Daftar Isi

Saturday, October 12, 2013

Democrazy

Seminggu belakangan sarapan apa saja enak ditelan, bila dibarengi nonton berita infotainment di televisi. Bukan karena tingkah polah para selebritis kita semakin mencerahkan hati dan mencuatkan inspirasi.Bukan. Tapi andrenalin dan emosi  sebagai pemirsa, kini seperti jadi pertimbangan utama para pengolah berita, untuk menyajikan “masakannya” agar tetap dinanti. Mungkin mirip serial sinetron. Ada drama,tragedi, ironi bahkan komedi. Menyusul tenggelamnya era Arya Wiguna (mantan murid Eyang Subur) misalnya, kini kita kembali tertawa geli jika mengingat gaya bahasa Vicky Prasetyo alias Hendrianto.

Di sisi lain, dramatisasi sebuah kasus, tak urung membuat ibu-ibu kalangan menengah ke bawah penikmat infotainment, semakin kepincut untuk memelototi aneka ragam konflik yang terjadi. Lumayanlah, minimal sebagai katup pelepas himpitan hidup. Kapan lagi bisa melihat uang Rp 200 juta di gendong dalam karung, kalau bukan saat tim kuasa hukum Rachmawati Soekarno Putri ingin mengembalikan uang yang diterimanya dari Raam Punjabi, karena merasa tersinggung atas ucapan sutradara film Soekarno, Hanung Bramantyo?Mungkin batin mereka bergumam,oh, uang Rp 200 juta cuma segitu ya kalau dipecah dalam sepuluh ribuan.

Atau jika ada yang iri dengan kesuksesan Zaskia Gotik, bisalah mengidentifikasikan diri sebagai Nikita Mirzani, yang tega menghina si Eneng sebagai lulusan sekolah dasar. Belum lagi berita penolakan Roy Marten sebagai Humas FFI 2013 oleh sekelompok orang. Jika ingin agak serius, tapi masih menyangkut tokoh yang juga pesinetron, penolakan Ruhut Sitompul sebagai ketua Komisi Hukum DPR RI, lengkap dengan bumbu sebutan badut, melengkapi  khazanah ingar bingar demokrasi kita. Jika mau jujur, inilah hasil perjuangan para mahasiswa tahun 1998, yang mau tak mau hadir di tengah kita.

Tenang saja. Itu belum seberapa. Tapi pertanyaan mendasar berikutnya, apa yang hendak kita gapai dengan kebebasan tanpa batas, jika darinya kemanusiaan seseorang sering tercabik-cabik atas nama demokrasi?Taruhlah Zaskia memang lulusan SD.Ketika kemudian kondisi itu dieksploitasi tanpa sedikitpun rasa empati,kita sebenarnya telah gagal mewujudkan demokrasi yang beradab.Kita juga perlu bertanya-tanya, apa motif Rahmawati mengembalikan uang Rp 200 juta dalam bentuk recehan, yang jika diserahkan dalam bentuk cheque barangkali lebih elegan. Apakah biar unsur dramatisnya lebih terasa atau bagaimana. Entahlah.

Jika rakyat kecil ngamuk saat jagoannya kalah di pilkada, penghakiman segera melayang mereka tak berpendidikan. Tapi kita melihat, orang berpendidikan pun kerap bersikap kekanak-kanakan, ketika menanggapi persoalan sepele. Dalam kasus Hanung misalnya. Sebagai produk budaya, film adalah karya seni yang bersumber dari tafsir yang tidak tunggal. Soekarno memang tokoh bangsa. Tapi sebagai pemimpin, ia juga manusia biasa. Ada sisi muram, dibalik kesuksesan yang diraihnya. Ini wajar dan manusiawi. Menjadi tidak wajar, ketika tafsir itu di respon dengan pendekatan kekuasaan.

Ultimatum pokoknya jangan diedarkan, ketika hampir Rp 25 milyar dana sudah tersedot untuk membuat film Soekarno, membuat kita teringat akan otoritarianisme Orde Baru. Memang sejauh ini tak ada alasan jelas apa yang membuat film itu mau dijegal. Konon karena pihak yang memiliki hubungan darah dengan Soekarno merasa tidak pas dengan pemeran Soekarno. Tapi mestinya, produk budaya harus dilawan dengan produk budaya pula. Masyarakat sudah cerdas dan bisa menilai mana cerita yang pas, mana sekedar propaganda. Mana yang punya misi, mana yang hanya sekedar –meminjam istilah Vicky- mencari “statusisasi kemakmuran” semata.

Diakui, demokrasi kita memang belum matang. Amerika Serikat butuh ratusan tahun untuk mencari flatform demokrasi yang indah. Di sini, semua terlihat waton suloyo (asal beda). Tidak setuju sebuah film mendapat penghargaan piala Citra, mereka ramai-ramai mengembalikan piala Citra yang didapat, karena menuduh dewan juri tidak becus. Padahal dimana-mana, dewan juri punya subyektifitas. Di Amerika, peraih penghargaan Golden Globe Awards, kadang bisa menang di ajang Piala Oscar, kadang tidak. Tapi itu tak jadi polemik. Di sini, Roy Marten belum bekerja, sudah main tolak saja.

Perang urat syaraf dan tayangan penuh konflik di televisi,alhasil sudah mencapai ambang batas yang   bisa ditolerir. Saya tak yakin ini bermanfaat, jika alasan utamanya demi rating semata.Mungkin di titik ini pula, pemirsa perlu diberi edukasi. Saat seorang narapidana menolak dikunjungi ibu kandungnya, siapa bisa menjamin itu bukan rekayasa, untuk menimbulkan ledakan dramatis yang lebih besar?Ada banyak pihak berkepentingan dengan tayangan infotainment. Dari yang sekedar ingin ngeksis, sampai pada tahap gila popularitas, tak peduli ia memainkan sosok protagonis atau antagonis.

Saya sering bertanya-tanya, benarkah jalan demokrasi yang kita pilih sudah sesuai dengan genitas masyarakat kita. Gugatan ini pula yang kerap muncul, minimal dalam bentuk gambar Soeharto di bak truk sambil berucap,”Enakan jamanku tho?”. Sudah tentu tak ada langkah surut. Tapi demokratisasi yang serampangan, kerap memunculkan orang-orang “sakit”, yang bicara seenaknya atas nama kebebasan berpendapat. Tak terkecuali di layar kaca, tak peduli anak-anak balita ikut menonton karena sang ibu yang sudah kecanduan tayangan konflik, utamanya di kalangan selebritis.

Di Italia, selama 30 tahun dibawah kekuasaan Borgia, mereka mendapatkan perang, teror, dan pertumpahan darah. Tapi mereka menghasilkan Michelangelo, Leonardo Da Vinci dan Renaissance. Di Swiss, mereka memiliki persaudaraan, mengalami 500 tahun demokrasi dan perdamaian. Tapi mereka hanya menghasilkan ‘jam’. Kita tentu tak ingin kebebasan berkreasi dan bersuara kembali dibatasi,tapi kita juga berharap muncul “Michelangelo” dan “Leonardo Da Vinci” lain di Indonesia. Demokrasi pada akhirnya tergantung pada cara memaknai. Bukan sekedar gede-gedean suara dan waton suloyo hingga terjebak  jadi democrazy.




No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!