Ada satu moment “menjijikan” saban
kali peluit panjang wasit menandai berakhirnya pertandingan sepak bola.
Beberapa pemain terlihat bertukar kaos, menggegamnya erat-erat, seolah
tak mau kehilangan barang berharga itu. Ritual ini, dalam beberapa hal memang
seperti menghapus segala perseteruan yang baru terjadi. Seorang pemain bintang,
kadang tak melulu menukar kaosnya sebagai tanda berakhirnya kompetisi, tapi
juga karena sang kaos jadi rebutan sebagai cedera mata pemain lawan yang
mengaguminya. Tak peduli, kaos itu sudah basah dan menguarkan bau tak sedap.
Sebagai penikmat bola amatiran, saya
kadang tak habis pikir dengan “upacara” itu. Buat apa kaos bau ketek
ditukar-tukar, atau bahkan diperebutkan, seperti yang terjadi saat David Beckam
bertandang ke Senayan tempo hari? Bukankah jersey serupa bisa dibeli, dari
kelas yang original hingga yang berharga Rp 35 ribu, dengan jaminan masih baru
dan tidak bau?Belakangan setelah saya ngobrol dengan seorang bekas pengurus
PSSI, ritual itu memang memiliki banyak makna. Salah satunya, kompetisi boleh
saja berlangsung sengit dan keras. Tapi setelah semua usai, mereka semua, kita
semua sesungguhnya bersaudara.
Makna ini memang terasa indah, jika
diresapi dalam-dalam tak hanya di dunia olahraga. Saya tergelitik untuk
menghubungkannya dengan fenomena belakangan, dimana para artis sedang
berlomba-lomba memakai kaos partai. Ada yang berseragam merah, biru, hijau atau
kuning. Saat ini, kaos telah membuat mereka “berjarak”. Si A adalah kita, dan
si B adalah mereka. Kompetisi sengit yang bakal dihelat di 2014 nanti, sudah
mulai terlihat dengan berbagai manuver, dengan alasan yang hampir seragam;
ingin memperbaiki kondisi bangsa.
Ada artis yang tetap setia dengan
seragam kaos sebelumnya. Tapi beberapa terlihat berganti kaos, karena mendapat
tawaran yang lebih menarik dari partai sang pemilik kaos. Mirip seperti pemain
bola profesional, yang jika tak betah akan segera hengkang untuk mengenakan
jersey baru. Kaos menjadi identitas baru, sekaligus sumber kebanggaan karena
berhasil masuk dalam komunitas tertentu. Tak cuma sebagai anggota dewan,”kaos”
dalam hal jabatan yang lebih tinggi juga menarik untuk jadi rebutan.
Saat Rieke Dyah Pitaloka ada isu
hendak mencalonkan diri sebagai Calon Gubernur Jawa Barat, saya sempat
menanyakannya kenapa harus “mengkhianati” konstituen yang telah mengantarkannya
ke Gedung Dewan. Saat itu, Rieke mencoba meyakinkan jika niatnya untuk
maju “nyagub” baru sebatas wacana. Kebetulan belum lama Rano Karno meninggalkan
kursi Wakil Bupati Tangerang, untuk memburu jabatan lebih tinggi sebagai Wakil
Gubernur Banten. Langkah Rano itu sempat membuat saya berdebat kecil dengan Si
Oneng, soal banyaknya politisi yang lebih bernafsu memburu kekuasaan, daripada
merampungkan amanah yang dibebankan masyarakat hingga tuntas.
kaos partai siap dijual |
Posisi sebagai selebritas, dalam
banyak hal memang menguntungkan artis saat hendak terjun di dunia politik
praktis. Pramono Anung dalam risetnya bahkan menyebut, artis sebagai figur yang
paling kecil mengeluarkan ongkos politiknya, karena nama mereka yang sudah
dikenal. Dalam posisi seperti itu pun, mereka masih kerap diberi keistimewaan,
dengan ditanggung seluruh biaya kampanyenya. Ini sungguh-sungguh terjadi dan
bukan isapan jempol belaka. Partai politik tak peduli dengan latar belakang si
artis. Entah tak tamat SMA atau populer hanya karena gosip-gosipnya semata.
Apresiasi tentu pantas disematkan
pada artis yang mau belajar, dan akhirnya mereka jadi melek politik. Tapi
gugatan juga harus dilayangkan, pada artis yang selama lima tahun jadi anggota
DPR tapi tak pernah sekalipun ngomong politik di depan media. Giliran ngomong,
malah soal rencana cerainya. ”Kaos” yang mereka pakai, seolah hanya formalitas
agar tak di cap pengangguran terselubung, karena berkurangnya job di dunia
hiburan. Lebih mengenaskan lagi, jika semua itu dilakukan karena memang
kapasitas mereka yang tidak memadai sebagai anggota dewan.
Sistem pemilihan langsung telah
menjungkirbalikan akal sehat kita, sampai-sampai ada kekhawatiran akan muncul
oilgarki-oligarki baru. Jabatan publik dikuasai oleh keluarga dan golongan
tertentu, karena kekuatan uang dan pengaruh. Masyarakat pun dinilai semakin
pragmatis. Tak peduli misi dan visi, jika sudah menyumbang pembangunan mushola,
maka pilihan gampang dijatuhkan. Kondisi ini, telah menutup rapat figur cerdas
dan punya idealisme tinggi untuk berkiprah di dunia politik, karena asupan
“gizi”nya yang seret.
Laiknya semangat sepak bola, korps
artis memang paling sedikit menonjolkan “kaos”nya setelah kompetisi berakhir.
Ini positif. Mereka masih merasa senasib sepenanggungan, walau berada dalam
partai berbeda. Jarang terjadi saling serang, atau sikap bermusuhan sekalipun
itu di depan layar gelas. Keadaan ini berbeda pada politisi yang berangkat dari
background lain, terutama para pengusaha lebih-lebih aktivis lembaga swadaya
masyarakat (LSM).
Tentu saja undang-undang memberi jaminan
dan hak yang sama pada tiap warga negara, apapun profesinya untuk berkiprah di
dunia politik. Jika segala kemudahan didapatkan kelompok artis, itu adalah
berkah Tuhan yang harus disyukuri. Namun berkah itu rasanya terlalu dikesankan
aji mumpung, jika mereka berangkat dengan bekal minim dan kemampuan seadanya.
Saat para artis itu telah berhasil
mentransfer nilai-nilai sportivitas usai kompetisi 2009 lalu, akan lebih elegan
lagi jika mereka juga meniru persiapan matang seorang pemain bola dengan latihan
kerasnya, agar level permainannya bisa meningkat lebih tinggi lagi. Tantangan
zaman berubah. Persoalan bangsa terus menjadi-jadi. Dengan kemampuan mumpuni,
yah, selain agar tidak malu-maluin, siapa tahu “kaos” yang mereka pakai
benar-benar menjadi jersey kebanggaan. Bukan sekedar alat kamuflase karena di
dunia hiburan nama mereka sudah mulai redup.Tabik...
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda!