Daftar Isi

Saturday, September 15, 2012

Laskar Pelangi from Jembayat

Saban kali memegang kamera Canon EOS digital,ingatan saya langsung berlesatan di sekitar pertengahan 1989 silam. Kala itu, dengan mata yang sedikit saya sipit-sipitkan, berbagai objek di atas panggung perpisahan SMP Negeri 1 Margasari saya bidik. Tak banyak yang saya bisa memang. Maklumlah. Itu bukan kamera milik pribadi. Sang empunya “Kodak”, Pak Supadio, bahkan harus mengajari saya memakai “makhluk” itu dengan telaten.”Dibikin fokus dulu ya obyeknya. Baru dijepret,”kata Pak Padio, sambil memutar-mutar lensa kamera yang masih manual.

Saya tak tahu kenapa ditunjuk oleh panitia jadi seksi dokumentasi. Tapi toh, segala aktivitas untuk “mengawetkan” aksi teman-teman itu, tak banyak membantu untuk mengingat-ingat kembali segala peristiwa saat saya menuntut ilmu di sana. Banyak kenangan tergerus lintasan zaman. Banyak memori membeku, tersaput keterbatasan kecerdasan yang saya miliki. Maka, saat satu demi satu nama teman-teman mulai disebut di situs jejaring sosial, sedikit demi sedikit, dengan sangat perlahan-lahan,  bayangan wajah mereka mulai tergambar.

Sudah pasti kondisinya telah jauh berbeda. Ada yang nampak sudah seperti Surya Paloh –dulu parasnya khas oriental, dengan gaya bicara yang cepat dan bersemangat. Beberapa bahkan harus saya ingat-ingat lagi, di mana ciri khas yang bisa membuat saya ngeh, bahwa ini adalah teman  sekelas. Begitulah. Segala proses untuk coba kembali memutar jarum jam kehidupan ini, saya nikmati seperti sebuah permainan puzzle yang mengasyikan.

Cah Ndeso Masuk Kuto
Jauh sebelum saya masuk SMP Negeri 1 Margasari, tiap kali peringatan 17 Agustus, memang saya kerap mendengar nama SMP N 1 disebut. Sesekali, saya bertandang untuk berlomba. Beberapa kali saya juara baca puisi, dan sekali ikut lomba mengarang.  Tentu tak ada pikiran, jika saya akhirnya harus terdampar di situ, yang menurut para guru saya itu adalah sekolah terbaik di kota kecamatan Margasari. Yang jelas, di awal-awal saya masuk, segala hal baru dan menakjubkan segera saya lihat dan rasakan.

Pengalaman tak terlupakan barangkali soal jaraknya yang lumayan jauh. Ini terkait alat transportasi yang mesti saya gunakan. Kebetulan usai lulus  dari SD Negeri Jembayat 4, almarhum bapak menghadiahi sebuah sepeda berwarna merah menyala. Dengan sepeda itulah, tiap hari saya mengukur jalan, menuju kota kecamatan. Saya, Ais Zakiyudin, Ma’mun dan sesekali Fahruri, harus menggenjot pedal, berangkat sendiri-sendiri dan pulang bersama-sama. Kami tak bisa berangkat bareng, karena rumah kami berjauhan untuk bisa janjian.

Jalanan Jembayat-Margasari waktu itu masih sepi. Di kiri kanannya lebat oleh tanaman jati. Saya bahkan   pernah mendengar suara monyet bersahut-sahutan, di tempat yang dikenal dengan nama kandang iwak. Jika pulang hujan, kami semua basah kuyup, karena tak ada tempat berteduh.  Pernah  saking tebalnya kabut hujan, saya nabrak Ais, dan kami hanya tertawa-tawa setelah jatuh. Peristiwa paling mengenaskan barangkali saat saya menabrak becak di dekat pasar Margasari. Sepeda rusak, baju saya belepotan oleh kotoran kuda, yang kala itu masih banyak mangkal di sisi  pasar.

Bukan maksud saya mendramatisir peristiwa itu. Tapi rangkaian gambar masa lalu, dengan segenap suka dan duka bersepeda, mengingatkan saya akan perjuangan sekelompok bocah di novel Laskar Pelangi. Dalam hal-hal tertentu, kami memang lebih beruntung. Jika lagi malas menggenjot pedal, saya pilih naik bus Kalitangi, yang seluruh bodinya terbuat dari kayu. Bunyi mesinnya, “greng-greng,greng-greng,greng-greng”, dengan badan bus yang terus bergoyang tak kuasa menahan getaran knalpot.

Di kota Margasari, saya pertama kali melihat penjual mie ayam. Agak takut-takut juga waktu nekad mencoba mampir. Sebagai orang kampung yang biasa makan pakai tangan, jari jemari rasanya bergetar memegang sumpit, malu kepergok tatapan mata dari pengunjung lain. Selain mie ayam, saya juga takjub melihat game wacht, yang banyak disewakan di depan SD dekat SMP 1. Di rumah Bambang gendut, saya sering mencoba mencicipi minuman dingin dari kulkas –hal yang tak pernah saya rasakan di rumah.

Ada kejadian lucu saat saya bermain ke rumah Donny, yang memiliki toko tak jauh dari sekolah. Di situ saya dengar lengkingan suara yang mirip-mirip tone vocal wanita dari sebuah tape recorder. Saya tanya,”Don, itu siapa yang nyanyi?”. Donny menjawab cuek,”Michael Jackson,”. Saya terhenyak. Oh, jadi vocal Jacko begitu ya?Bisa melengking tinggi seperti perempuan, batin saya. Itulah pertama kali saya mendengar kaset almarhum Jacko, yang kalau tak salah waktu itu sedang mendendangkan tembang “Billie Jean” (bener ora ya tulisane,hehehe).

Bambang dan Donny, bisa jadi masuk dalam kategori soulmate saya, karena rumahnya yang dekat dengan sekolahan. Saya juga sering ikut shalat di rumah Budi Rumekso. Tapi sebagai anak baru gede, saya banyak belajar pada Rohmani, don juan dari Pakulaut, yang berpengalaman menaklukan banyak perempuan. Dia kerap cerita, saya jadi pendengar setianya. Saya kadang kagum, mendengar semua petualangan cintanya, bak seorang Casanova. Beberapa bintang kelas juga saya dengar namanya, dan kemudian kenal dekat ketika kami berkumpul di kelas 3 A.

Sari Rapet,Sari Rapet
Kelas satu dan dua, tak banyak teman wanita yang saya kenal. Jujur saja, saya minder dan tidak percaya diri, terutama dengan rambut keriting saya. Siswanto selalu menyebutnya dengan kata ‘petarangan ayam’. Beberapa yang lain, meski dengan nada bercanda, ikut mengejek, membuat saya memutuskan untuk menyembunyikan rambut dibawah naungan sebuah topi.

Itu berlangsung terus menerus, dan saya seperti jadi kecanduan memakai topi. Rasanya ada yang kurang, jika di kepala tidak bertengger sebuah topi. Bukan karena saya sok ngetop, biar mudah dikenali alias sebagai personality branding layaknya Putu Wijaya. Bukan. Ini murni persoalan biar terlihat lebih ganteng saja (hahaha….akhirnya ngaku). Karena menyangkut hal prinsip, saya bahkan sempat sangat marah, ketika seorang  teman merebut topi saya dan membuangnya. Ini penghinaan yang tak termaafkan.

Bapak terlalu sibuk untuk ikut memecahkan masalah psikologis ini. Tapi belakangan saya berfikir, sesungguhnya inilah fase dimana saya harus belajar mengendalikan diri, sesuatu yang amat penting ketika akhirnya saya harus berhadapan dengan berbagai macam karakter orang. Apalagi kemudian, soal rambut tak jadi halangan berarti, ketika saya bisa menjalin ‘cinta monyet’ dengan seorang dara. Namanya Dewi Kusumawati. Dengan dialah satu-satunya kisah asmaraku di SMP Negeri 1 terjalin, walau tidak berlangsung lama, dan tidak jadi pendamping hidup sesungguhnya.

Soal percintaan ini, baiklah,  saya tak mau membukanya secara lebar di sini. Takut ada yang marah,huahahaha. Tapi benar, ujian kesabaran itu datang, saat saya masuk kelas 3 A. Di kelas ini, segalanya dituntut kompetitif, rapi, tertib dan tidak boleh mblatang. Ini tentu berlawanan dengan sikap dasar saya yang nyeniman, celelekan dan suka bercanda. Saya sempat “bergesekan” keras dengan Pak Sarwiji guru Pendidikan Moral Pancasila (PMP) kami.

Saya tak ingat, dimana letak  kesalahan  teman-teman, hingga satu ketika wali kelas menuntut kami meminta maaf pada beliau. Usai diberi nasihat, bel istirahat berbunyi, tak lama beliau lewat di depan kelas. Sontak saya langsung nyeletuk,”Ayo temen-temen pada njaluk pangapura,”. Celetukan saya itu rupanya di dengar beliau. Besoknya, saya dipanggil ke ruang guru. Apa yang terjadi? Subahanallah…saya dimarahi habis-habisan, dari A sampai Z.

Kemarahan Pak Sarwiji benar-benar diluar kontrol. Dan itu dilakukannya di depan guru-guru. Saya sampai menangis, tak kuat menahan malu dan amarah. Mungkin jika itu terjadi di zaman kini, saya bisa laporkan ke polisi, dengan undang-undang perlindungan anak karena telah terjadi kekerasan verbal. Tapi masa itu, siapa sih yang bisa mengedukasi jika itu sesungguhnya tidak boleh terjadi. Memang, beliau cukup sportif, ketika beliau mengucapkan selamat, karena nilai ujian akhir PMP saya mencapai sembilan. Tapi tetap, tindakan itu terus terkenang hingga kini.

Celetukan nakal, dikelas 3 A diharamkan. Ini pula yang terjadi pada Rohmani, saat pelajaran Biologi sedang berlangsung. Mungkin karena otaknya sudah banyak terkontaminasi novel Enny Arrow, saat bu guru sedang menerangkan “persetubuhan”  tumbuhan antara putik dan benang sari, Rohmani langsung nyeletuk,”Sari rapet,”. Akibatnya fatal. Rohman di suruh maju, dan dari mulutnya harus memproduksi kata “sari rapet” sebanyak 100 kali. Tontonan ini membuat kami semua tertawa terpingkal-pingkal. Kacau,kacau….

Berkelahi di Jalan
Jika di sekolah dasar saya mempunyai saudara yang suka berantem, saat masuk SMP, skala kekerasan fisik antar teman sudah mencapai tahap mengkhawatirkan. Istilah zaman sekarang biasa disebut tindakan bullying (bener ora kiye?). Di kelas saya, ada dua jagoan neon. Satu bernama Slamet Edy Haryanto, lainnya saya lupa namanya, tapi dia berasal dari daerah sekitar Prupuk. Tubuhnya yang kekar, membuatnya amat ditakuti di kelas jika sedang marah. Apalagi kalau sedang malak.

Jalanan yang memanjang antara perempatan Margasari hingga lokasi sekolah, saat itu kerap jadi ajang tinju bebas yang seru untuk ditonton. Mungkin karena zaman masih katro, perkelahian mereka selalu dengan tangan kosong. Saya sendiri cuma bisa menonton, sambil geleng-geleng kepala, atau sesekali bertepuk tangan memberi semangat pada Slamet EHE –begitu Slamet Edy Haryanto biasa disapa.

Pertanyaannya, apakah kenakalan semacam itu patut untuk dikenang? Jawabannya,di satu sisi mungkin iya. Bagaimanapun, itu bagus untuk bahan introspeksi, agar sebagai orang tua saya punya banyak bahan untuk mendidik anak. Tapi di sisi lain, saya juga berharap, pihak sekolah bisa lebih tegas menerapkan sanksi disiplin. Sebab, di zaman itu, SMP tak pernah memberi hukuman keras, misal dengan mengeluarkan mereka yang suka berantem. Padahal sebagai sekolah yang punya reputasi baik, kelakuan mereka ibarat nila setitik, yang bisa merusak susu sebelanga.

Saya sendiri tak tahu, bagaimana kondisi Atik cs sekarang yang kerap membuat ulah di SMP Negeri 1. Mudah-mudahan nasib mereka tak berbeda dengan teman-teman lain, yang saya tahu tidak mblatang ketika sekolah. Lihat saja, ada Momo yang jadi motivator  bak Mario Teguh. Atau Zuhlifar Arissandy, yang memilih karir sebagai kuli disket top di Tegal Raya. Farhatun bahkan sedang menyusun tesis. Kristina dan Puji terjun sebagai prajurit sapta marga. Juga teman-teman Jembayat,yang sekarang sudah sukses di bidang masing-masing. Ya, siapa tahu, dari nama-nama yang saya sebut, atau nama-nama yang luput karena saya lupa, nantinya ada yang bisa jadi bupati Tegal. Saya dukung, asal jangan lantas korupsi, dan kemudian masuk bui….

Akhirnya, di tengah kebahagiaan yang membuncah karena kembali menemukan teman-teman seperjuangan di SMP, diam-diam saya juga merindukan kabar guru-guru SMP. Pak Tarno, guru Bahasa Indonesia, amat berjasa karena kerap mengantar saya ikut lomba baca puisi hingga tingkat kabupaten. Pak Pujo, guru matematika, paling benci sama saya, karena kalau disuruh maju tak pernah mau (soalnya nggak mudeng otak saya). Guru agama, guru fisika, dan guru olahraga, Pak Agus, juga memberi kesan mendalam, karena karakter mereka. 

Juga guru SD, Bu Nunung Aspiyah,yang baru saja saya temukan akun facebooknya. Teman-teman di SD Negeri Jembayat 4 alias SD Inpres.Birin, Sarwo, Fahruri, serta para srikandi lulusan pertama SD Negeri Jembayat 4, yang banyak bermukim di Dukuh Petung.Pak Herman,yang pernah sangat marah ketika kami mandi di kali Kumisik usai main bola di Danaraja.Beliau bilang,"Dasar tampang kriminal,".Waktu itu, saya tak tahu apa arti kriminal,hehe. Adakah yang bisa memberi informasi dimanakah mereka kini berada?Salam buat semua...





No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!