Dari amatan kecil-kecilan, sering saya beranggapan, orang-orang itu sudah
mencapai level tertentu, terutama dalam pemahaman soal kerohanian. Ini tak
lepas dari pengalaman batin pribadi. Dari kaca mata seorang anak SMP yang baru
bisa melihat dunia lewat laporan majalah bekas, meninggalnya pemimpin tertinggi
spiritual rakyat Iran, Ayatulloh Khomeini, benar-benar menggetarkan jiwa. Sang
Imam wafat 3 Juni 1989, dan kematiannya disiarkan ke seluruh dunia.
Saya nukilkan laporan berita.Saat Khomeini hendak dimakamkan, sekitar 10
juta warga Teheran mengantarnya ke Behez El Zahra (Taman Az Zahra). Jutaan perempuan
dengan jilbab hitam, tangan menggapai-gapai ingin menyentuh kafan Khoeimini,
menangis meratap-ratap membentuk barisan yang rapat. Puluhan orang tewas
terinjak-injak, karena berebut ingin mendekat keranda. Helikopter bolak-balik
meraung-raung, mengevakuasi yang meninggal atau pingsan akibat jepitan massa.
Mereka diusung di atas kepala pelayat secara estafet, karena tak ada jalan
tersisa. Semua terus mendesak, ingin mendekat, hingga beberapa kali jenasah
terguling dari tempatnya. Dahsyat, dahsyat.
Pesan politisnya memang jelas. Begitulah cara rakyat Iran mencintai
pemimpinnya. Tapi, ini yang bikin saya terheran-heran.Imam Khomeini wafat hanya
mewariskan sebuah rumah petak kecil.Semua gajinya sebagai pemimpin tertinggi
Iran di masukan ke baitul mal. Dalam rak buku di rumah itu, hanya terdapat
kitab suci, beberapa buku kumpulan puisi karangannya, serta buku-buku agama. Kekayaan
minyak Iran, yang membuat Amerika silau dan mendukung penuh rezim Shah Reza
Pahlevi yang ditumbangkan Khomeini, sama sekali tak membuat imam tua itu
tergoda.
Saya sebut Khomeini sudah mencapai maqom tertentu, karena Rosul Muhammad
pun memilih untuk mulia di atas kesederhanaan. Ustaz saya pernah bercerita,
bagaimana Muhammad tidur di atas tikar pelepah korma, hingga wajahnya yang
bersih terdapat bilur-bilur bekas anyaman. Saat malaikat Jibril menawari bukit
Uhud dijadikan emas, nabi agung itu menolaknya. Barangkali bukan tiba-tiba
gundukan bukit itu langsung berubah emas –tapi bahwa Jibril bisa matur pada
gusti Allah agar Muhammad dijadikan seperti Nabi Sulaiman yang tajir, itu bukan
mustahil.
Benarkah hanya orang-orang dengan kualifikasi tertentu, yang sanggup
menolak dunia, dan lebih suka berhikmat dalam kemuliaan hidup tanpa harta
benda?Saya ternyata salah. Ini kisah dari Buya Syafi’i Maarif, mantan ketua
umum Muhammadiyah, yang pernah saya baca tulisannya di sebuah harian nasional. Ia diundang ke India oleh Dr. Achyuta
Samanta. Buya bercerita, Dr. Samanta adalah bekas dosen yang mengelola
universitas dengan mahasiswa berjumlah puluhan ribu orang.
Namun tak ada yang menduga, jika melihat penampilannya, Samanta adalah
pemegang proyek ratusan milyar rupiah. Sehari-hari Samanta berbaju kemeja
putih, celana jeans dan sandal lusuh. Kantornya dibawah pohon, dengan
kursi-kursi plastik tempat ia menerima kunjungan menteri, gubernur, pemenang
hadiah nobel dan presiden. Samanta dikenal sebagai “nabinya” orang-orang paling
miskin di India. Seminggu dua kali ia puasa. Ia hidup membujang, dan waktu
luangnya dipakai lebih banyak untuk semedi.
Puluhan ribu mahasiswa yang berkuliah di kampusnya berasal dari kaum miskin
papa dan mereka digratiskan. Untuk menjalankan roda organisasi, bantuan datang
dari mana-mana. Filosofi hidup Samanta simpel saja, yaitu ingin
membuat orang lain bahagia. Samanta sudah piatu sejak umur 3 tahun, dan
kemiskinan membuatnya bekerja keras hingga bisa kuliah di universitas.Buya
Syafi’i sampai tergetar, dan merasa
tidak pantas diundang oleh seorang humanis besar abad ini.
Sikap Askestis adalah pilihan, dan hidup bermewah-mewah juga pilihan. Tapi
jika Nabi Muhammad, Khomeini, Samanta dan Bunda Teresa peroleh kemuliaan hidup
dari kesederhanaan, dan bukan kilau emas dan berlian,agaknya kisah-kisah
inspiratif seperti itu perlu terus didaur ulang, ditengah berita suap, korupsi,
dan gaya hidup hedonisme pejabat dan artis kita.
Saya tak yakin jika sikap kemaruk para pejabat kita terhadap harta benda karena kutukan
Tuhan, tersebab kita telah pernah salah pilih pemimpin yang gila wanita dan
harta. Bahwa efek domino dari pilihan hidup petinggi negeri mampu mengubah
mindset para penerusnya, ada kalanya benar begitu. Mantan Presiden Iran,
Mahmoud Ahmadinejad, tak beda jauh dengan seniornya. Hidup amat sederhana, tapi
kekuatan hati dan ketegarannya sanggup menakutkan Amerika. Pertanyaannya
kemudian, bagaimana dengan mereka yang hidup sederhana karena benar-benar
miskin, tak punya akses ekonomi yang memadai?
Mungkin cerita ini menarik untuk direnung. Alkisah, seorang wali besar Syekh
Abdul Qodir Jaelani, saat masih muda, pernah dihadang perampok ketika sedang
bertualang mencari ilmu. Sang perampok bertanya, dimana harta berharganya. AQJ
(maksudnya Abdul Qodir Jaelani), memberitahu bekal emas dari orang tuanya, dan
ini membuat perampok takjub karena kejujurannya. Si perampok akhirnya jadi
muridnya.Belakangan saat ditanya, kenapa dulu berterus terang, Syekh AQJ
mengaku, boleh saja harta yang dimilikinya lenyap, hingga ia jadi miskin, tapi
tidak kejujurannya. Ya, kejujurannya!
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda!