
mereka tak berbeda dengan teman-teman lain, yang saya tahu tidak mblatang ketika sekolah. Lihat saja, ada
Momo yang jadi motivator bak Mario Teguh.
Atau Zuhlifar Arissandy, yang memilih karir sebagai kuli disket top di Tegal
Raya. Farhatun bahkan sedang menyusun tesis. Kristina dan
Puji terjun sebagai prajurit sapta marga. Juga teman-teman Jembayat,yang sekarang sudah sukses di bidang masing-masing. Ya, siapa tahu, dari nama-nama yang saya
sebut, atau nama-nama yang luput karena saya lupa, nantinya ada yang bisa jadi
bupati Tegal. Saya dukung, asal jangan lantas korupsi, dan kemudian masuk bui….
Akhirnya, di tengah kebahagiaan yang
membuncah karena kembali menemukan teman-teman seperjuangan di SMP, diam-diam
saya juga merindukan kabar guru-guru SMP. Pak Tarno, guru Bahasa Indonesia, amat
berjasa karena kerap mengantar saya ikut lomba baca puisi hingga tingkat
kabupaten. Pak Pujo, guru matematika, paling benci sama saya, karena kalau
disuruh maju tak pernah mau (soalnya nggak mudeng otak saya). Guru
agama, guru fisika, dan guru olahraga, Pak Agus, juga memberi kesan mendalam,
karena karakter mereka.
Juga guru SD, Bu Nunung Aspiyah,yang baru saja saya temukan akun facebooknya. Teman-teman di SD Negeri Jembayat 4 alias SD Inpres.Birin, Sarwo, Fahruri, serta para srikandi lulusan pertama SD Negeri Jembayat 4, yang banyak bermukim di Dukuh Petung.Pak Herman,yang pernah sangat marah ketika kami mandi di kali Kumisik usai main bola di Danaraja.Beliau bilang,"Dasar tampang kriminal,".Waktu itu, saya tak tahu apa arti kriminal,hehe. Adakah yang bisa memberi informasi dimanakah mereka kini berada?Salam buat semua...
Juga guru SD, Bu Nunung Aspiyah,yang baru saja saya temukan akun facebooknya. Teman-teman di SD Negeri Jembayat 4 alias SD Inpres.Birin, Sarwo, Fahruri, serta para srikandi lulusan pertama SD Negeri Jembayat 4, yang banyak bermukim di Dukuh Petung.Pak Herman,yang pernah sangat marah ketika kami mandi di kali Kumisik usai main bola di Danaraja.Beliau bilang,"Dasar tampang kriminal,".Waktu itu, saya tak tahu apa arti kriminal,hehe. Adakah yang bisa memberi informasi dimanakah mereka kini berada?Salam buat semua...
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda!