Seorang
teman, dosen dan aktifis sebuah lembaga swadaya masyarakat terkenal, belum lama
pulang dari ibadah haji. Banyak hal ia ceritakan. Meski ini ibadah haji yang
kedua, ia masih menemukan hal-hal baru, yang membuatnya selalu kangen dengan
tanah suci. Kebetulan, sebelum berangkat, saya sempat bercanda agar diberi
kelebihan rejeki, supaya bisa bertandang ke rumah Allah.”Insyaallah sudah saya
doakan,”katanya. Amin.
Namun,
menarik dicatat pengalaman batinnya saat naik ke Gunung Nur atau Jabal
Nur.Maksudnya, bukan untuk sok gagah-gagahan, jika ia sedikit mengulas
bagaimana kondisi saat hendak masuk ke Gua Hira, tempat Nabi Muhammad pertama
kali menerima wahyu dari Tuhan lewat malaikat Jibril. Surat Al-Alaq yang
disampaikan Jibril, sebagai “perkenalan” sebelum beliau diangkat sebagai rosul,
kebetulan menyuruh Muhammad untuk “membaca” –Iqra (bacalah)!
Perintah
Iqra ini, kita mafhum, menjadi
rujukan tentang betapa pentingnya kegiatan membaca. Sang ustaz, yang wajahnya
kerap juga nongol di televisi, lantas menyoal prosesnya. Betapa ketika ia naik
ke atas Jabal Nur, perjuangan yang cukup berat harus dilalui. Panas, gersang,
dengan kecuraman yang cukup menguras energi, yang jika tak hati-hati bisa
celaka. Padahal sudah dibuat undak-undakan oleh pemerintah Arab Saudi yang
lumayan membantu. “Di zaman Rosul, kondisinya pastilah lebih berat. Apalagi beliau turun naik gunung itu
dalam usia yang tidak muda lagi. Empat puluh tahun,”kata sang ustaz.
Saya
tertegun. Cerita sederhana, tapi sebetulnya mengandung jutaan makna. Intinya,
betapa perintah “membaca” itu melalui proses yang tidak ringan. Mungkin karena
tekad baja Muhammad saja yang ingin mendapat pencerahan, yang membuat semua
rintangan itu seolah jadi baling-baling energi untuk terus mendapat jawab atas
kebodohan kaumnya. Dalam perjalanan panjang sejarah peradaban manusia, membaca akhirnya memang menjadi kunci kemajuan. Silih
berganti; dari dunia Barat hingga zaman kejayaan ilmuwan muslim.
Ketiadaan
waktu membaca, kerap membuat kita seperti katak dalam tempurung.Di kalangan
selebritis, saat mereka tak up date
dengan pengetahuan baru, biasanya karena tak punya waktu untuk membaca. “Sibuk
syuting, pentas, pontang panting ke luar kota,”begitu alasan mereka. Tak
heran,kata pakar manajemen Rhenald Kasali, segala polah mereka murni karena
ketidakmampuannya secara akademik atau ogah membaca. Bukan dalam kerangka mencari perhatian media.
Seorang
artis terkenal yang selalu sengak jika ditodong wawancara, menjadi contoh “korban”
dari ketiadaan waktu baca. Saat dikritik ia memiliki bad attitude,spontan langsung ngamuk-ngamuk. “Memangnya saya nyari
duit sambil ngangkang apa?Kalau dibilang sombong nggak apa-apa. Tapi disebut bad attitude, saya nggak terima,”katanya.
Rupanya dia tak mengerti, bersikap ketus dan tak ramah dengan jurnalis juga
termasuk bad attitude. Ia berfikir, bad attitude adalah mereka yang suka
ngangkang saat cari uang.
Kasus
terbaru menimpa seorang penyanyi, yang dengan alasan berasal dari Suku Sunda,
lantas kesalahannya berbahasa Inggris merasa perlu untuk dimaafkan. Tak cuma salah
ucap, tapi juga salah tulis. Tentu saja membaca tak hanya teks literer. Ketika
video mesum anak SMP Jakarta beredar secara berantai, itu bahan “bacaan” juga.
Para pakar “membaca”, begitulah cermin remaja kita. Begitu pula dampak dari
kemajuan teknologi gadget, internet, sinetron, iklan-iklan yang lebay hingga
film-film porno yang mudah diakses.
Dari
sisi transendental,ada yang “membaca” dunia sudah uzur. Kiamat sudah dekat.
Tandanya, orang melakukan maksiat sudah tak malu-malu lagi. Dalam pandangan pujangga
Raden Ngabehi Ranggawarsito, inilah zaman edan yang pernah dinubuatkan sejak
1845 lalu. Kata Ronggowarsito, zaman edan ditandai dengan fenomena wong wadon ilang tapihe (busana perempuan
yang makin membuka aurat), wong wadon
ilang wirange (perempuan sudah kehilangan rasa malu) dan pasar ilang kumandange (pasar
tradisional lenyap berganti mal dan supermarket).
Hidup
kita pun, sesungguhnya tak luput dari “bacaan”. Jika mau telaten “membaca”
tuduhan menerima suap yang sempat menimpanya sebelum dicokok KPK, Akil Mochtar
mungkin bisa selamat. Sayang, sifat rahman Tuhan tak membuat Akil sadar,hingga
mesti “digebuk” agar kapok. Belum lama ada penyanyi top yang hampir meninggal
karena kecelakaan mobil di Kebon Nanas, Jakarta. Di duga ia habis fly di
diskotik. Tapi setelah sehat, ia tak mau “membaca” musibah yang menimpanya, sampai
kemudian ia benar-benar meninggal karena over dosis narkoba.
Ditengah
zaman kalabendu (kegelapan) seperti
sekarang,memang kita dituntut untuk tanggap
ing sasmita, lantip ing panggraita (pandai dalam membaca isyarat, cerdas
dalam memaknai gelagat).Semua merasa paling benar sendiri. Sudah menjadi
tersangka pun, masih juga sempat ber tiki
taka – mengoper bola ke sana sini, membantah dengan berbagai cara.
Dalam
tradisi masyarakat Jawa, untuk menghilangkan pagebluk (bencana sosial) harus diruwat. Tapi bagaimana jika pageblug yang menyerang sudah dalam
skala luas, hingga seorang ketua Mahkamah Konstitusi pun masih sempat-sempatnya
menghisap ganja?Mungkin sudah saatnya kita “membaca” lagi –segala dalih dan
sangkalan sudah saatnya disimpan rapi, karena itulah sesungguhnya sumber pagebluk yang melanda.
“Membaca”
apa yang sudah terjadi, syukur-syukur saat aib itu terbuka lebih dini, akan
menyadarkan kemanusiaan kita sebagai makhluk yang penuh salah dan khilaf. Boleh
saja kita “membaca” kasus kelam itu sebagai kegagalan. Tidak apa-apa. Itulah
warna hidup, dinamika yang harus dihadapi dengan tabah. Karena, andai kegagalan
adalah hujan,dan kesuksesan adalah matahari, kita butuh keduanya untuk bisa
melihat pelangi.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda!