Daftar Isi

Saturday, March 29, 2014

Empat Jempol Buat Giring

“Bokap gue wartawan.Makanya gue respek banget ama profesi ini.Karena dari dunia jurnalistik gue dibesarkan dan bisa seperti sekarang ini,”kata Giring,vokalis grup Band Nidji,awal Maret 2014 kemarin. Sejenak,ada desiran aneh yang menjalari urat-urat kalbuku. Antara haru dan senang. Namun tanpa ragu, aku tepis jauh-jauh rasa itu, dan segera aku alihkan pembicaraan ke topik lain. Aku tak mau terlalu sentimentil mendengar empati Giring.

Sore di Kawasan Kota Tua Jakarta, deru mobil dan motor masih terdengar garang. Hari itu, Giring memang menjanjikan untuk bertemu. Awalnya, saya kesulitan mengontaknya. Dua kali saya telepon, Giring tidak mengangkatnya. Aku sempat bertanya pada seorang tukang parkir, di mana grup band Nidji sedang syuting video klip. Juga seorang penjual siomay,yang mangkal di depan pintu masuk Kawasan Kota Tua.

“Tadi sih ada orang nenteng kamera.Tapi nggak tahu mau syuting dimana,”kata si penjual siomay. Tak berselang lama, ponsel aku berdenting. Giring mengaku sedang berada di Museum Bank Mandiri. Aku tanyakan lokasinya pada tukang parkir. Dalam satu lesatan pandang,aku melihat di atap Museum Bank Mandiri, para personil grup Nidji sedang sibuk diambil gambarnya.

Cukur Rambut
“Aku meluncur bro ke Museum Bank Mandiri,”balasku. Berjalan melawan arus, aku menuju museum. Aku tanya pada pak satpam bagaimana caranya naik. Usai diijinkan, aku segera masuk. Tapi baru naik satu lantai, perutku bermasalah. Aduh, ada-ada saja. Mana bingung mencari kamar kecil. Setelah aku tanya pada tiga orang ibu yang sedang asyik berfoto, kamar kecil yang cukup kotor itu aku temukan.

Tapi ritual alami itu mendadak berhenti. Ponselku berdering dan di ujung sana, Giring bilang sudah berada di luar gedung. Ia mau keluar sebentar.Ada keperluan mendesak.Aku diharuskan ikut. Alamak. Lagi enak-enak,malah dipanggil.”Saya tunggu ya mas?Kita cukur rambut dulu,”katanya. Terpaksa aku segera bergegas. Memakai celana,setengah berlari,dan dari lantai dua, aku lihat Giring sudah berdiri di pinggir mobil Hyundai H-1 sambil tangannya dimasukkan ke saku celana .

“Hoi,mas...tunggu ya?”kataku.

Uluran tangannya aku sambut. Usai bersalaman, aku dan Giring masuk mobil,  ditemani seorang road manajer berambut kriwil. Giring bilang, ia akan mencari tukang cukur. Tadi pagi ia marah banget,karena hair style-nya salah memotong rambutnya.”Sampai sekarang masih gondok.Sudah saya bilang jangan dipotong ini-nya (sambil tangannya memegang rambut bagian belakang),saya sambil telepon,eh,tahu-tahu langsung dipangkas.Khan nggak enak dilihat dikamera?”ujar Giring.

Situasi jalanan saat itu sangat ruwet. Macet dimana-mana.Apalagi di sekitaran Harmoni. Si sopir sampai harus meminggirkan mobil berbadan bongsor yang dibawanya lebih mepet,sekedar bertanya pada tukang parkir dimana salon terdekat dari Museum Bank Mandiri. Setelah lelah berputar-putar,kami akhirnya menemukan salon. Giring disambut seorang perempuan muda, yang sangat lihai memangkas rambut.

Untunglah suasana salon sangat sepi.Ditemani dua gelas kopi pahit,tak henti-henti Giring memandu sang kapster,agar tidak salah pangkas lagi.”Coba kacanya.Aku ingin lihat belakangnya,”katanya.

Tak luput, si kapster juga terus menggoda. Mungkin baru kali ini ada vokalis band terkenal mampir ke tempat kerjanya.Suasana jadi ramai. Waktu setengah jam hampir tak terasa. Rasa kopi pahit yang semula panas,kini mulai mendingin. Tapi suasana tetap hangat. Apalagi saat Giring cerita soal istrinya yang dinikahinya dengan status janda. Si kapster langsung nyeletuk,”Saya juga janda lho mas...akakakak,”.Ampyuuun....

Usai pangkas, Giring minta kontak si kapster.Rencananya,kalau di lokasi syuting nanti masih terlihat jelek,ia akan memanggilnya. Namun tak cukup itu. Si enchi pemilik salon,rupanya sejak tadi menunggu pekerjaan anak buahnya kelar. Begitu mau pulang,ia mengkomando anak buahnya untuk foto bareng. Giring dengan senang hati memenuhinya.

“Buat kenang-kenangan,”kata si Enci,malu-malu.

Kami meninggalkan salon dalam kondisi perut lapar. Mas road manajer menawari kami masuk Bakmi Gajah Mada. Tapi Giring menolak. Akhirnya, sambil terus bercanda di dalam mobil, mas road manajer membeli dua nasi goreng dan dibungkus. Menjelang maghrib, rumah makan Bakmi Gajah Mada kami tinggalkan. Di dalam mobil,nasi goreng itu kami sikat. Jujur saja,sebetulnya aku masih kenyang.Makanya tak colek sedikit saja.

Cerita Istri
Dalam perjalanan menuju Museum Bank Mandiri, Giring banyak cerita soal istrinya. Aku melihat,ia tipe orang yang terbuka,jujur dan apa adanya. Bahkan sepanjang obrolan yang lebih banyak disertai guyonan itu, Giring mau bercerita tanpa tedeng aling-aling.  Termasuk keputusannya menikahi Chintya,istrinya yang seorang janda beranak satu. Tentu banyak kerikil yang harus ditaklukan.Banyak ujian yang mesti dihadapi.

“Pokoknya kasihan deh, istri saya saat masih belum saya nikahi,”kata Giring.”Orang tua saya menolak. Bahkan banyak fitnah berseliweran,menuduh dia perempuan nggak bener. Padahal saya menikahi dia,karena dia baik banget. Sampai sekarang,saya tak pernah mendengar ia mengumpat kalau sedang jengkel,”sambung Giring.

Memang, ketika akhirnya ia menikah,sempat terjadi shock cultur. Dari biasa tidur sendiri, tiba-tiba ada anak umur 3 tahun yang muncul dikamar tidurnya,selain istrinya. Beruntung,pelan-pelan Giring mulai menemukan cara menghadapi anak balita. Dalam perjalanan waktu,Zidane,anak tirinya,kini malah tak tahu ayah biologisnya,dan menganggap Giring sebagai ayah kandungnya.

Begitu pula ibunya,yang semula menolak Chintya. Kini berbalik sayang. Kata Giring,kuncinya mengenal dengan baik.”Saya jadi percaya pepatah,tak kenal maka tak sayang. Dulu orang tua menolak,karena mereka nggak kenal. Setelah tahu istri saya dari A sampai Z,hubungan orang tua dengan istri langsung mencair,”ujar Giring.

Saat bercerita ayahnya yang sudah almarhum, Giring tiba-tiba terhenti. Kalimatnya terbata-bata. Ia lantas mengeluarkan kalimat, seperti yang aku tulis di awal cerita. Giring menambahkan, ayahnya meninggal akibat stroke,karena bekerja terlalu keras untuk menyelamatkan majalahnya dari terpaan krisis ekonomi.”Ayah tidak mau majalah itu mati, dan berdampak pada karyawan dan wartawannya,”kata Giring lirih.

Gelap mulai menggelayut,saat mobil yang kami tumpangi akhirnya sampai di Museum Bank Mandiri. Jalanan sudah mulai lengang. Giring berjanji akan mengirim foto. Kami berpisah, setelah saling berjabat tangan. Ia membungkuk,dan aku jabat tangannya sambil membungkuk juga. Nasi goreng yang sejak tadi kupegang,aku berikan pada seorang bapak yang sedang menunggu penumpang di dalam bajajnya.


Hari ini,jujur saja, saya baru mendapat pelajaran penting soal kerendahatian dan penghargaan. Dengan segala atribut yang melekatnya, Giring terlihat beda. Saat kesuksesan dan kekayaan kerap mengubah seseorang menjadi pribadi yang arogan dan memandang rendah pihak lain, Giring memaknainya dengan kapasitas yang tidak dimiliki musisi lain.Saya bersyukur bisa mengenal dan mengawalnya raun-raun di sekitaran Kawasan Kota Tua,Jakarta, meski tak lama. Empat jempol buat Giring#

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!